Jumat, 06 Maret 2015

Latihan 8


1. Chelsea Timotius

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka
Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.
Penyelesaian:
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagaicoastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau BintanDi sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Penyelesaian :
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas
Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).
Penyelesaian:
Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928

4. Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat
Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.
Penyelesaian :
Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.

5. Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau NipaSengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.
Penyelesaian :
Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.

Ini hanya sebagian kecil permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara tentangga, sebenarnya masih banyak yang belum sempat saya tuturkan.Usaha pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI bukanlah isapan jempol belaka, berkali-kali wilayah Indonesia terselamatkan atas klaim-klaim negara luar. Meskipun beberapa wilayah Indonesia jatuh ketangan asing seperti Pulau Sipadan dan Ligitan. Kita sebagai calon penerus bangsa harus jeli dan ikut serta mengawasi wilayah perbatasan negara kita. Semoga tidak terjadi lagi permasalahan wilayah perbatasan yang dapat dapat merugikan negara

Description: https://ssl.gstatic.com/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif2. Inara Mahesa Chaidir, 00000010060

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka 

Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.
Penyelesaian
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Penyelesaian
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian

Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928



3. Aulia Rachmadani, NIM : 00000010134

1. Ambalat 

Negara lain yang terlibat : Malaysia

Penyelesaian : Melakukan pertemuan liberal guna membahas masalah dengan perundingan, dan memutuskan pulau Ambalat tetap sebagai wilayah NKRI.



2. Kasus Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu

Negara lain yang terlibat : Malaysia

Penyelesaian : Melalui pertemuan Indonesia – Malaysia di Semarang pada tahun 1978, memutuskan wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk menjadi bagian dari wilayah Malaysia



3. Kasus Pulau Batik

Negara lain yang terlibat : Timor Leste

Penyelesaian : Pemangku adat antara wilayah Perbatasan Amyoung dan Ambenu, ingin menyelesaikan titik batas dan meminta izin pemerintah pusat untuk memfasilitasi tersebut. Kedua Negara belum diperbolehkan beraktivitas di daerah perbatasan tersebut.



4. Kasus Pulau Simakau

Negara lain yang terlibat : Singapura

Penyelesaian : Melakukan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud adalah pulau Simakau milik Singapura. Jadi, terdapat dua pulau yang bernama sama yang dimiliki Indonesia dan Singapura.



5. Kasus Pulau Miangas

Negara lain yang terlibat : Filiphina

Penyelesaian : Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928.





6. Kasus Pulau Nipa

Negara lain yang terlibat : Singapura

Penyelesaian : Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.



4. Nama: Arina Sondang

NIM: 00000010318

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka 

Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

Penyelesaian

Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.



2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

Penyelesaian

Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.



3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian

Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928



4. Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat

Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesaian

Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.



5. Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau Nipa

Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

Penyelesaian

Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.



5. Muhammad Dhana

Kasus Ambalat

Kasus wilayah camar bulan dan tanjung datuk

Kasus pulau simakau

Kasus sengketa pulau Sipadan-Ligitan



6. Melisa Salim 00000008083

Enam Kasus Sengketa antara Indonesia dan Negara Lain serta Penyelesaiannya

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka 

Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

Penyelesaian

Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.



2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

Penyelesaian

Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.



3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian

Dinyatakan lebih lanjut dalam protokol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928



4. Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat

Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesaian

Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.



5. Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau Nipa

Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

Penyelesaian

Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.



6. Sengketa internasional antara Indonesia dan timor leste

Klaim wilayah Indonesia juga dilakukan oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.

Penyelesaian

Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:

Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.

Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubah. Selain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.

Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas Negara.

7. Jenniefer Angel, 00000007885

1.Kasus batas daratan anatara Indonesia dan Malaysia mengenai Ambalat.

Kasus sengketa Ambalat ini disebabkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut dan menguasai Ambalat karena keistimewaan yang dimiliki oleh Ambalat yaitu memiliki kekayaan laut dan dibawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesain:

Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.



2.Kasus batas perairan antara Indonesia dan Filiphina mengenai Pulau Miangas.

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian:

Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928

8. Getar Adita

Sengketa Perairan Ambalat

               Sengketa perairan dengan Malaysia kembali terjadi. Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat adalah sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat keputusan tersebut karena pihak Malaysia terlihat serius untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri sudah serius mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia.

Indonesia harus belajar dari pengalaman kasus Sipadan dan Ligitan. Pada waktu itu pihak Malaysia terus membangun fasilitas-fasilitas di Pulau Sipadan tanpa mempedulikan Mahkamah Internasional yang menginstruksikan kedua belah pihak untuk tidak menyentuh Sipadan dan Ligitan sampai ada keputusan. Indonesia mengikuti instruksi tersebut, sedangkan Malaysia tidak menggubrisnya dan bahkan menjadikan Sipadan sebagai daerah tujuan wisata. Akhirnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan sikap ketertarikan kepada Sipadan dan Ligitan.                                    Pada kasus Ambalat, Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi daerah tersebut sejak tahun 80-an. Ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengelola daerah tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki keuntungan karena merupakan Negara kepulauan yang memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh negara pantai seperti Malaysia. Klaim Malaysia sendiri baru diketahui dunia akhir-akhir ini dari perjanjian dari Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada Shell.  Indonesia juga harus belajar dari pengalaman kasus Timor Leste. Pelajaran yang berharga adalah bahwa negara tetangga akan melakukan apapun untuk memperoleh minyak Indonesia. Saat itu Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur atas nama hak asasi manusia. Namun belakangan Australia menusuk dari belakang dengan mengambil alih sebagian besar sumber daya minyak, sumber daya alam satu-satunya milik Timor Leste. Kini Timor Leste menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Selain dengan Indonesia, Malaysia juga pernah memiliki sengketa wilayah dengan Thailand.

Masalah ini bisa diselesaikan kedua pihak dengan mengelola daerah tersebut bersama-sama. Selain itu, Malaysia juga memiliki sengketa yang belum selesai dengan Brunei Darussalam, lagi-lagi juga bertemakan minyak. Belum termasuk sengketa rumit kepulauan Spratly yang melibatkan tak kurang dari 6 negara

Sengketa Indonesia dengan Timor Leste

Penyebab:

 Klaim wilayah indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.

Penyelesaian :
    Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
    Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.
    Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas Negara

9. Reza Chandra

Indonesia vs Malaysia

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.



Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau batu Puteh sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darusallam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar ibrahim dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

10. YEHUDA BIMO, 00000007872

1. Sengketa Indonesia dengan Timor Leste secara langsung mengenai batas wilayah. Adalah wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan Timor Leste yang menjadi permasalahan. Ada 2 pembagian yang direncanakan oleh kedua belah pihak yaitu berdasarkan alur sungai terdalam dan persoalan pembagian tanah. Hingga kini masalah ini belum selesai dan akan dibawa ke PBB

2. Sengketa antara Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN seperti Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, bahkan Indonesia, termasuk Taiwan yang dimulai ketika Tiongkok mengklaim bahwa seluruh Laut Cina Selatan adalah teritori kekuasaannya. Sampai sekarang masalah ini belum terselesaikan secara resmi.

11. Kristi Puspita, 00000008014

1.      Sengketa Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. Kemudian pada hari Selasa, 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia dengan Malaysia sebagai pemenang berdasarkan pertimbangan effectivity.

2.      Sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia. Terjadinya tumpang tindih pemberian konsensi di Blok Ambalat menjadi pemicu sengketa. Malaysia mengklaim Blok Ambalat sebagai miliknya berdasarkan Peta Baru 1979 yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia, sedangkan Indonesia sejak tahun 1960-an sudah lebih dahulu memberikan konsensi kepada beberapa perusahaan asing lainnya dengan nama yang berbeda di wilayah Ambalat. Penyelesaian sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia belum terselesaikan, tetapi menurut hukum internasional diwajibkan secara damai.

3.      Sengketa perbatasan Indonesia-Vietnam mengenai perbatasan landas kontinen di sepanjang wilayah bagian utara Pulau Natuna. Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna. Namun sengketa ini telah diselesaikan dengan cara sepakat untuk memulai formulasi code of conduct berkaitan dengan permasalah di laut Timur atau China Selatan.

12. Bob Allen Simatupang, 00000010170

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka



Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

Penyelesaian

Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

   

2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan



Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

Penyelesaian

Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas



Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian

Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928

13. Ezmeralda Pawan, 00000008064

1.     Gugatan Indonesia kepada Korea Selatan dalam Pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Produk Kertas.

Tulisan ini berjudul “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional melalui Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) (Tinjauan terhadap Gugatan Indonesia kepada Korea Selatan dalam Pengenaan Bea Masuk Anti-dumping Produk Kertas)”. Tulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif dengan jenis pendekatan berupa Pendekatan Peraturan, Pendekatan Kasus dan Pendekatan Fakta. Tulisan ini akan menggambarkan kronologis Penyelesaian Sengketa Anti-Dumping antara Negara Indonesia dan Negara Korea Selatan. Kesimpulan yang dapat ditarik melalui tulisan ini adalah Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang diawali dengan Konsultasi bilateral kemudian dilanjutkan dengan Pembentukan Panel DSB WTO yang merekomendasikan agar Korea Selatan melakukan peninjauan kembali terhadap ketentuan Anti-Dumping Agreement (ADA) produk kertas Indonesia.

2.              Kasus Sengketa Internasional antara Indonesia dengan Filipina.

Filipina dan Indonesia telah menyelesaikan perselisihan perbatasan maritim setelah 20 tahun perundingan. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyebut hal ini sebagai cara terbaik yang bisa ditiru negara lain dalam mengatasi konflik wilayah yang marak di Asia sekarang ini.

Sementara itu, Presiden Filipina Benigno Aquino mengatakan negaranya ingin mengakhiri isu maritim melalui cara-cara legal dan damai. Dalam pertemuan di Manila 23 Mei 2014 kesepakatan diambil .Kesepakatan itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan regional selama sengketa teritorial .

Kerusuhan mematikan meletus di Vietnam pekan lalu , setelah keputusan Cina untuk memindahkan rig pengeboran ke perairan yang disengketakan di Laut Cina Selatan .

Para menteri luar negeri dari Indonesia dan Filipina bertemu di Manila untuk menandatangani perjanjian yang mendefinisikan batas maritim di zona ekonomi eksklusif tumpang tindih Mindanao dan Sulawesi Seas di Filipina selatan.



14. Melinda Fortuna, 00000007627

Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat

Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesaian

Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.



Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau Nipa

Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

Penyelesaian

Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.

15. Citra Maria Fidenci

1. Indonesia dengan Filipina




Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Dalam adat Nanusa, Miangas disebut Tinonda. Konon, pulau ini sering menjadi sasaran bajak laut. Selain merebut harta benda, perompak ini membawa warga Miangas untuk dijadikan budak di Filipina. Di masa Filipina dikuasai penjajah Spanyol, Miangas dikenal dengan sebutan Poilaten yang memiliki arti: Lihat pulau di sana. Karena di Miangas banyak ditumbuhi palm mulailah disebut Las Palmas. Lambat laun pulau ini disebut Miangas. Miangas bukan hanya menjadi sasaran perompakan. Pulau ini memiliki sejarah panjang karena menjadi rebutan antara Belanda dan Amerika. Amerika mengklaim Miangas sebagai jajahannya setelah Spanyol yang menduduki Filipina digeser Amerika. Tapi, Belanda keberatan. Sengketa berkepanjangan terjadi, kasus klaim Pulau Miangas ini diusung ke Mahkamah Internasional.

Namun sesungguhnya sengketa pulau miangas (negara filiphina) ini telah selesai dan 

dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia - Filipina

mengenai defisi wilayah Indonesia yg menegaskan pulau miangas adalah milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Abitrase Internasional 4 april 1928.

Description: https://ssl.gstatic.com/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif






2. Indonesia dengan Malaysia




Sengketa Perbatasan Tanjung Datu sebernanya sudah terjadi pada waktu yang sangat lama dan seakan dilupakan. Namun akhir-akhir ini kembali mencuat karena pembangunan mercusuar yang dilakukan Malaysia di wilayah yang masih disengketakan dua negara tersebut. Masing-masing negara memiliki landasan untuk mengakui wilayah tersebut. Menurut pihak Indonesia, batas Indonesia-Malaysia di Sekitar Tanjung Datu seharusnya mengikuti batas yg telah ditetapkan oleh Belanda dan Inggris sebagai penjajah/pendahulu yang waktu itu menguasai Borneo/Kalimantan. Sedangkan menurut pihak Malaysia, wilayah sekitar Tanjung Datu adalah wilayah Malaysia dengan mendasarkan kepada MoU pada Tahun 1975 di Kinabalu (Malaysia) dan 1978 Di Semarang (Indonesia) tentang hasil pengukuran bersama tanah tersebut.

Alternative penyelesaian sengketa batas wilayah Indonesia-Malaysia dapat dilakukan dengan, pertama, mengacu pada UNCLOS 1982 melalui bilateral mutual agrrement dalam menarik garis sementara (garis ekuidistan) yang mengguankan prinsip sama jarak (equity Principle) dan mempertimbangka faktor yang relevan serta kemungkinan memodifikasi garis sama jarak tersebtu dengan pendekatan diplomatic kedua negara, kedua, melalui mekanisme ASEAN. Malaysia tidak akan mudah sepakat membawa sengketa batas wilayah ke ASEAN, mengingat Malaysia bersengketa dengan dengan hamper semua negara di Asia Tenggaraterkait dengan Peta Malysia 1979. Terakhir adalah memalui jalur Litigasi dengan membawa sengketa tersebut ke Arbitrase Internasional atau Mahkamah Internasional.



16. Jessica, 00000007616

1.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Kemudian penyelesaiannya dengan cara adanya negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.



2. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia memperebutkan dua pulau di selat Makassar (Pulau Sidapan dan Pulau Ligitan)

Sengketa antara Indonesia dan Malaysia memperebutkan dua pulau di selat Makassar yakni Pulau Sidapan dan Pulau Ligitan terjadi sejak tahun 1967. Masing-masing Negara bersikeras memasukkan kedua pulau kecil tersebut ke dalam wilayah kedaulatannya. Sengketa ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun sebab setiap kali diadakan pembicaraan selalu saja menemukan jalan buntu. Pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk menyerahkan masalah ini ke Mahkamah Internasional. Dan pada tahun 2002, adanya putusan dari mahkamah internasional yang memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah milik Malaysia. Kekalahan Indonesia disebabkan karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa Belanda yang kala itu menjajah Indonesia, dan memiliki kedua pulau tersebut. Sementara, Malaysia bisa menunjukkan bukti-bukti bahwa Inggris sebagai penjajah Malaysia kala itu telah memiliki dan mengelola kedua pulau tersebut.



17. PIETRO GRASSIO EY,  00000008378

1.KASUS AMBALAT

   melakukan pertemuan liberal guna membahas masalah dengan perundingan,dan memustuskan pula ambalat tetap sebagai wilayah NKRI



2.KASUS WILAYAH CAMAR BULAN DAN TANJUGN DATUK(NEGARA MALAYSIA)

melalui pertemuan indonesia-malaysia disemarang pada tahun 1978,memutuska wilayah camar bula dan anjung datuk menjadi wilayah bagian dari wilayah malaysia.



3.KASUS PULAU MIANGAS(NEGARA FILIPINA)

dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi indonesia-flipina

mengenai defisi wilayah  indonesia yang menegaskan pulau miangas adalah milik indonesia atas dasar putusan mahkamah abitrase itermasional 4 april 1928



4.KASUS PULAU BATIK(NEGARA TIMOR LESTE)

pemangku adat antar wilayah perbatasan amyoung dan ambenu ,ingin menyelesaikan titik batas dan meminta izin pemerintah pusat untuk memfasilitasitersebut,kedua negara belum diperbolehkan beraktivitas didaerah perbatasa tersebut.





5.KASUSPULAU SIMAKAU (NEGARA SINGAPURA)

 melakukan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud adalah pulau simakau milik singapura .jadi terdapat dua pulau yang bernama sama yang dimiliki indonesia dan singapura.



18. Jimmy Raymond Tjhie, 000000008096

1.Sengketa internasional antara Indonesia dan timor leste.

Klaim wilayah Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.

Penyelesaian sengketa

Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.

Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas Negara

2. Indonesia  vs Malaysia (claim pulau  hambalan)

Blok Ambalat berada di bawah kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, letak geografis Blok Ambalat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, sehingga rawan menimbulkan konflik perbatasan. Namun wilayah itu diklaim oleh Malaysia melalui peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak. Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim , mereka membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Pada 2005, dikagetkan kembali oleh pemberitaan berbagai media massa yang memuat persoalan wilayah perairan yang telah menjadi sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Wilayah yang disengketakan tersebut tidak lain adalah di kawasan Ambalat, sebelah timur kepala Pulau Kalimantan, yang juga masih di perairan  Laut Sulawesi. Negara Jiran itu tiba-tiba mengklaim wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan mereka. Namun, Indonesia tidak akan merujuk sengketa mereka atas minyak dan gas di Blok Ambalat yang kaya ke Mahkamah Internasional / International Court of Justice (ICJ).

    Menteri Luar Negeri Datuk Seri Utama Dr Rais Yatim mengatakan ini adalah karena pemerintah kedua negara telah membentuk sebuah kelompok orang terkemuka untuk mempelajari sengketa. "Kami telah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Kami akan meminta pandangan dari pakar hukum laut dan wilayah untuk solusi

    Pada awal 2005, Malaysia memberikan hak eksplorasi minyak di daerah lepas Laut Sulawesi, yang juga diklaim oleh Indonesia, untuk Shell. Pada saat yang sama,  pemerintah Indonesia memberikan izin kepada ENI perusahaan Italia untuk eksplorasi minyak dan gas di blok Ambalat. Indonesia kemudian mengirim kapal perang dan jet tempur ke daerah tersebut, memaksa Malaysia melakukan penghentian kegiatan

19. Sari Erika

  1. Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Internasional Antara Indonesia dan Amerika Serikat dan Eropa Mengenai Mobil Nasional

Penyelesaian sengketa Mobil Timor berakhir dengan WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang diusung WTO. Oleh karena itu, WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT Timor Putra Nasional selaku produsen mobil timor dengan menimbang bahwa:[9]


1.     Penghapusan bea masuk dan pernghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

2.     Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional, antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.



  1. Penyelesaian Konflik antara Kamboja dan Thailand Kuil Preah Vihear Pasca Bentrokan Senjata Tahun 2011 yang melibatkan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN

Mediasi adalah prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihakpihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. Pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan wilayah perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear, yang berperan menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia dipilih sebagai mediator atas permintaan DK PBB yang meminta Indonesia untuk dapat menjadi penengah dalam penyelesaian konflik tersebut, mengingat kedua negara tersebut merupakan anggota ASEAN oleh sebab itu Indonesia di anggap sebagai pihak yang berkompeten untuk menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut, karena pada saat itu Indonesia masih menjabat sebagai ketua ASEAN.  Pada bulan Februari 2011 lalu, setelah pertemuan informal Menteri Luar Negeri ASEAN, kedua negara sepakat untuk melibatkan Indonesia didalam penyelesaian konflik sengketa wilayah disekitar Kuil Preah Vihear dan menunjuk Indonesia menjadi peninjau konflik kedua negara yang bersengketa. Pada kasus antara Thailand dan Kamboja tersebut, Indonesia tidak mengambil alih tanggung jawab kedua negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung hal tersebut dan melaporkan secara akurat temuan yang ada di lapangan. Indonesia sebagai mediator memang pada dasarnya tidak memiliki hak untuk memutuskan siapa yang berhak atas wilayah yang disengketakan antara Thailand dan Kamboja tersebut. Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut hanya sebatas memfasilitasi dan memberikan solusi-solusi yang terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut. Pada tanggal 7-8 April tahun 2011 lalu Indonesia memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara pada Pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri Sekretaris Menlu Thailand Chavanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan untuk mencapai perdamaian kedua negara. Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua negara merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya untuk merundingkan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan. Perundingan Antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara lain mengenai : Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand mengenai isi dari kesepaktan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand menolak tawaran tersebut. Thailand berkeras menginginkan agar parlemen negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan. Kedua adalah pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dulu. Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk melangsungkan pertemuan General Border Committee (GBC). Pihak Kamboja mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena Indonesia sudah mendapatkan mandat DK PBB untuk ikut dalam negosiasi Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga Satu-satunya hal yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya "check point" antara kedua negara. Pertemuan antara kedua Menlu Thailand dan Kamboja tersebut diprakarsai Indonesia selaku Ketua ASEAN, hal tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja bekerja sama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai. Pihak Kamboja berpendapat bahwa pihaknya sudah lama melakukan proses negosiasi dengan pihak Thailand namun antara kedua negara belum mencapai kesepakatan apa pun sehingga pihak Kamboja memerlukan pihak luar sebagai mediator dan yang terbaik adalah Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua ASEAN dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara. Pertemuan ini merupakan upaya terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun 2011. Dalam pertemuan tersebut, Marty Natalegawa menjelaskan Thailand akhirnya menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon permintaan ini. Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu. Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim peninjau, yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan KambojaThailand. Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga rekomendasi yang di hasilkan pada pertemuan kedua negara yang difasilitasi Indonesia. Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, meng-aktifkan pertemuan GBC (General Border Committee). Rekomendasi kedua, kedua negara melihat kembali nota ke-sepahaman (MOU) yang telah disepakati pada tahun 2000 lalu. Adapun rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual trust, kehadiran observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah disepakati tahun 2000 meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain dari kawasan sengketa, yaitu di sekitar kuil kuno Phrea Vihear. MOU 2000 itu menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari pasukan atau rakyat sipil di kawasan yang dipersengketakan. Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua negara untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan militer kedua negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua negara tersebut dan rekomendasi yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya (Obsever) kedaerah perbatasan yang disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau (Obsever) dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau genjatan senjata antara pasukan militer Thailand dan Kamboja.



2.              Penyelesaian Konflik Sengketa Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia dengan Malaysia

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.



19. GLENN WIJAYA, 00000008020

KASUS PERTAMA

NEGARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

http://budhiwoodcutter.blogspot.com/2013/05/sengketa-internasional-indonesia-dengan.html

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpurpada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997, demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia

CARA PENYELESAIAN

Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan Chain Of Title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.



KASUS KEDUA

5 Negara Adukan Australia ke WTO karena Kemasan Rokok

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/548033-5-negara-adukan-australia-ke-wto-karena-kemasan-rokok

VIVAnews - Pemerintah Republik Indonesia bersama empat negara mengadukan Australia ke World Trade Organization (WTO) karena menerapkan kebijakan kemasan polos pada rokok tembakau. Australia dianggap melanggar pasal XXIII pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Dalam keterangannya pada Selasa, 14 Oktober 2014, pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras, Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara menyampaikan dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang memuat argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1 Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO.

Dalam pandangan Indonesia, kebijakan Australia bertentangan dengan pasal XXIII dari GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya, yakniUnderstandings on rules and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade-related aspects of intellectual property rights;dan agreement on technical barriers to trade.

Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, menjelaskan bahwa pengaduan ini merupakan langkah terakhir.

"Proses litigasi di WTO ini ditempuh setelah upaya pendekatan bilateral yang dilakukan Indonesia tidak membawa hasil," kata Bachrul.

Lebih dari sekadar sengketa bisnis

Dengan lima negara penggugat dan lebih dari 35 negara anggota WTO bergabung sebagai pihak ketiga, kasus ini menjadi kasus yang terbesar dalam sejarah keberadaan WTO. Lazimnya kasus yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa di WTO, yakni antara 18 bulan hingga dua tahun, maka diperkirakan putusan akan diterbitkan pada tahun 2016.

Beberapa negara seperti Selandia Baru dan Irlandia sudah mengindikasikan rencananya untuk mengikuti langkah Australia, namun negara-negara penggugat mengimbau agar kebijakan seperti itu ditunda penerapannya sampai Badan Penyelesaian Sengketa WTO memberikan putusan atas kebijakan Australia.

"Kasus ini lebih dari sekadar sengketa bisnis karena menyangkut masalah prinsip dalam tata perdagangan dunia. Hal ini yang membuat banyak negara anggota WTO tertarik untuk berpartisipasi sebagai pihak ketiga," kata dia.

Indonesia adalah penghasil produk tembakau terbesar keenam dan penghasil daun tembakau terbesar ke-13 di dunia yang menyerap tenaga kerja langsung dan tidak langsung lebih dari enam juta jiwa.

Indonesia juga cukup aktif menempuh berbagai upaya untuk mengurangi jumlah perokok maupun perokok pemula mengingat bahaya yang ditimbulkannya. Indonesia berkepentingan agar langkah pembatasan rokok yang ditempuh tidak bertentangan dengan aturan perdagangan yang disepakati di WTO.

"Salah satu keberatan Indonesia adalah bahwa kebijakan kemasan polos ini ditempuh Australia tanpa lebih dulu dibuktikan secara ilmiah bahwa langkah tersebut akan efektif dan tidak ada alternatif lain yang lebih baik," kata Bachrul.

Preseden buruk

Meski harus diakui bahwa ekspor produk tembakau Indonesia ke Australia terbilang sangat kecil, Indonesia berkepentingan untuk mengadukan masalah ini ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

Apabila pendekatan seperti kebijakan kemasan polos ini dibiarkan, cara semacam itu akan menjadi preseden buruk dan akan diikuti negara lain dalam membatasi atau melarang penjualan produk tertentu.

"Bayangkan bila tiba-tiba ada larangan penjualan produk makanan turunan kelapa atau kelapa sawit karena alasan yang belum tentu benar secara ilmiah, ekspor kita akan langsung terganggu," ujar dia.

Bagi Indonesia, kata Bachrul, keputusan menempuh jalur ke WTO lebih ditujukan untuk membuktikan kekeliruan Australia.

"Kita sama sekali tidak menentang upaya untuk mengurangi jumlah perokok karena kita paham bahayanya. Kita hanya ingin membuktikan bahwa kebijakan yang ditempuh Australia itu patut diduga melanggar perjanjian WTO dan keliru," kata dia.

Kemasan polos makin terjangkau

Bachrul memberi contoh pada produk minuman beralkohol anggur. Jika pendekatan yang ditempuh Australia seperti di atas dianggap benar dan sah sesuai perjanjian WTO, dengan alasan moral dan keagamaan, bisa saja Indonesia menerapkan kebijakan kemasan polos untuk produk anggur.

Alih-alih menurunkan tingkat konsumsi wine, kebijakan seperti itu mungkin akan meningkatkan penyelundupan anggur dari luar negeri dan produksi ilegal minuman beralkohol di dalam negeri yang justru semakin sulit untuk ditangani.

Selain itu, kemasan polos juga membuat harga semakin murah dan semakin mudah dijangkau. Ini jelas berbahaya bagi anak-anak. Itu sebabnya kebijakan Australia yang menerapkan kemasan polos pada rokok harus dibatalkan, karena melanggar ketentuan perdagangan di WTO.



KASUS KETIGA




http://www.jpnn.com/read/2014/10/08/262343/Amerika-RI-Akhiri-Sengketa-di-WTO/page2

JAKARTA - Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sepakat menghentikan sengketa dagang terkait larangan distribusi rokok non-mentol di AS yang bertahun-tahun dibahas dalam forum WTO (World Trade Organization). Namun hal itu tetap tidak merubah ketetapan WTO bahwa Amerika Serikat bersalah.

Sengketa bermula saat Amerika Serikat menerapkan Undang-Undang yang melarang jual beli rokok beraroma sejak Juni 2009. Sebagai produsen dan eksportir rokok kretek, Indonesia merasa keberatan karena UU itu sangat diskriminatif.

"Amerika tidak menganggap rokok mentol sebagai rokok beraroma. Sementara Indonesia menilai rokok mentol seharusnya masuk kategori rokok beraroma," ujar Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Bachrul Chairi kemarin (7/10).

Pada April 2010, Indonesia memang mengadukan kebijakan Amerika Serikat itu ke Dispute Settlement Body (DSB) di WTO.

Setelah melalui serangkaian konsultasi dan proses acara pemeriksaan, DSB-WTO baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding menyatakan bahwa AS bersalah karena telah menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan merugikan Indonesia. WTO meminta AS juga melarang peradagangan rokok menthol di negaranya.

Tapi Amerika Serikat setengah hati menjalankan keputusan WTO itu. Larangan itu hanya dijalankan dengan memberikan peringatan tentang bahaya merokok menthol. Upaya diplomasi terus dilakukan Indonesia di forum-forum internasional untuk mengecam ketidak patuhan Amerika Serikat tersebut.

Hingga akhirnya pekan lalu Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani MoU (memorandum of Undertsanding) untuk menghentikan sengketa itu dengan beberapa kesepakatan.
    
Bachrul menilai Indonesia tetap diuntungkan dalam MoU ini. Sebab, keputusan WTO tetap menyatakan bahwa AS bersalah. Artinya, kesepakatan yang dicapai tidak akan menghapus fakta tentang pelanggaran AS.


"Kedua negara, Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk mengakhiri kasus ini dengan penyelesaian yang bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak," tukasnya.
    
Apa yang didapat Indonesia melalui penyelesaian di luar WTO ini dianggap lebih signifikan jika dibanding upaya meminta WTO melakukan retaliasi (balasan-red) berupa pemangkasan impor dari AS senilai USD 55 juta.


"Keputusan ini dianggap menguntungkan Indonesia karena AS bersedia memberikan tambahan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) selama lima tahun dan akan mempertimbangkan permintaan atas produk ekspor lain dari Indonesia," tuturnya.
    
Amerika juga berjanji dan sepakat tidak akan mengadukan kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan mineral yang diterapkan Indonesia, serta tidak akan mengganggu akses pasar produk cigars dan cigarillos buatan Indonesia di pasar AS sampai ada pengaturan lebih lanjut.


"Amerika bahkan akan membantu Indonesia untuk memperbaiki penegakan hak kekayaan intelektual (HKI) agar Indonesia lebih baik dalam hal penegakan HKI (Hak Kekayaan Intelektual)," paparnya.
    
Kedua negara sepakat bahwa dengan diakhirinya kasus rokok kretek ini, maka kedua pihak akan mengintesifkan kerja sama perdagangan dan investasi dalam kerangka Indonesia-US Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) yang lebih konstruktif dan positif bagi hubungan jangka panjang yang lebih baik.


"Kasus ini menjadi pembelajaran bagi negara lain bahwa Indonesia akan selalu berjuang membela haknya di WTO apabila diperlakukan secara tidak adil," jelasnya. (wir)



20. Viky Devina Sohgar - 00000007881

4 Kasus Indonesia dengan WTO

http://finance.detik.com/read/2014/05/06/081643/2574147/4/5/ini-4-kasus-indonesia-dengan-wto#bigpic

Indonesia - Australia

Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil sikap untuk melaporkan Australia ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO atas penerapan kebijakan plain packaging (wajib kemasan rokok polos). Kebijakan itu dinilai berpengaruh terhadap kinerja ekspor tembakau dan rokok Indonesia.

Langkah Indonesia melaporkan Australi ke WTO dinilai sebagai langkah yang tepat. Kebijakan ini sudah diperhitungkan sejak dikeluarkan Tobacco Plain Packaging Act oleh Australia tahun 2012 lalu.

Dalam peraturan tersebut dikatakan, seluruh rokok dan produk tembakau yang diproduksi sejak Oktober 2012 dan dipasarkan sejak 1 Desember 2012 wajib dikemas dalam kemasan polos tanpa mencantumkan warna, gambar, logo, dan slogan produk.

Indonesia adalah negara produsen rokok kretek terbesar di dunia dan secara peringkat, Indonesia menempati posisi nomor 2 terbesar di dunia, setelah Uni Eropa, sebagai negara produsen-pengekspor produk tembakau manufaktur.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, kinerja ekspor tembakau dan rokok pada 2009 menyentuh angka 52.515 ton dan pada 2012 mengalami penurunan 15.405 ton menjadi 37.110 ton. Sementara kapasitas produksi rokok nasional hingga akhir tahun mencapai 308 miliar batang, meningkat 6 miliar batang dibandingkan realisasi tahun lalu sebanyak 302 miliar batang.

Kebijakan kemasan polos untuk seluruh produk tembakau dinilai sebagai ancaman nyata bagi produk tembakau dari Indonesia, karena dengan penerapan peraturan terkait kemasan polos tersebut, daya saing produk diyakini akan menurun.
Viky Devina Sohgar - 00000007881




Indonesia - Pakistan

Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah membawa masalah kebijakan pajak tinggi yang diterapkan Pakistan terhadap kertas duplex asal Indonesia ke forum Penyelesaian Sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menurut catatan Kemendag, kasus ini bermula sejak November 2011, Pakistan telah melakukan memberlakukan kebijakan anti-dumping dan anti-subsidi terhadap produk kertas Indonesia yang dinilai menerapkannya tak sesuai dengan kaidah-kaidah WTO.

Kemendag memperkirakan tindakan Pakistan tersebut telah menyebabkan hilangnya peluang ekspor kertas Indonesia sebesar US$ 1 juta per bulan. Sehingga dibawanya kasus ini ke WTO adalah jalan yang tepat bagi Indonesia.


Indonesia - Uni Eropa

Pemerintah Indonesia berencana untuk mengadukan Uni Eropa ke WTO menyusul pengenaan anti dumping produk biodiesel asal Indonesia oleh Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia dikenakan bea masuk anti dumping sementara 2,8% hingga 9,6% oleh otoritas perdagangan Uni Eropa sejak setahun lalu.

Sementara ini, keinginan Indonesia untuk membawa masalah ini ke sidang panel (dispute settlement) Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO tinggal menunggu waktu. Delegasi Indonesia sudah mempersiapkan bukti-bukti yang cukup sambil menunggu negosiasi bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa.

Seperti diketahui, awal Mei 2013 lalu produk turunan sawit yaitu biodiesel asal Indonesia kena anti dumping oleh Uni Eropa. Tercatat ada 4 dari 5 perusahaan di Indonesia dikenakan bea masuk tambahan saat akan ekspor ke Uni Eropa.

Eropa menyimpulkan produk biodiesel asal Indonesia memiliki harga lebih murah bila dibandingkan produk biodiesel dari bahan lain, seperti dari minyak kedelai, matahari, Rapeseed, dan lain-lain. Hal ini dianggap tak wajar dan diskriminatif, karena produktivitas minyak sawit lebih tinggi dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Sementara menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor CPO Indonesia ke Eropa cukup besar. Bahkan Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton


Indonesia - Jepang


Berbeda dari kasus sebelumnya, Jepang berniat gugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) terkait pelarangan ekspor tambang mentah. Jepang melaporkan Indonesia ke WTO karena mendapatkan tekanan dari salah satu produsen otomotif terbesar Jepang Mitsubishi.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui, Jepang keberatan atas aturan pelarangan ekspor tambang mentah. Oleh sebab itu, kehadiran Menlu Marty di Jepang adalah berupaya keras meminta pengertian pemerintah Jepang atas konsekuensi dari pelarangan ekspor tambang mentah itu.

Namun, hingga saat ini Jepang belum melaporkan keberatan atas aturan pelarang ekspor tambang mentah ke Badan Perdagangan Dunia atau WTO. Bila Jepang benar-benar akan membawa masalah ini ke WTO, pemerintah siap untuk melawan.

Seperti diketahui, Mitsubhisi menyerap nikel sebagai bahan baku utama di sektor otomotif yang cukup besar. Data dari Kementerian Keuangan Jepang tercatat, Jepang mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel tahun 2011. Dari jumlah itu sebanyak 1,95 juta ton atau 53% berasal dari Indonesia.




21. Georgina Agatha, 00000008460

1. Selat Malaka

Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia, masalah perbatasan

merupakan masalah yang kerap dihadapi. Tumpang tindih pengaturan ZEE dengan beberapa negaratetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik

internasional. Kaitannya dengan hubungan Indonesia-Malaysia, masalah perbatasan dapat terlihat dalam kasus Selat Malaka dimana kawasan perairan tersebut diklaim oleh beberapa negara yaitu Singapura, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Kenapa Selat Malaka begitu penting? Karena Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan antara negara-negara barat dengan negara-negara timur, sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang strategis bagi jalur perdagangan. Masalah Selat Malaka sempat akan diinternasionalisasikan, namun tidak jadi karena cukup negara-negara pantai yang menjaga perairan tersebut, yaitu Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Penjagaan Selat Malaka dilakukan dengan cooperative security, dimana masing-masing angkatan laut negara-negara pantai melakukan patroli bersama di sekitar wilayah perairan selat Malaka. Hingga sekarang masih belum jelas status dari Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah

negara mana.



2. . “Hilangnya” Pulau Sipadan-Ligitan dan masalah Ambalat

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dan terdapat pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Namun kondisi geografis tersebut kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan “hilangnya” Pulau Sipadan-Ligitan, kejadian ini membuat hubungan Indonesia-Malaysia makin memanas. Sebenarnya skenario “pengambilalihan” Pulau Sipadan-Ligitan telah dipersiapkan sejak lama oleh Malaysia tinggal menunggu waktu yang tepat dan tiba-tiba pada tahun 2000 Malaysia membawa masalah Sipadan-Ligitan ke International Court of Justice (ICJ) yang pada kahirnya dimenangkan oleh Malaysia. Kejadian membuat hubungan Indonesia-Malaysia merenggang dan slogan “ganyang Malaysia!!” kembali terdengan di Indonesia.



Hubungan RI-Malaysiapun makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas. Setelah mendapatkan Sipadan-Ligitan, Malaysia berambisi menduduki Ambalat yang diduga mengandung minyak dan gas bumi yang nilainnya amat besar mencapai miliaran dollar Amerika. Krisis hubungan ini dimulai sejak PETRONAS (perusahaan minyak milik Malaysia) memberikan konsesi pengeboran minyak lepas pantai Sulawesi yaitu di blok Ambalat kepada SHELL (perusahaan milik Inggris dan Belanda) yang mengakibatkan hubungan Indonesia-Malaysia mengalami ketegangan yang mencemaskan. Dengan munculnya isu Ambalat tersebut, barulah Indonesia meresponnya dengan mengirim armada-armada angkatan lautnya untuk mengamankan blok Ambalat dan bahkan beberapa kali kapal-kapal perang Indonesia dan Malaysia salilng berhadapan dan nyaris baku tembak5. Namun kedua pihak dapat menahan diri, jika salah satu pihak mulai menembak maka dapat terjadi perang terbuka antara Indonesia-Malaysia.



Semua kelalaian pemerintah tersebut berakibat fatal terhadap utuhnya wilayah NKRI.

Pertahanan dan keamanan kita terlalu berfokus pada aspek darat dan mengabaikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah juga terlalu lama berkutat dalam masalah ekonomi, politik, korupsi, lalu kurang memperhatikan kondisi pulau-pulau terluar wilayah Indonesia yang menjadi pintu masuk bagi berbagai ancaman dari luar sehingga pada saat muncul konflik pada saat itu pula pemerintah baru sadar dan bertindak untuk mengamankannya.



22. Angela Novia W, 00000007416

1. Kasus Inodnesia dan Timor Leste, dimana adanya klaim wilayah. kasus ini akan di bawa ke PBB untuk di bahas mengenai batas2 nya oleh oemerintah RI dan Timore Leste.  kasus ini mempermasalahkan 5 titik yaitu Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat

2. Kasus Sipadan dan Ligitan, Indonesisa dan MAlaysia sama-sama mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari negaranya. Malaysia membangun resort di pulau itu. Kasus ini di bawa Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banatke ICJ dan di menangkan oleh Malaysia,. Karena 16 hakim berpihak pada Mlalaysia, dan 1 hakim berpihak pada Indonesia



23. Agustina, 00000008779

Sengketa mengenai batas perairan Indonesia-Filipina mengenai pulau Miangas

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim menjadi milik Filipina. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982) dan pada akhirnya dinyatakan dalam protokol perjanjian ekstradisi Indonesia dan Filipina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928



Sengketa antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan dan pulau Ligitan Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, yang puncaknya pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.

Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan

Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia.



Sengketa mengenai batas daratan Indonesia-Singapura mengenai penambangan pasir Pulau Nipa


Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Singapura. Reklamasi yang dilakukan oleh Singapura secara besar-besaran bisa membuat keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Hal ini bisa menyebabkan perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia. Hingga akhirnya diselesaikan dengan negosiasi antara kedua belah pihak dan menyetujui dimana batas laut yang ditentukan antara pulau Nipa dan pulau Tuas sepanjang 12,1 km dan persetujuan ini dilaksanakan tanggal 30 Agustus 2010.

24. TONY GUNAWAN, 00000007465

  1. Kasus : Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan

Pihak bersengketa: Indonesia vs Malaysia

Cara penyelesaian sengketa: International Courts / Mahkamah Internasional

Hasil sengketa : Malaysia menang ( Putusan Mahkamah Internasional )



Cerita singkat: Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berada di Selat Makassar. Pulau Sipadan luasnya 50.000 m2 dan Pulau Ligitan luasnya 18.000 m2. Baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut adalah miliknya.



Kasus ini pertama kali muncul tahun 1967. Kedua belah pihak sepakat bahwa kasus ini status quo. Dalam kondisi status quo Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola oleh swasta Malaysia. Pengertian status quo antara Indonesia dan Malaysia berbeda, di mana menurut Indonesia dalam keadaan status quo berarti kedua pulau tersebut tidak boleh ditempati sampai status perebutan kepemilikan dua pulau tersebut selesai. Menurut Malaysia, status quo diartikan kedua pulau tersebut tetap milik Malaysia sampai status kepemilikan selesai.



Akhirnya pada tahun 1998 kedua belah pihak setuju untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional dan pada tanggal 17 Desember 2002 putusan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia sebagai pemilik kedua pulau tersebut.



2.              Kasus : Permasalahan status kemerdekaan Indonesia

Pihak bersengketa : Indonesia vs Belanda

Cara penyelesaian sengketa : Mediasi ( =perundingan para pihak yang melibatkan pihak ketiga ) ; Mediator : Inggris

Hasil sengketa : Perjanjian Linggarjati

Cerita singkat : Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda tetap menekan Indonesia dan ingin berkuasa kembali. Ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang semakin hebat membuat Inggris yang merasa bertanggungjawab atas masuknya Belanda ke Indonesia mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Duta istimewa Inggris di Asia Tenggara, Lord Killearn, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tanggal 26 Agustus 1946 dan menyodorkan diri menjadi perantara dalam perundingan Indonesia-Belanda.

Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris.

Isi Perundingan Linggarjati yaitu:

1. Pengakuan status de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda.
2. Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).
3. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara.
4. Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949



3.              Kasus : Sengketa Kuil Preah Vihear

Pihak bersengketa : Thailand vs Kamboja

Cara penyelesaian sengketa : Kombinasi Mediasi dan Inquiry ( =perundingan dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pencari fakta ) ; Mediator dan Inquiror : Indonesia

Hasil sengketa : Tidak menghasilkan kesepakatan apapun



Cerita singkat : Sengketa Kuil Preah Vihear sejak 1962 telah memicu konflik berdarah antara Thailand dan Kamboja. Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan bahwa candi dari abad ke-11 itu milik Kamboja. Namun gerbang utama candi tersebut berada di wilayah Thailand.



Thailand dan Kamboja meminta kesediaan Indonesia berperan sebagai penengah konflik yang terjadi di antara keduanya. Permintaan ini disambut baik Pemerintah Indonesia dan diwujudkan dengan cara membentuk tim peninjau. Komposisi tim peninjau terdiri dari unsur sipil dan militer, yakni dari staf Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan staf dari Kementerian Pertahanan serta perwira militer TNI.



Konflik Kamboja-Thailand ini juga menjadi pembahasan dalam pertemuan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta pada tanggal 7-8  Mei 2011 di Istana Bogor. Perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Sampai sekarang kasus tersebut masih belum selesai.



4.              Kasus : Celah Timor / Perairan Laut Timor di Laut Arafura

Pihak bersengketa : Indonesia vs Timor Leste vs Australia

Cara penyelesaian sengketa : Negosiasi (=perundingan para pihak tanpa melibatkan pihak lain)

Hasil sengketa : Masih dalam proses perundingan-perundingan

Cerita singkat : Sebagai negara kepulauan, Indonesia sedikitnya berbatasan dengan delapan negara lain. Salah satu permasalahan perbatasan yang belum terselesaikan sampai saat ini adalah di perairan Arafuru dan Laut Timor, diantara Indonesia, Timor Leste, dan Australia. Perairan ini merupakan wilayah yang sangat strategis karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional dan menyimpan sumber daya yang sangat banyak, baik hayati maupun non hayati.



Perairan ini mempunyai arti strategis bagi ketiga negara, baik dari sudut pandang militer maupun ekonomi, sehingga mempunyai kompleksitas tinggi dalam menyelesaikannya. Namun ketiga negara sampai saat ini masih melakukan proses perundingan yang kondusif karena laut mempunyai makna penting bagi pencapaian kepentingan nasional masing-masing negara.



25. Anthonius Suryanto/00000007422

1. Indonesia dengan Filipina

Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Dalam adat Nanusa, Miangas disebut Tinonda. Konon, pulau ini sering menjadi sasaran bajak laut. Selain merebut harta benda, perompak ini membawa warga Miangas untuk dijadikan budak di Filipina. Di masa Filipina dikuasai penjajah Spanyol, Miangas dikenal dengan sebutan Poilaten yang memiliki arti: Lihat pulau di sana. Karena di Miangas banyak ditumbuhi palm mulailah disebut Las Palmas. Lambat laun pulau ini disebut Miangas. Miangas bukan hanya menjadi sasaran perompakan. Pulau ini memiliki sejarah panjang karena menjadi rebutan antara Belanda dan Amerika. Amerika mengklaim Miangas sebagai jajahannya setelah Spanyol yang menduduki Filipina digeser Amerika. Tapi, Belanda keberatan. Sengketa berkepanjangan terjadi, kasus klaim Pulau Miangas ini diusung ke Mahkamah Internasional.



2. Indonesia dan Malaysia

SENGKETA BLOK AMBALAT

Adapun faktor-faktor penyebaba timbulnya persengketaan blok perairan ambalat
antara Indonesia dengan Malaysia yaitu :
1. Masing-masing negara baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim bahwa blok perairan ambalat adalah wilayah toritorial kedaulatan negaranya.
2. Tidak adanya batas negara yang jelas dikawasan perairan ambalat
3. Tidak adanya kesepakatana antar kedua negara atas batas Negara
4. Adanya sumber daya alam yang melimpah ruah yang terkandung dalam perut bumi di kawasan perairan amabalat yaitu minyak dan gas bumi.



3. Indonesia dan Timor Leste

Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga timor leste tepatnya di perbatasan wilayah timor leste dengan wilayah indonesia, yaitu perbatasan antara kabupaten timor tengah utara (RI) dengan Timor Leste. Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara pemerintah ri dengan pemerintah timor leste dan kemungkinan akan dibawa ke perserikatan bangsa-bangsa (pbb) untuk mendapatkan penyelesaian.masalah perbatasan antara indonesia dan timor leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Lima titik tersebut adalah imbate, sumkaem, haumeniana, nimlat, dan tubu banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga timor leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan kabupaten belu dan dua di perbatasan timor leste dengan kabupaten timor tengah utara (ttu).berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan.
Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara:
1. Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah. Semula, pemerintah indonesia dan timor leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahselain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara. Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga.
2. Negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas Negara.






26. Louis Tappangan, 00000009951

1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka

Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut. Penyelesaian
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.



2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.


Penyelesaian
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.



3. Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas
Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian
Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filipina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928

27. Reza Soebijantoro

1. Kasus Indonesia dengan Laut China Selatan




Konflik Laut China Selatan yang semakin memanas karena China berkonflik dengan negara Asean. Sementara di Laut China Timur, China berkonflik dengan tentang Pulau Senkaku

Dalam beberapa tahun terakhir, China terlihat agresif untuk memperluas klaim teritorial mereka dan secara terang menyiapkan diri untuk berkonflik dengan sejumlah negara. Dengan alasan sejarah kepemilikan wilayah tiongkok tua, China mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan yang kaya sumber daya alam. Klaim China tersebut diperkuat dengan patroli kapal-kapal siap tempur yang dikirim ke wilayah konflik. 




2. Kasus Sipadan Ligitan

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

28. Rezky Kariema, 00000010197

1.Sengketa Internasional antara Indonesia dan Timor leste.

  Klaim wilayah Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh     Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.

Penyelesaian sengketa

Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.

Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas negara.

2. Sengketa Indonesia dengan Malaysia

Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia memperebutkan 2 pulau diSelat Makassar yakni Pulau Sipadan dan Ligitan terjadi sejak tahun 1967. Masing-masing negara bersikeras memasukkan kedua pulau kecil tersebut kedalam wilayah kedaulatannya. Sengketa ini berlangsung kurang lebih 30 tahun, sebab setiap kali diadakan pembicaraan selalu saja menmui jalan buntu. Barulah pada tahun 1997, Indonesia dengan Malaysia menyerahkan masalah ini ke Mahkamah Internasional.

Pada tahun 2002 diperoleh putusan dari Mahkamah Internasional yang memutuskan Pulau Sipadan & Ligitan adalah milik Malaysia. Kekalahan Indonesia disebabkan karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa Belanda yang kala iitu menjajah Indonesia, memiliki kedua pulau tersebut. Sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti-bukti Inggris sebagai penjajah Malaysia kala itu telah memiliki dan mengelola kedua pulau tersebut.

3. Konflik Indonesia-Belanda    

  PERJANJIAN RENVILLE

Latar Belakang:

  • Keinginan Belanda untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya, yang kemudian dikenal dengan garis demarkasi Van Mook, yaitu garis terdepan dari pasukan Belanda setelah Agresi Militer sampai perintah genctan senjata Dewan Keamanan PBB tanggal 4 Agustus 1947.

Untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda maka dibentuklah komisi jasa baik yaitu Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara yaitu Belgia, Amerika, dan Australia

1.     Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland

2.     Australia  diwakili oleh Richard Kirby

3.     Amerika Serikat diwakili oleh Frank Graham.

Tujuannya untuk membantu Indonesia-Belanda menyelesaikan konflik.

 Akhirnya KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI di meja perundingan yaitu di kapal Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir Syarifuddin. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo. Penengah perundingan adalah KTN.

Isi persetujuan Renville adalah sebagai berikut

1.     Belanda tetap berkuasa sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat

2.     RI sejajar kedudukannya dengan Belanda dalam Uni Indonesia Belanda.

3.     Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.

4.     RI merupakan Negara bagian dalam RIS.

5.     Dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk konstituante RIS.

6.     Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda harus dipindahkan ke daerah RI.

Sebenarnya banyak pemimpin Negara RI menolak persetujuan Renville tersebut tetapi akhirnya mereka bersedia menyetujui. Hal tersebut dikarenakan adanya pertimbangan sebagai berikut:

1.     Persediaan amunisi yang menipis

2.     Adanya kepastian bahwa penolakan berarti serangan baru dari pihak Belanda secara lebih hebat.

3.     Adanya keterangan dari KTN bahwa itulah maksimum yang dapat mereka lakukan.

4.     Tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong.

5.     Bagi RI menandatangani persetujuan Renville merupakan kesempatan yang baik untuk membina kekuatan militer.

6.     Timbul simpati dunia yang semakin besar karena RI selalu bersedia menerima petunjuk KTN.

29. Yeremia Tulenan, 00000009913

I. AMCO VS REPUBLIC OF INDONESIA

Asia Corporation and Others(AMCO)

Penggugat: Amco Asia Corporation, Pan American Development, PT. Amco Indonesia.

Kemudian tergugat : Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penananan Modal.



Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9.

Tuntutan diajukan kepada lembaga arbitrase ICSID yang bertempat di Washington DC, Amerika Serikat oleh para investor yang membentuk konsorsium pada tanggal 15 Januari 1981.

* Penyelesaian :

Diselesaikan melalui badan arbitrase di Washington; International Center for the Settlment of Investment Disputers (ICSID)

Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri.

ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.



II. PULAU MIANGAS ANTARA INDONESIA - PHILIPPINA

Pulau Miangas, sebuah pulau kecil dengan luas 293,9 HA dan berpenduduk 679.678 jiwa (Irwandi dkk,2007) yang termasuk dalam propinsi Sulawesi Utara tersebut diperebutkan antara Indonesia dan Filipina muncul pada tahun 1979. Pulau Miangas dalam Peraturan Presiden No.78/2005 termasuk dalam 92 pulau kecil terluar Indonesia. Ini berarti Pulau Miangas termasuk pulau dengan lokasi geografis paling luar sekaligus batas kedaulatan Indonesia dengan negara-negara tetangga, dalam hal ini Filipina.




*Penyelesaian :

dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral Indonesia-Filipina sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan dalil bahwa La Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulu pada tahun 1512.

Namun Pulau Miangas adalah milik Indonesia didukung dengan bukti bahwa berdasarkan letak geografis, posisi Pulau Miangas berada di 5° 34' 02'' Lintang Utara dan 126° 34' 54'' Bujur Timur terdapat pada TD No. 056 dan TR No. 056, telah terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pulau terluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan milik sah Pemerintah Republik Indonesia, serta berdasarkan Protokol Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Filipina mengenai Definisi Wilayah Indonesia pada tanggal 10 Februari 1976 tersebut menegaskan bahwa “Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal dengan nama Pulau Miangas atau Las Palmas sebagai hasil putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada tanggal 4 April 1928”, serta dikuatkan dengan argumentasi historis-politis dan administratif.




30. Nova Shyntia R.D.Purba, 00000009797

1. Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Penyelesaian Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.



2. Tahun 2005 kesediaan Finlandia (good offices) dalam menengahi sengketa Republik Indonesia kontra GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang berhasil diredam dan mendapati titik temu dan kesepahaman antar para pihak bersengketa. 

31. Ardi Akbar
kasus Ambalat
negara yang terlibat: Indonesia dan Malaysia
Penyelesaian:
Melakukan pertemuan liberal guna membahas masalah dengan perundingan, dan memutuskan pulau Ambalat tetap wilayas NIKRI.

Kasus pulau Simakau
Negara yang terlibat:Indonesia dan Singapura
Penyelesaian:
Melakukan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud adalah pulau Simakau milik Singapura. Jadi, terdapat dua pulau yang bernama sama yang dimiliki Indonesia dan Singapura

32. HENDRA RONALDI
1. Kasus batas perairan antara Indonesia dan Filipina mengenai Pulau Miangas.

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).
Penyelesaian:
Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928.

            2. Sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia.

Terjadinya tumpang tindih pemberian konsensi di Blok Ambalat menjadi pemicu sengketa. Malaysia mengklaim Blok Ambalat sebagai miliknya berdasarkan Peta Baru 1979 yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia, sedangkan Indonesia sejak tahun 1960-an sudah lebih dahulu memberikan koensi kepada beberapa perusahaan asing lainnya dengan nama yang berbeda di wilayah Ambalat.
Penyelesaian :
sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia belum terselesaikan, tetapi menurut hukum internasional diwajibkan secara damai.
           
            3. Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Penyelesaian :
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

33. Hotasi Albino
1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.
Penyelesaian
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.


2.2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau BintanDi sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Penyelesaian
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kkilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

34. Jacqueline A.Z

2. Batas Perairan Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka 
Permasalahan:
Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara Indonesia dengan Malaysia mengen1. Kasus Batas Perairan Indonesia dengan Filipina mengenai Pulau Miangas
Permasalahan:
Pulau Miangas terletak dekat Filipina, yang diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian:
Dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Filiphina mengenai defisi wilayah, Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia dilihat atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928. Mahkamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber memutuskan bahwa pulau Miangas menjadi milik sah Belanda (Hindia Belanda). Filipinapun kemudian menerima keputusan tersebut.

ai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

Penyelesaian:
Pada tahun 1970 bulan Februari-sampai dengan Maret dilaksanakan perundingan mengenai perbedaan pendapat dan sengketa tentang selat malaka, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas Wilayah Perairan antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Perundingan yang masih berlangsung adalah mengenai batas ZEE(Zona Ekonomi Eksklusif)  Indonesia dengan Malaysia. Permasalahannya adalah dengan disepakatinya garis batas wilayah, pihak Malaysia berpandangan bahwa landas kontinen sama dengan batas ZEE. Indoensia berpandangan bahwa landas kontinen dan ZEE merupakan dua rezim hukum yang berbeda dan oleh karena itu masih perlu dilakukan perundingan untuk menetapkan ZEE. Karena belum ditetapkannya batas ZEE dia antara duabelahpihak maka menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan tersebut. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

35. Josua Samuel
1.  Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.

2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau BintanDi sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

36. Kevin Christiansen David
1. Batas daratan Indonesia - Malaysia mengenai Ambalat

Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.


Penyelesaian:

Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.

2. Batas daratan Indonesia-Singapura mengenai penambangan pasir Pulau Nipa


Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.


Penyelesaian:

Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.

3. Batas perairan Indonesia - Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan

Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.


Penyelesaian:

Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

37. Kevin Jonathan

  1.) Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka 
Yang menjadi persoalan dalam masalah ini adalah perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dimana diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line di pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.

2.        2.) Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas
Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia masih berpegang pada wawasan nusantara  sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928.

3.              3.)Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat
Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia

38. Alifia Nabila
Pada tahun 1908 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ ( International Law of Justice). Kemudian pada Selasa,17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada indonesia. Dari 17 hakim itu,15 merupakan hakim tetap dari MI,sementara 1 hakim merupakan pilihan Malaysia,oleh karena berdasarkan pertimbangam effectivity yaitu pemerintahan Inggris telah melakukan melakukan tindakan andministratif secara nyata berupa penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung,pungutan pajak terhadap pemgumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an.
KONFLIK KOMUNAL DI PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE DAN UPAYA PENYELESAIANNYA
Pertengahan oktober 2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-timor leste kembali pecah. Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara(indonesia) dengan Distrik Oecussi(timor leste). Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara,jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 M dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 M. Zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak,baik indonesia maupun Timor Leste. Selain itu pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan,merusak pintu gudang senset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia,serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu,Kecamatan Naibenu,Kabupaten Timor Tengah Utara.
Konflik tersebut bukan pertama kali di Timor Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi.
Faktor penyebab konflik:
1. Masih belum tuntasnya delimitasi perbatasan antara kedua negara. Berdasarkan nota kesepahaman antara kedua negara pada 2005,masih terdapat 4% perbatasan darat yang masih belum disepakati.
2. Terjadi perbedaan interpretasi mengenai zona netral yang terdapat di perbatasan kedua negara.
3. Terkait dengan aspek sosial budaya,yaitu masih terdapat sentimen negatif antarwarga indonesia dengan warga Timor Leste

39. Dennis Christian David
1. Batas Daratan Indonesia - Singapura Mengenai Penambangan Pasir Pulau Nipa
Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh Pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencahariannya. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya Pulau Nipa. Jika hal ini dibiarkan saja, yang ditakutkan dapat terjadinya perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia. 

Penyelesaian
Kementerian Pertahanan mengkampanyekan untuk mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008, penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah Kementerian Pertahanan ini menghabiskan dana lebih dari 300 milyar rupiah.

2. Batas Perairan Indonesia - Singapura di Pulau Karimun Besar & Pulau BintanDi sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan dari 3 negara, yaitu Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut ( ke arah perairan Indonesia ) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.

Penyelesaian 
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.

3. Batas Perairan Indonesia - Filipina Mengenai Pulau Miangas
Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada Treaty of Paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara ( the archipelagic principles ) sesuai dengan ketentuan konvensi PBB tentang hukum laut ( UNCLOS 1982 ).

Penyelesaian
Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia - Filipina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah milik Indonesia atas dasar putusan mahkamah arbitrase internasional 4 April 1928.

40. Jovano B.W Lango 

1. Masalah Indonesia dengan Timor Leste 
Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan  orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.  
Dalam usaha penyelesaian yang bersifat jangka panjang, Indonesia melakukan diplomasi dalam rangka menyelesaikan delimitasi terhadap segmen-segmen yang masih belum disepakati. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7 km (Ganewati Wuryandari, 2012). Upaya diplomasi ini tidak hanya berfokus pada penyelesaian garis demarkasi terhadap tiga segmen batas yang belum disepakati, tetapi juga pengenalan pengaturan di kawasan perbatasan yang memungkinkan warga Timor Leste dan warga Indonesia yang berada di sisi perbatasan masing-masing untuk bisa melanjutkan hubungan sosial dan kekeluargaannya yang selama ini telah terjalin di antara mereka. 

2. Batas perairan Indonesia dengan Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan 
Di sebelah utara Karimun besar dan Pulau Bintan merupakan pembatasan antara tiga negara yaitu; Indonesia, Malaysia dan Singapur. kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian tentang batas laut. Permasalahn muncul setela Singapura dengan gencar melakukan reklamase pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan laut Indonesia) dan Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang besar. 
Penyelesaian: 
Negosiasi antar negara  yang di lakukan sejak 2005 akhirnya berubah kesepakatan Batas laut yang di tentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini kulai berlaku pada tahun 2010
 
41. Kendra Wiratama
1. ada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut.
Penyelesaian
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagaicoastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.


2.  Batas Perairan Indonesia-Singapura di Pulau Karimun Besar dan Pulau BintanDi sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Penyelesaian
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010.


3.  Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas

Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

Penyelesaian

Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928

4. Batas Daratan Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat

Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.

Penyelesaian
Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Namun Pulau Ambalat tetap berada dalam wilayah Indonesia.
5. Batas Daratan Indonesia-Singapura mengenai Penambangan Pasir Pulau NipaSengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.
Penyelesaian
Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar