Rabu, 25 Februari 2015

Latihan 7

1. Ezmeralda Pawan, 00000008064
Sebutkan 2 contoh situasi di Indonesia yang berpotensi negara lain menuntut pertanggung jawaban negara dari Indonesia:
1.     Komando operasi TNI di Aceh mengumumkan terjadinya penembakan terhadap warga Jerman, Hendrick Albert (tewas) dan Elizabeth Margareth pasangannya, di kawasan Lhok Gayo, Teunon, Aceh Jaya, tanggal 5 Juni 2003.
2.     State Responsibility and Maritime Terrorism in The Strait of Malacca : Persuading Indonesia and Malaysia to Take Additional Steps to Secure The Strait.

2. Arina Sondang, 00000010318
-Pertanggungjawaban negara Indonesia terhadap Malaysia dan Singapura mengenai kasus polusi asap yang melintasi batas negara dalam kaitannya dengan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
 -Pertanggungjawaban negara Indonesia dalam penghapusan diskriminasi terhadap  perempuan di PBB.

3. Kristi Puspita, 00000008014
Kasus yang telah terjadi:
Kasus pertanggungjawaban Indonesia atas protes Malaysia dan Singapura dalam masalah kabut asap dan kebakaran hutan di Propinsi Riau.
Kasus yang mungkin akan terjadi:
Duta besar dari Indonesia menghina/tidak menghargai pemerintah negara lain dimana ia ditugaskan sehingga merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan negara tersebut.

4. Muhammad Dhana
3 contoh:
Peristiwa Timor- Timur
Peristiwa Usman Harun
Peristiwa Trisakti
5. Agustina, 00000008779
Kasus pengeboman Mc Donald Singapore.
= kasus pengeboman ini dilakukan oleh 2 orang Indonesia pada tanggal 10 Maret 1965 dan menangkap harun dan usman untuk diberikan hukum gantung

Peristiwa pelanggaran HAM timor timur pada tahun 1999
= Para atribut negara seperti TNI dsb yang membunuh (genosida)dan memperkosa banyak warga wanita timor timur 

Peristiwa kebakaran hutan yang menyebabkan singapura dan malaysia menuntut pada Indonesia mengenai hal itu
 : Peristiwa kebakaran tersebut menyebabkan singapura tertutup kabut asap yang tebal dan menimbulkan warga singapura sulit melanjutkan aktivitas mereka sehingga Singapura mengadakan perjanjian dan meminta pertanggung jawaban dari pihak Indonesia.

6. Sari Erika
1. Maraknya penebangan hutan liar di Indonesia yang bukan hanya berdampak pada Indonesia tetapi seluruh dunia, dengan fungsi hutan di Indonesia sebagai paru-paru dunia. Dengan bukti konkrit adanya sumbangan dari negara AS sebesar US$ 500 juta untuk membantu penekanan keluaran emisi karbon penyebab pemanasan global di Indonesia (Maturidi, 2015)
2. Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris mengecam adanya isu atau wacana bahwa Indonesia berpotensi untuk mengubah limbah radioaktif menjadi senjata nuklir dengan dihasilkannya plutonium dan uranium, seperti yang kita ketahui dampak dari bahaya nuklir bisa meluas sampai ke negara lain.

7. Louis Tappangan, 00000009951
Kabut Asap yang disebabkan oleh Indonesia terhadap Malaysia tahun 2004
Kabut asap di Malaysia terus memburuk. Asap yang bersumber dari Riau itu menyebabkan sejumlah penerbangan ke Indonesia ditunda. Menurut pejabat lingkungan setempat saat tahun 2004, kian tebalnya kabut asap di Kuala Lumpur dan di pantai barat selain karena pembakaran lahan secara liar juga karena udara panas dan musim kemarau. Negara bagian yang menghadap Sumatra adalah Penang, Negeri Sembilan dan Johor. Kondisi udara ketiga daerah itu dikategorikan tidak sehat. Sementara, di Bandara Berendam di Malaka, jarak pandang merosot hingga 1 km. Buntutnya, sejumlah penerbangan ke Pekanbaru-Riau pun ditunda. Sementara itu, pejabat pemerintahan setempat juga memerintahkan kegiatan luar ruangan di sekolah dihentikan untuk sementara. Penderita asma dan manula juga disarankan berada di dalam ruangan. Masker juga disarankan dipakai.

Hukuman mati TKI di Arab Saudi tahun 2014
Tindakan Indonesia dalam hal mempertahankan warga negaranya agar tidak dihukum mati di Arab Saudi, TKI tersebut bernama Satinah.
Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Djoko Suyanto, membantah bila pemerintah Indonesia dianggap tidak membantu pembebasan Pembantu Rumah Tangga (PRT) Satinah yang akan menjalani hukuman mati di Arab Saudi. Djoko menegaskan pemerintah RI telah melakukan lobi berkali-kali kepada pemerintah Arab Saudi. Presiden SBY juga sudah mengirimkan surat.

8. Melisa Salim, 00000008083
Terjadinya penembakan di Kawasan Lhok Gayo, Teunon, Aceh Jaya, tanggal 5 Juni lalu oleh TNI terhadap warga Jerman, yakni Hendrick Albert(tewas) dan Elizabeth Margareth pasangannya.
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara tidak mencakup penggantian kerugian atau kerusakan yang diderita warga asing karena kerusuhan atau pemberontakan di negara setempat, sebab - sebagaimana disebutkan - orang asing yang memasuki wilayah suatu negara memiliki risiko akan terkena dampak kerusuhan maupun pemberontakan, lebih-lebih ketika warga asing tersebut dengan sengaja malah memasuki wilayah perang. Jadi dalam konteks peristiwa tertembaknya warga Jerman di Aceh, pemerintah Indonesia tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab secara internasional. Pemerintah dan TNI tidak dapat dipersalahkan secara internasional selama terjadinya penembakan tidak menyalahi prosedur dan ketentuan dalam situasi darurat militer. Walaupun demikian, menurut pendapat pakar hukum internasional, Oppenheim (1966) negara setempat harus mengadili atau setidaknya menyelidiki kasus yang menyebabkan timbulnya kerugian atau bahkan kematian yang menimpa warga asing tersebut. Apabila tidak, maka negara asal warga asing itu secara hukum dapat menuntut pertanggungjawaban negara. Menurut Oppenheim, praktik-praktik negara juga sesuai dengan ini.Dalam beberapa kasus, beberapa negara kadang-kadang juga mengganti kerugian atau memberi kompensasi atas kematian warga asing tersebut. Negara juga bisa melakukan tindakan tertentu sebagai ungkapan simpati kepada warga yang dirugikan atau tewas tersebut . Namun tindakan-tindakan ini bukan karena keharusan hukum, melainkan karena pertimbangan etika pergaulan dan kesopanan internasional saja yang sesungguhnya tidak mengikat.Oleh karena itu tindakan pemerintah Indonesia (melalui TNI) untuk memfasilitasi pemulangan warga Jerman yang tewas serta perawatan kepada pasangannya yang luka tersebut harus dipahami bukan karena kewajiban hukum , tetapi sebagai ungkapan etika dan kesopanan dalam pergaulan internasional serta menunjukkan simpati kepada pihak korban
2.    Kasus negara anggota WTO menggugat Indoensia dalam program Mobil Nasional
Indonesia pernah digugat oleh negara-negara anggota WTO, yaitu Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Permasalahan pada saat itu adalah program Mobil Indonesia dimana Indonesia dianggap telah memberikan kemudahan bagi industri mobil nasional yang merupakan bentuk diskriminasi, dan oleh sebab itu telah melanggar ketentuan WTO yang terkait dalam Persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya agar selaras dengan peraturan WTO.
Di era 1990-an Pemerintah Indonesia memperkenal sebuah Program Intensif yang dikenal dengan Paket Kebijakan Otomotif 1993. Dan pada tahun 1996,memutuskan untuk mempercepat Program Intensif dengan memperkenalkan program Mobil Nasional dengan mengatur bahwa untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, perusahaan harus mencapai tingkat kandungan lokal sebesar 20% di tahun pertama, 40% di tahun kedua, dan 60% di tahun ketiga.
Timor adalah merek mobil yang dipasarkan di Indonesia yang merupakan versi sama dengan mobil dari Korea Selatan yakni Kia Sephia. Lahirnya mobil Timor sebagai mobil nasional menimbulkan polemik dan akibat hukum yang sangat besar, khususnya di bidang ekonomi dunia. Timor memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan khusus/istimewa. Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dengan Korean International Automotive (KIA) dinilai sebagai bentuk diskriminasi hukum di bidang perekonomian dunia.
Salah satu negara pengekspor produk otomotif yaitu Jepang kemudian melakukan pengaduan/gugatan ke World Trade Organization (WTO). Gugatan Jepang bermula dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Namun, karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional yang membolehkan PT Timor Putra Nasional untuk mengimpor mobil nasional yang kemudian diberi merek “Timor” dalam bentuk jadi atau completely build up (CBU) dari Korea Selatan.
Hal ini mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Namun, Jepanglah yang paling berusaha keras karena mempunyai kepentingan kuat dalam idustri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% pangsa mobil di Indonesia. Reaksi lain dari Amerika dan beberapa negara Eropa gelisah karena mereka berencana menanamkan investasi dalam industri otomotif di Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dengan Pemerintah Indonesia namun tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Kemudian, tindakan lanjutan dari Jepang yaitu melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industri menyatakan bahwa mereka akan membawa masalah ini ke WTO.
Gugatan Jepang ke WTO atas Indonesia terdiri dari tiga poin, yaitu:[6]
1  Perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Kebijakan ini melanggar Pasal 10 General Agreement on Traffis and Trade (GATT) mengenai perlakuan bebas tarif masuk barang impor.
2  Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama dua tahun. Kebijakan ini melanggar Pasal 3 ayat (2) GATT.
3  Menghendaki perimbangan muatan lokal seperti intensif.
   Mengizinkan pembebasan tarif impor,
Membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobil nasional sesuai dengan pelanggaran Pasal 3 ayat (1) GATT dan Pasal 3 Kesepakatan perdagangan Multilateral.

Indonesia yang secara resmi bergabung dengan WTO dengan meratifikasi Konvensi WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 secara hukum terikat dengan ketentuan-ketentuan GATT termasuk prinsip-prinsip:
1. Prinsip penghapusan hambatan kuatitatid (non tariff barriers/non tarif measures) berdasarkan Artikel XI Paragraf 1 GATT 1994.
2. Prinsip National Treatment yang diatur dalam Artikel III paragraf 4 GATT 1994.

9. Reza Chandra
1.Kasus Ambalat
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979.pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional

2.kasus pelanggaran ham di timor timur oleh Indonesia.
Timor Leste adalah negara baru yang berdiri secara resmi berdasarkan jajak pendapat tahun 1999. Dulunya, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia bernama Timor Timur, propinsi ke-27. Pemisahan diri Timor Timur memang diwarnai dengan suatu tindak kekerasan berupa pembakaran yang dilakukan oleh milisi yang kecewa dengan hasil referendum. Ada yang menengarai tindakan tersebut didukung oleh pihak militer Indonesia, meskipun hal itu dibantah oleh pihak keamanan Indonesia. Hubungan Indonesia sendiri dengan Timor Leste belakangan membaik meski ada beberapa kasus. Pada 20 Januari 2006, Presiden Eks-Timor Timur, Xanana Gusmao menyampaikan laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) kepada Sekjen PBB. Dalam laporan itu disebutkan telah terjadi pembantaian terhadap 102.800 warga Timor Timur dalam kurun waktu 24 tahun, yakni ketika Timtim masih tergabung dengan Indonesia (1974-1999). Sekitar 85 persen dari pelanggaran HAM, menurut laporan CAVR, dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia.
Setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor Timur yaitu menerima atau menolak otonomi khusus, maka pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Portugal di bawah payung PBB, tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur.
Sejak opsi diberikan, terlebih setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak kekerasan yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Kekerasan di Timor Timur menguat setelah militer Indonesia memasuki wilayah tersebut sejak tahun 1975 dengan pembentukan dan penggalangan sipil bersenjata yang dikemudian hari disebut WANRA. Sebagain dari tenaga-tenaga tersebut diorganisir ke dalam TNI melalui program militerisasi atau milsas dan digaji sebagai tentara reguler.
KPP HAM memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 1999 . Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan dikompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April ; penyerangan Diosis Dili, 5 September ; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September ; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September ; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos 25 September ; dan kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasusnya, yaitu Kasus Pembantaian di kompleks Gereja Liquica, Kasus pembunuhan warga Kailako, Penyerangan rumah Manuel Carrascalao, Penyerangan Diosis Dili, Penyerangan Rumah Uskup Belo, Penghancuran massal dan pembunuhan di Maliana, Pembunuhan massal di kompleks Gereja Suai.

10. Tony Gunawan, 00000007465
1.   Kasus Balibo Five di Timor Leste tahun 1975 mengenai dugaan kejahatan perang pembunuhan 5 wartawan asing (4 warga Australia dan 1 warga Selandia Baru) oleh pasukan khusus Indonesia. Lima wartawan itu dibunuh diduga untuk mencegah pemberitaan invasi Indonesia ke Timor Leste. Pengadilan menyebutkan 3 mantan pejabat senior di pasukan khusus Indonesia yang telah memerintahkan pembunuhan.

State Responsibilitynya : Indonesia dianggap tidak melakukan kewajiban Internasional dengan menghukum pembunuh WN Auatralia dan Selandia Baru, apalagi dugaan pembunuhnya adalah kategori organ negara yaitu Jendral sebagai pemberi perintah dan tentara sebagai eksekutornya
2. Pengiriman TKI ilegal ke Malaysia karena Indonesia harus bertanggung jawab kepada warga negaranya di luar negeri, apalagi pemalsu identitas palsunya adalah WN Indonesia yang bekerja sama dengan pihak imigrasi Indonesia yang merupakan organ negara.
11. Aulia Rachmadani, 00000010134 
1. Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia terhadap Malaysia dan Singapura dalam masalah kabut asap di propinsi Riau,
Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Bentuk pertanggungjawaban Indonesia nantinya akan diatur dengan pasal-pasal dalam kesepakatan mengenai penyelesaian masalah ini.

2. Perdana Mentri Australia meminta pertanggungjawaban Indonesia untuk Balas Budi,
Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta Pemerintah Indonesia mengingat kontribusi Australia dalam pemulihan tsunami Aceh 2004 silam. Abbott meminta Pemerintah Indonesia membalas kontribusi Australia tersebut dengan membebaskan dua terpidana mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Pernyataan Abbott ini menjadi usaha terbaru Pemerintah Australia untuk menekan Pemerintah Indonesia agar membatalkan eksekusi mati duo Bali Nine tersebut. “Kami akan memastikan ketidaksetujuan kami dipahami. Kami secara jelas menyatakan kecewa (atas hukuman mati). Jangan lupakan bantuan kami saat Indonesia dilanda tsunami beberapa tahun lalu. Kami mengirim miliaran dolar untuk membantu, warga Australia juga kehilangan nyawanya dalam usaha membantu Indonesia. Kami berharap kali ini pemerintah dan rakyat Indonesia membalas bantuan kami tersebut,” kata Abbott seperti dilansir Sydney Morning Herald Rabu,
12. Melinda Fortuna, 00000007627
1. kasus kebijakan Mobil Nasional Indonesia dibawa ke World Trade Organization oleh Jepang tahun 1996-1999
Jepang menilai bahwa kebijakan pemerintah mengenai mobil nasional sebagai wujud diskriminasi dan oleh karena itu melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas. Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua, perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama dua tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1 GATT, dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.
Atas dasar itu, Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI) mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum dalam WTO.
Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization dengan meratifikasi konvensi WTO melalui Undang-Undang No.7 tahun 1994 secara hukum terikat kepada ketentuan - ketentuan General Agreements on Tariff and Trade (GATT). WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebut dinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor.

2. Potensi Indonesia digugat oleh Timor Leste soal pelanggaran HAM tahun 1975-1999
Contohnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di bumi Lorosae. Timor Leste menyerahkan dokumen CAVR atau Komisi Rekonsiliasi dan Pencari Fakta Timor Timur kepada PBB. Dokumen itu mengenai pembunuhan 100 ribuan warga Timor semasa pendudukan Indonesia dalam kurun waktu 1975 sampai 1999. Pola pembunuhan dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan kimia dan kekerasan seksual. Kini masyarakat Timor Leste dan organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia di Timor Lorosae menunggu komitmen PBB, Timor Leste dan Indonesia untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut. Namun sungguh sayang, Komisi Kebenaran dan Persahabatan KKP, yang anggotanya berasal dari dua negara Timor Leste dan Indonesia, hanya akan menyentuh masalah pelanggaran HAM tahun 1999. Pelanggaran HAM tahun 1999, terjadi di Timor Lorosae pra sampai pasca jajak pendapat. Berbagai nama direkomendasikan Tim Pencari Fakta kasus Timor Timur untuk diseret ke meja hijau. Namun mereka akhirnya lolos dari jerat hukum.
Sehingga kasus ini berpotensi untuk menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional berkenaan tanggung jawabnya atas persoalan HAM pada masa lampau di Timor Leste tersebut.

13. Chelsea Timotius
- RI Diam-diam Bayar Ganti Rugi 600 Juta Gulden ke Belanda
- Sengketa antara Trading Corporation of Pakistan Limited VS PT. Bakrie & Brothers

14. BOB ALLEN SIMATUPANG, 00000010170 
1.  Panglima TNI meminta maaf kepada Singapura
Singapura  menyambut baik permintaan maaf Panglima Tentara Nasional Indonesia Moeldoko atas penamaan kapal perang Indonesia yang menggunakan nama dua marinir yang ditugaskan meledakkan bom di Singapura tahun 1965.

Singapura mengungkapkan kemarahannya Februari lalu ketika kapal Indonesia yang baru diperbaharui dinamakan "KRI Usman Harun”.
Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menyambut baik permintaan maaf tersebut dan mengatakan itu adalah "sikap konstruktif untuk meningkatkan hubungan pertahanan bilateral".
Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Usman dan Harun. Keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pemberian tersebut dianggap termasuk pelanggaran kewajiban internasional yang dimana termasuk salah satu elemen pertanggung jawaban negara.

2. TKI ILLEGAL
Indonesia seharusnya bertanggung jawab kepada negara lain misalnya Malaysia dikarenakan banyak mengirim WNI sebagai TKI illegal  ke negara Malaysia.
Pemalsuan izin TKI banyak terjadi dan tentu saja pihak negara yang mengeluarkan izin tersebut mengetahui hal ini.
TKI yang illegal tentu saja merugikan negara tempatnya bekerja karena akan menambah tenaga kerja yang bekerja di negara tersebut.
Selain itu pendatang tanpa izin Indonesia menyumbang kepada masalah sosial sekaligus merampas keamanan di negara penerima TKI atau WNI illegal tersebut.
15. Inara Mahesa Chaidir, 00000010060
1. WNI Illegal
Indonesia seharusnya bertanggung jawab kepada negara lain misalnya Malaysia dikarenakan banyak mengirim WNI sebagai TKI illegal  ke negara Malaysia. Pemalsuan izin TKI banyak terjadi dan tentu saja pihak negara yang mengeluarkan izin tersebut mengetahui hal ini. TKI yang illegal tentu saja merugikan negara tempatnya bekerja karena akan menambah tenaga kerja yang bekerja di negara tersebut. Selain itu pendatang tanpa izin Indonesia menyumbang kepada masalah sosial sekaligus merampas keamanan di negara penerima TKI atau WNI illegal tersebut.
 

2. Indonesia diminta untuk meminta maaf kepada Timor Leste
Indonesia diminta minta maaf kepada Timor Leste dikarenakan Indonesia dinyatakan sebagai pihak paling bersalah dalam kerusuhan di Timor Timur. Militer, polisi, dan pejabat sipil Indonesia bersalah atas pembunuhan, penyiksaan, dan pelanggaran HAM yang terorganisasi seusai jajak pendapat warga Timor Leste, yang memilih melepaskan diri dari Republik Indonesia. Komisi yang dibentuk secara bilateral pada 2005 itu juga mengungkap ada tanggung jawab institusional atas pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penangkapan ilegal terhadap para pendukung kemerdekaan.
16. Kevin Jonathan
  1. Masalah Kabut asap kebakaran hutan di propinsi Riau

Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang rumit. Dampak langsung dari kebakaran hutan riau tersebut antara lain: timbulnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efisiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor diliburkan. Ketiga, terancamnya habitat asli dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiii\l dan imateriil di Negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan singapura.

Penyebab dari masalah kebakaran hutan ini adalah karena kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha perkebunan sawit yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar daripada metode lain, pekerja-pekerja pembuka lahan yang berasal dariH tempat setempat. Pemerintah memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha perkebunan sawit. Tidak terlaksananya mekanisme pembukaan lahan yang seharusnya inilah yang menjadi inti permasalahan. Ketidaktersediaan   teknologi yang memadai membuat metode land clearing dengan cara membakar dinilai efisien. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di Riau.

Terhadap masalah kebakaran hutan ini masyarakat sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada di sekitarnya. Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengutarakan ada hak masyarakat untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak buruk terhadap lingkungan. Hak-hak yang dapat digunakan oleh seseorang tersebut antara lain :
a. hak mengajukan gugatan;
b. pertanggungjawaban (liability),
c. beban pembuktian, dan
d. penentuan ganti kerugian. 
Mengenai hak mengajukan gugatan dapat dibagi atas beberapa macam yakni :
a. gugatan perwakilan kelompok
b. hak gugat LSM dalam hal terjadinya kerugian negara
c. gugatan masyarakat atau citizen suit5
Adapun mengenai masalah pembuktian dalam kasus ini dapat ditempuh dengan 2 cara yakni:
a.  Konvensional (163 HIR dan 1865 BW)
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
b.  Terbalik
Kewajiban penggugat sebatas mengajukan bukti awal/pendahuluan atau prima facie evidence dan tidak perlu legal evidence.
Ada 2 jenis implikasi jenis pertanggungjawaban terhadap pembuktian ini yakni :
a. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yakni :
1.   Kesalahan (fault)
2.   Kerugian (damages)
3.   Kausalitas (casual link)
4. Beban pembuktian terhadap ketiga unsur di atas terdapat pada penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
b. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no fault liability/strict liability), yakni:
1.       Kerugian (damages)
2.       Kausalitas (casual link)
3.       Beban pembuktian terhadap kedua unsur di atas tetap merupakan beban penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
4.       Beban pembuktian tentang faktor penghapus pertanggungjawaban/ pembelaan ada pada diri tergugat sebagaimana layaknya suatu pembelaan (tidak terdapat pemindahan beban pembuktian).
Khusus penggunaan strict liability adalah pada kegiatan yang :
a.        Berdampak besar dan penting
b.       Menggunakan bahan berbahaya dan beracun dalam proses produksi
c.        Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

2. Kasus hukuman mati warga Negara asing dikarenakan kasus narkoba di Indonesia

17. GLENN WIJAYA, 00000008020
Kasus Pertama:
Asap pembakaran hutan sudah mengganggu negara lain, terutama Singapura dan Malaysia yang lokasinya berdekatan dengan sumber asap. Indonesia bertanggungjawab atas terjadinya kabut asap yang ditimbulkan di wilayah Indonesia, dan bentuk pertanggungjawaban Indonesia adalah permintaan maaf yang resmi kepada negara tetangga yang dirugikan.

Dalam sepekan terakhir, Indonesia kembali direpotkan oleh persoalan kabut asap. Bahkan, kabut asap tersebut bukan hanya menggangu warga Indonesia di wilayah Sumatera, terutama Riau, tetapi sudah menyeberang ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.

Di kedua negara tetangga tersebut, asap sudah mengganggu aktivitas warganya. Di Singapura, indeks standar polusi (PSI) pernah mencapai level kritis, yakni 400, yang berpotensi mengancam nyawa orang-orang sakit dan lanjut usia. Di Malaysia, khususnya di negara bagian Johor, ratusan sekolah ditutup karena kabut asap dari Indonesia. Pemerintah di kedua negara tetangga itu pun mengeluarkan protes.

Beberapa hari yang lalu, melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan meminta maaf kepada pemerintah Malaysia dan Singapura terkait asap tersebut. Namun, Senin (24/6) kemarin), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan meminta maaf kepada Malaysia dan Singapura. “Atas apa yang terjadi, saya selaku Presiden meminta maaf dan meminta pengertian saudara kami di Singapura dan Malaysia,” kata SBY.

Kasus “ekspor asap” ke negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura, bukan kali saja. Pada tahun 1997, ketika kebakaran hutan hebat melanda Indonesia, ekspor asap terjadi di sejumlah negara-negara tetangga se-Asia Tenggara. Dan kejadian semacam itu terus terjadi nyaris setiap tahun.

Namun, kasus kabut asap tahun ini agak berbeda. Pakar lingkungan dari Universitas Riau, Professor Adnan Kasri, menyebut kabut asap tahun ini terparah dalam sejarah. Menurutnya, jika pada tahun 1997 kebakaran hanya terjadi sebagian besar pada kawasan hutan alam, maka pada tahun ini kebakaran juga melanda kawasan gambut dengan tingkat kedalaman hingga mencapai lima meter di dasar.

Yang menarik, seperti diungkapkan oleh Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, titik-titik api penyebab asap itu juga berasal dari wilayah konsensi perusahaan asing.

Menurut Direktur Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, di Provinsi Riau saja terdapat 57 perusahaan yang konsesinya terdeteksi memiliki titik api. Pada areal konsesi tersebut, terdeteksi sebanyak 1.106 titik api selama 19-20 Juni 2013. Sebagian besar di areal konsesi HTI dan sawit yang perizinannya di Kementerian Kehutanan.

Ada dua perusahaan yang sejauh ini terdeteksi wilayah konsesinya punya titik api, yakni Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)/APRIL dan perusahaan APP/Sinar Mas. Kedua perusahaan tersebut berkantor pusat di Singapura. Tetapi pemiliknya adalah orang-orang Indonesia yang lebih banyak bermukim di Singapura. Karena itu, ketika pemerintah Singapura ribut soal asap, banyak yang menganggap itu ironis.

Namun, kasus kabut asap yang nyaris terjadi setiap tahun, yang bahkan menyebabkan kita mendapat predikat “eksportir asap”, tidak terlepas dari tata kelola hutan yang sangat berorientasi profit/bisns. Orientasi bisnis itulah yang mendorong alih-fungsi hutan. Hal itu dimungkinkan karena dilegalisasi oleh UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Hingga tahun 2012 lalu, pemerintah telah menyerahkan 25 juta hektar hutan kepada korporasi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)-hutan alam dan 9,3 juta hektar untuk korporasi pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Selain itu, ada penyerahan 15 juta hektar untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan. Sementara, hingga tahun 2011, ekspansi perusahaan sawit sudah menguasai 8 juta hektar.

Situasi itu telah membawa banyak dampak buruk. Pertama, meningkatnya deforestasi atau penggudulan hutan karena kepentingan bisnis. Aktivitas ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati secara massif. Kedua, terjadinya penyingkiran terhadap masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Banyak kawasan tanah ulayat dirampas paksa oleh perusahaan.

Dengan demikian, dalam kasus “ekspor asap”, kita tidak perlu jauh-jauh mencari pembikin masalahnya. Akar masalahnya ada di pemerintahan SBY sendiri, yakni kebijakan kehutanan yang sangat liberal dan pro-bisnis. Kebijakan kehutanan itu bertolak belakang dengan pasal 33 UUD 1945.

Kasus Kedua

Hypothetical case: Terorisme di Selat Malaka dapat memicu Pertanggungjawaban Indonesia
Selat Malaka, yang terletak di antara Indonesia dan Malaysia, merupakan wilayah perairan yang bukan hanya sangat sibuk dan penting, tapi juga merupakan daerah yang sangat rawan bagi terorisme maritim. Banyaknya perompakan dan kehadiran banyaknya organisasi terorisme regional membuat Selat Malaka rentan terhadap serangan terorisme maritim. Serangan tersebut dapat mengganggu perdagangan internasional dan dapat merugikan ekonomi global miliaran dolar.

Pertanggungjawaban yang besar bagi keamanan Selat Malaka terletak pada negara-negara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yakni Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Meskipun negara-negara ini sudah mencoba menambah keamanan di Selat Malaka, jumlah perompakan yang terus meningkat menunjukkan bahwa segala upaya yang sudah dilakukan memiliki efek yang minimal. Meskipun Singapura sudah menunjukkan keinginan untuk menambah upaya untuk mengurangi perompakan di Selat Malaka, namun Malaysia dan Indonesia menolak untuk melakukan upaya lebih untuk meningkatkan keamanan di Selat Malaka, seperti misalnya menambah jumlah pasukan extra-regional atau melakukan patroli gabungan antar negara. Malaysia dan Indonesia tidak mau melakukannya karena dianggap bertentangan dengan kedaulatan negara.

Hukum mengenai perompakan internasional dan terorisme maritim saat ini tidak menyediakan sebuah mekanisme yang efektif untuk mengatasi ancaman keamanan di Selat Malaka. Juga, hukum internasional saat ini tidak dapat memaksa Indonesia maupun Malaysia untuk mengambil langkah-langkah lanjutan.

Hukum mengenai terorisme di lain sisi bisa membuat Indonesia ataupun Malaysia bertanggungjawab akan sebuah aksi terorisme maritim di Selat Malaka apabila mereka tidak dapat menjaga keamanan di rute perkapalan yang sibuk dan vital tersebut.
18. Angela Novia Wangsa, 00000007416
1. Eksekusi warga negara Australia
Dengan mengeksekusi warga negara Australia , Indonesia memiliki potensi untuk mempertanggiung jawabkan perbuatannya dalam dunia Internasional. Karena Australia bisa saja menuntut Indonesia, dan dapat menarik Wakil Diplomatiknya, dan menghentikan semua.hubungan diplomatik dengan Indonesia. Seperti contohnya mengembargo Indonesia dalam bidang ekspor impor suatu barang yang membuat hilangnyansalah satu pasar IIIIndonesia yang membuat pendapatan IndonesiaIndonesiapun berkurang.  Dan hal ini dapat mengakibatkan hal yang buruk bagi Indonesia.

2 salah satu TKI melakukan pembunuhan di Arab Saudi
seorang tki melakukan pembunuhan secara tidak sengaja di Arab Saudi namun meskipun itu adalah ketidak sengajaan tapi sesuai dengan hukum.islam.mengatakan bahwa nynya diganti dengan nyawa, namun bila keluarga memaafkan makan pelaku dapat dimaafkan namun harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban. sebagai tki tentunya tidak mampu untuk membayar keluarga korban dengan jumlah yang besar. sehingga indonesia sebagai pertanggungjawaban atas perbuatan warga negaranya indonesia membayarkan sejumlah uang bagi keluarga korban menggantikan tki tersebut
19. Anthonius Suryanto, 00000007422
2 contoh situasi:

-Duta Besar Republik Demokratik Korea (Korea Utara) Ri Jong Ryul, 59 tahun, melayangkan nota diplomatik bernada protes kepada pemerintah Indonesia. Protes ini terkait dengan sikap pemerintah Indonesia yang membiarkan penyelenggaraan simposium internasional membahas mengenai hak asasi manusia rakyat Korut pada Selasa, 10 Februari 2015.

Menurut Ri Jong Ryul, simposium itu yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Korea Selatan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan  ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)-Indonesia hanya bertujuan untuk menyebarkan rumors dan permusuhan terhadap Korea Utara.

"Indonesia dan Korea Utara selama ini berhubungan sangat erat. Tolong hentikan pertemuan-pertemuan semacam ini (simposium) untuk menentang negara kami. Kami menghormati harga diri dan kedaulatan negara-negara lain," kata Ri Jong Ryul di kantornya, Jakarta, Selasa siang, 10 Februari 2015.

Menurut Ri Jong Ryul, nota diplomatik bernada protes sekaligus kecaman terhadap penyelenggara simposium internasional tentang HAM Korut disampaikan ke Kementerian Luar Negeri, Biro Kepresidenan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Interpol.
-Kasus Hotel MacDonald
Sejak pengeboman Hotel Mac Donald di Orchad Road oleh Kopral Usman dan Harun pada 10 Maret 1965, hubungan Indonesia dengan Singapura memburuk. Kasus itu tak sampai ke pemutusan hubungan diplomatic
20. YEHUDA BIMO, 00000007872
1. . TNI AL memiliki sebuah meriam penangkis serangan udara yang baru dibeli melalui sebuah transaksi pembelian senjata dengan negara lain. Pihak TNI AL pun ingin mencoba kekuatan dari meriam tersebut bertempat langsung di wilayah laut sekitar Selat Malaka. Namun ternyata Meriam yang dicoba tersebut salah mengenai sasaran yaitu sebuah pelabuhan milik negara Singapura yang tidak jauh dari Batam. Dalam hal ini maka Indonesia harus melakukan FULL REPARATION. Selain meminta maaf dan memberi jaminan bahwa kesalahan tersebut tidak akan diulangi lagi, Indonesia juga harus memperbaiki kerusakan yang ada menjadi baik seperti semula sebagai kewajiban negara dalam dunia internasional.
2. Sekelompok pekerja sebuah pabrik milik BUMN di Merauke, Papua, yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini secara tidak sengaja membuang limbah hasil produksi pabrik masuk ke daerah yang sudah menjadi teritori dari Papua Nugini. Selain mencemari air yang ada di sekitar daerah tersebut yang menyebabkan air bersih menjadi beracun dan membahayakan warga Papua Nugini yang ada di perbatasan dengan Merauke, pabrik tersebut juga menghasilkan limbah asap yang mencemari udara daerah tersebut sehingga limbah pabrik tersebut pada intinya sangat merugikan daerah tetangga yang ada di Papua Nugini itu. Maka pemerintah Indonesia harus melakukan kewajibannya akibat perbuatan pabrik BUMN tersebut melakukan full reparation dan mengganti segala kerugian yang dialami Papua Nugini serta menjamin hal tersebut tidak akan terulang.

21. Rezky Kariema Tupamahu, 00000010197
1. Kasus pertama menurut saya yang berpotensi negara lain menuntut pertanggungjawaban negara dari indonesia adalah kasus 2 warga negara Australia yang akan diekskusi di Indonesia sebentar lagi. 2 terpidana mati ini bernama Myuran Syukumara & Andrew Chan , mereka dijatuhi hukuman mati terkait kasus narkotika yang divonis di Pengadilan negeri Denpasar. Terkait dengan eksekusi mati ini ,  Indonesia mendapat banyak kecaman & peringatan dari masyarakat internasional untuk mempertimbangkan lagi eksekusi 2 terpidana mati tersebut. PBB melalui juru bicaranya menyatakan “PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dengan alasan apapun. Sekjen meminta Indonesia  mempertimbangkan ulang vonis eksekusi terhadap pelaku kejahatan narkoba”. Sedangakan pemerintah Australia melalui PM Abbott mengaitkan eksekusi mati ini dengan bantuan sosial terhadap tsunami di Aceh yang diberikan Australia terhadap Indonesia. Tony Abbott memberi persepsi yang salah terhadap bantuan yang diberikan Australia. Australia seolah tidak tulus dan ikhlas dalam menyampaikan bantuan. Bantuan diberikan seolah untuk menciptakan kettergantungan Indonesia terhadap Australia. Dan saat ini ketika ada kepentingan Australia ketergantungan itu yang digunakan. Jika eksekusi mati ini tetap dilanjutkan , menurut saya Australia akan meminta pertanggungjawaban negara terhadap apa yang dilakukannya kepada warga negaranya dan akan mempengaruhi hubungan diplomatik antar kedua negara.

2. Kasus kedua mengenai pembakaran hutan yang terjadi di Riau yang berdampak terhadap malaysia dan singapura. Kabut asap dimulai sekitar pertengahan juni 2013 ketika para petani sekitar kota dumai membakar areal hutan untuk pembukaan lahan. Pada tanggal 23 juni 2013, pemerintah Malaysia mengumumkan status darurat kabut asap. Menteri lingkungan hidup Malaysia, G. Palanivel menyebutkan indeks standar polutan di dua distrik di negara bagian johorr telah terdeteksi mencapai 750 atau sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Sedangkan seluruh penjuru kotta di singapura merasakan dampak dari kabut asap tersebut. Terkait masalah tersebut SBY saat konfrensi pers di istana negara menyatakan ‘’saya selaku presiden RI meminta maaf dan meminta pengertian saudara-saudara kami di Singapura & di Malaysia.
22. Hotasi Albino
Perbedaan lain terletak pada sisi pertanggungjawaban. Terkadang, hukum nasional tidak mau atau tidak bisa menghukum seorang pelaku tindak pidana dengan alasan-alasan tertentu, misalnya karena jabatan politis, padahal korban yang jatuh atas suatu tindak pidana telah banyak, contoh genosida. Pada titik inilah, asumsi Baasiouni di atas dapat dipahami. Hukum internasional mencoba masuk untuk menutupi kekurangan itu. Peristiwa dalam perang dunia kedua menunjukan kepedulian masyarakat internasional untuk menghukum pelaku tindak pidana yang luput dari hukum nasional. Soal utamanya adalah demi untuk menegakkan prinsip impunitas dan kemanusiaan.
            Studi dari Bassiouni mencatat bahwa terdapat 28 tindak pidana yang diatur dalam 281 konvensi internasional sejak tahun 1815-1999. Tindak pidana yang diatur itu termasuk misalnya pembajakan, penghancuran kabel bawah laut, penguasaan pesawat yang tidak sah dan lainya.Tentu saja, tidak semua jenis tindak pidana tersebut masuk dalam kategori hukum pidana internasional yang berkembang saat ini.
            Perkembangan saat ini, ketika membicarakan hukum pidana internasional adalah untuk fokus pada persoalan kekejaman (atrocity) terhadap manusia. Menurut Schabas, kecendrungan ini dimulai ketika terjadi pembantaian yang dilakukan Turki kepada bangsa Armenia pada perang dunia pertama dan kemudian berlanjut saat masyarakat internasional berhasil membentuk pengadilan militer, konvensi larangan genosida serta konvensi jenewa.[12]Kekejaman terhadap kemanusiaan itu lalu cenderung disebut dengan “crimes of state”.
            Tentu saja negara tidak mungkin melakukan itu semua sebab ia merupakan entitas yang abstrak. Negara butuh agen untuk melakukan itu semua. Inilah yang kemudian dikenal dalam ilmu hukum sebagai doktrin imputabilitas. Hukum internasional mengadopsi prinsip imputabiltas ini dalam Pengadilan Militer Nurnberg tahun 1945 yang menyatakan,
 “Crimes against international law are committed by men not by abstract entities, and only by punishing individuals who commit such crimes can the provision of international law be enforced.
 Prinsip untuk menghukum individu dan bukan negara dalam hukum pidana internasional kemudian juga diikuti dalam pengadilan ad-hoc untuk Yugoslavia saat mengadili Slobodan Milosevic.Puncak pertanggungjawaban individu atas tindak pidana internasional adalah saat masyarakat international berhasil membuat pengadilan pidana permanen (Intrnational Criminal Court/ICC) pada tahun 1998. Selain mengukuhkan tanggung jawab individu dalam tindak pidana internasional, Statuta Roma 1998 juga mengkodifikasi jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam hukum pidana internasional.

23. Jenniefer Angel, 00000007885

  1. Kasus Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk dengan negara Malaysia. Penyelesaiannya dengan cara melalui pertemuan Indonesia-Malaysia di Semarang pada tahun 1978, telah diputuskan dan disepakati bahwa wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk menjadi bagian dari wilayah Malaysia.
  1. Kasus kabut asap di Riau yang merugikan negara lain yaitu Malaysia dan Singapura sehingga menuntut pertanggungjawaban dari Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebakaran hutan yang terjadi di Riau. Peristiwa kebakaran hutan Indonesia yang terjadi di wilayah hutan Riau memang memprihatinkan. Kabut asap yang diduga merupakan hasil dari aktivitas perusahaan yang dengan sengaja membuka lahan dengan cara membakar hutan. Pembakaran hutan Riau ini adalah lahan gambut sehingga titik api menuai sejumlah kendala baik secara teknis, operasional dan tofografi lapangan. Bahkan kini akibatnya semakin meluas saja. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Dari sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan Barat.
Dampak langsung dari kebakaran hutan di Riau tersebut antara lain: Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terancamnya habitat asli Macan Sumatera dan Gajah karena kebakaran hutan juga membakar habitat mereka. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiil dan imateriil di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Jadi akibat kebakaran hutan ini bukan hanya berdampak bagi masyarakat di daerah Riau itu saja, tetapi juga berdampak merugikan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Peristiwa kabut asap ini menjadi ranah Internasional sejak dampaknya terasa kebagian negara tetangga, yang mengakibatkan persolan ini menjadi isu kawasan dan membutuhkan penangan darurat.
Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah yang bersifat lintas batas ini. Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1 Undang- Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.
Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm (Resolusi MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar kegiatan eksploitasi yang dilakukan didalam wilayah atau di bawah pengawasannya tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Rumusan yang sama ditetapkan dalam tindakan ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982 yaitu bahwa Negara harus mengambil yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mencemari wilayah negara lain. Sedangkan ketentuan Prinsip 22 Deklarasi Stockholm berkaitan dengan masalah tanggung jawab dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah yurisdiksi atau di bawah pengawasan suatu negara.
Menurut Daud Silalahi konsep state responsibility-liability dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom of the high seas. Prinsip ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa lingkungan internasional yakni dalam hal terjadi pencemaran lintas batas (transboundary pollution) yang menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain, missal dalam kasus Trail Smelter.
Perundingan diadakan dalam bentuk-bentuk pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya. Perundingan-perundingan langsung ini biasanya dilakukan menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi ad hoc.Ada kalanya sengketa itu juga dinternasionalisasikan dalam sebuah konferensi internasional. Untuk kasus ini sepertinya bentuk inilah yang sedang berjalan, terbukti dengan negosiasi-negosiasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dalam menyusun draft-draft kesepakatan dalam menyelesaikan masalah kabut asap. Konferensi internasional juga terbukti dengan adanya Sub Regional Ministerial Meeting dalam lingkup ASEAN. Sikap kedua negara atau boleh dibilang politik luar negeri sedikit berbeda menanggapi masalah ini. Singapura mengambil sikap netral dengan membantu Indonesia lewat program penyuluhan kebakaran hutannya, sedangkan Malaysia mengambil sikap yang pasif dengan mengembalikan tanggungjawab permasalahan ini kepada Indonesia. Jika melihat prinsip pertanggungjawaban secara internasional terutama dalam kasus pencemaran lingkungan maka kasus pencemaran dapat dilihat sebagai kasus yang universal. Artinya, prinsip-prinsip yang berlaku disini adalah prinsip-prinsip atau kebiasaan hukum internasional.
24. Jimmy Raymond Tjhie, 00000008096
1. Bahwa telah diketahui Indonesia juga merupakan target Human trafficking ( Penyelundupan Manusia) yang pada umum nya dilakukan dengan tawaran “TKI” ke seluruh manca Negara dan Indonesia tidak mendindaki hal tersebut ( mengabaikan) dan proses tersebut dipermudah dengan adanya bantuan dari oragan Negara.
State responsibility : Bahwa Indonesia merupakan Negara nomor 2 yang tidak menindak Human Trafficking dalam negaranya (berdasarkan laporan US trafficking person reports tahun 2011) dalam hal ini dapat dikatakan pertama organ Negara yakni Administrasi Negara telah  sadar namun membantu proses Human Trafficking dengan mempermudah proses perijinan TKI ke luar negeri.
Ke-2 ialah Indonesia tidak ada niat / usaha untuk menindaki hal ini dibuktikan dengan tidak meratifikasi UN TIP (Trafficking in person) protocol tahun 2000 dan tidak menciptakan Secondary law bagi yang melakukan Trafficking (pernah diciptakan dengan ancaman hukuman 15 tahun, namun di pending karena ingin dibuat yang baru namun tak pernah ada hingga sekarang)
2.Pada Desember 2014 TNI mengirim 1169 pasukan ke Lebanon guna mewujudkan perdamaian dunia,agenda kerja pasukan garuda tersebut ialah sepanjang satu tahun. Terdapat potensi yang dilakukan oleh pasukan garuda menembaki sejumlah orang yang bukan ditargetkan sebagai musuh, namun hanya sebagai rakyat biasa.
State responsibility : Bila Pasukan Garuda terbukti melanggar kewajiban internasional terhadap masyarakat internasional maka Negara / PBB dibawah kategori organisasi international sebagai subjek hukum internasional dapat menuntut pertanggung jawaban kepada Indonesia. Konsekuensi yang diberikan dapat berupa pemulangan seluruh pasukan Garuda kembali ke Indonesia.
25. PIETRO GRASSIO
1. BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MASALAH KABUT ASAP DI PROPINSI RIAU 
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. Saat ini kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Berkaitan dengan hal tersebut maka penting untuk diteliti hal-hal sebagaimana berikut : Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara, bagaimana putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas, dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dimana diadakan penelitian atas norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kebakaran hutan baik yang berbentuk konvensi maupun prinsip-prinsip hukum umum. Dalam tata hukum internasional, ketentuan berkenaan dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti. International Law Commision (ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat ini masih berusaha merumuskan dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk draft, tetapi aktivitas ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili kebudayaankebudayaan terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan sebagai sumber tambahan hukum internasional. Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1 Undang- Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.1 Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm (Resolusi MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar kegiatan eksploitasi yang dilakukan di dalam wilayah atau di bawah pengawasannya tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Rumusan yang sama ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982 2 yaitu bahwa Negara harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mencemari wilayah negara lain.

2.indonesia sedang mengalami krisis ekonomi lalu indonesia meakukan perdagangan bebas yang mengakibatkan negara di kawasan ASEAN itu rugi dan berdampak sistem perekonomian ASEAN tidak efisien lagi,lalu menurut hukum internasional indonesia harus mempertanggungjawabkan hal tersebut

26. Viky Devina, 00000007881
ANCAMAN KEAMANAN MARITIM DI SELAT MALAKA DEKATKAH ANCAMAN ITU? (Kepedulian yang Sama Ditengah Kepentingan yang Berbeda)
mnya berdasar hukum internasional. Analis maritim, Mark Valencia mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia dapat meminta Singapura untuk menarik ijin operasi dan hanya memberlakukan ijin tersebut di wilayah perairan territorial Singapura.  Dia lebih jauh berpendapat bahwa inisiatif tersebut berpotensi merusak kedaulatan dan keselamatan navigasi di Selat Malaka.
Hal sama juga pada proposal RMSI Amerika Serikat ini. Proposal ini dipandang sebagai blok pendekatan multilateral yang efektif bagi kerangka keamanan maritim yang baru.  Inisiatif ini meliputi penempatan angkatan laut ekstra regional yang berpatroli disepanjang Selat Malaka untuk membantu mengatasi masalah perompakan, terorisme dan pengembangan senjata pemusnah massal, serta penyelundupan senjata, obat bius dan manusia secara illegal. Meskipun AS mengklarifikasi bahwa RMSI bukan inisitiatif unilateral ASelat Malaka secara geopolitik penting sebagai jalur laut terpendek antara Samudera India dan Laut China Selatan atau Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak disepanjang garis pantai Thailand, Malaysia dan Singapura di bagian Timur dengan pulau Sumatera dibagian Barat. Selat membentang sepanjang 600 mil laut (900 km) dari titik terlusasnya (sekitar 350 km antara Sumatera Utara dan Thailand) hingga terpendeknya (kurang dari 3 km antara Sumatera Selatan dengan Singapura). Indonesia sendiri memiliki perbatasan pantai yang terpanjang diantara tiga negara pantai lainnya (littoral states) sekitar 400,8 mil laut atau dua pertiga dari total panjang Selat. 
Selat Malaka menjadi jalur pelayaran tertua dan tersibuk di dunia. Dengan menjadi jalur laut terpendek di antara dua samudera, Selat Malaka menjadi rute laut yang secara ekonomis paling disukai. Transportasi laut di 2004 mencapai sekitar 70.000 kapal setiap tahunnya, dimana 20.000 diantaranya adalah jenis super tanker. Jika dihitung setiap harinya berarti  200 kapal telah melintasi Selat ini. Secara keseluruhan, Selat Malaka “mewakili 80 persen volume perdagangan negara-negara Asia Pasifik atau setara dengan 25 persen total komoditas perdagangan dunia”.
Selat Malaka secara ekonomis dan strategis penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur dan Selatan. Karena, dari total tonase yang melintasi selat dua pertiganya terdiri dari minyak mentah dari kawasan Teluk yang diimpor oleh negara-negara besar seperti Jepang dan China atau negara-negara yang tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru, seperti Korea dan India. Total pengiriman minyak yang melintasi Selat ini tiga kali lebih besar dari Terusan Suez dan lima belas kali lebih besar dari Terusan Panama.
Dewasa ini, perhatian lebih besar pelbagai pemangku kepentingan (stakeholder) tertuju pada manajemen keamanan Selat. Kekhawatiran terbesar berasal dari trend perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata (armed robbery) yang cenderung naik antara 1999-2005. Selat Malaka sejatinya telah menjadi tempat perburuan favorit para perompak sejak lama, namun seiring serangan teroris 9/11/ isu keamanan Selat menjadi lebih sensitive. Laporan IMO (International Maritime Organisazation) menunjukkan bahwa kejahatan maritim mencapai keadaan yang membahayakan. Berdasarkan laporan tahunan IMB  (International Maritime Bureau) 2004, terdapat 330 kasus perompakan di dunia, dimana 169 diantaranya dilaporkan terjadi di Selata Malaka dan 68 lainnya terjadi di perairan Indonesia. Ditaksir, kasus yang tidak dilaporkan dua kali lebih besar. (lihat tabel 1)

Kekhawatiran yang muncul adalah jika kejahatan maritim tradisional tersebut diambil alih oleh kelompok teroris demi tujuan  politik sehingga akhirnya mengacaukan salah satu jalur laut yang terpenting dunia ini. Namun, beberapa insiden perampokan bersenjata seperti senapan serbu M-16 dan granat diduga kuat dilakukan oleh para mantan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Hingga kini belum ada aksi perompakan yang secara menyakinkan dapat dikaitkan dengan kelompok teroris.

Tabel 1. Aksi Perompakan di Selat Malaka (Perairan Indonesia) 2003-2006


Lokasi

2003

2004

2005

2006


Serangan Aktual

41

39

15

10


Upaya Serangan

34

29

7

9


Total

75

68

22

19

Sumber: Laporan Tahunan  IMB 2003-2006
Perspektif Berbeda Negara-Negara Pantai (Littoral States) atas Keamanan Selat
Tiga negara pantai, seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki perspektif yang berbeda atas manajemen Selat untuk mengatasi problem tersebut, meskipun mereka memiliki perhatian yang sama bertalian dengan trend ancaman keamanan yang semakin meningkat di Selat Malaka seperti  perompakan, perampokan bersenjata, penyelundupan senjata, obat bius dan manusia secara illegal. Perbedaan tersebut berasal dari perbedaan doktrin maritime dan kepentingan ekonomi yang berbeda.
Perspektif Indonesia:
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat memahami dampak jurisdiksi demikian pula kepentingan fondasi politik yang kuat yang dapat merekatkan kesatuan Indonesia.  Indonesia secara unilateral memproklamasikan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 dan lebih jauh mengembangkan konsep Wawasan Nusantara sebagai konsep ideologi yang berbasis kesatuan territorial. Melalui upaya panjang dan gigih, akhirnya deklarasi negara kepulauan Indonesia diakui dalam Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations Convention for Law of Sea) di 1982. Indonesia dapat dikatakan sebagai pewaris UNCLOS karena melalui ratifikasi traktak tersebut, wilayah EEZ (Exclusive Economic Zone) Indonesia bertambah menjadi 1,566,300 meter persegi diluar territorial laut sebelumnya.  
Berdasarkan perspektif ideologinya, Indonesia menunjukkan penolakan RMSI (Regional Maritime Security Initiative) yang diusulkan AS atau sejenisnya yang mengatur tentang manajemen keamanan baru Selat Malaka. Indonesia mencurigai inisiatif tersebut dimaksudkan sebagai upaya internasionalisasi manajemen Selat Malaka dibawah kepentingan hegemoni dan kontrol (sea control and assertion) negara-negara maritime besar (major maritime power). Inisiatif tersebut dipandang berbenturan dengan definisi kedaulatan yang lebih banyak merefleksikan kepentingan dan pembangunan karakter banyak negara-negara Asia pasca kolonialisme.  Kedaulatan negara menjadi kewenangan puncak sebuah negara dalam menjalankan kepentingan nasionalnya. Isu kedaulatan menjadi kepentingan utama Indonesia. Oleh karena itu, kepentingan penunjang lainnya semisal ekonomi, keamanan dan sebagainya akan selalu dikaitkan dengan wacana yang secara ideologis terformulasikan kedalam doktrin geopolitiknya.
Dalam Konperensi MIMA 2006, Indonesia berargumen bahwa perhatian keamanan di Selata Malaka yang dipicu oleh insiden perompakan dan perampokan bersenjata harus ditangani dan mengacu UNCLOS. Berdasar pasal 100 UNCLOS, perompakan (piracy) didefinisikan sebagai tindakan kekerasan illegal yang dilakukan di laut bebas (high seas) atau tempat lain diluar wilayah juridiksi sebuah negara, sementara perampokan bersenjata (armed robbery) merujuk artikel 101 dilakukan didalam wilayah territorial sebuah negara atau perairan kepulauan dibawah jurisdiksi sebuah negara, sehingga sangat berkaitan erat dengan locus delictus.
Berdasar definisi tersebut, Indonesia melihat perlakuan hukum yang berbeda dalam manajemen keamanan Selat Malaka. Dalam konteks ‘perampokan bersenjata’ (armed robbery), Indonesia bersikeras bahwa manajemen keamanan harus berada dibawah jurisdiksi nasional Indonesia sementara berkaitan dengan ‘perompakan’ (piracy) yang terjadi di perairan internasional, penanganannya membutuhkan kerjasama internasional.
Problema muncul dari definsi ‘piracy’ yang lebih luas yang digunakan oleh IMB yang mewakili kepentingan para perusahaan asuransi dunia. Definisi ala IMB menjelaskan bahwa perompakan meliputi semua kejahatan baik besar maupun kecil yang dilakukan di lingkungan pelabuhan, perairan territorial (territorial waters) maupun laut bebas (high seas). Definisi tersebut tidak pelak ditolak Indonesia.
Indonesia berpendapat bahwa manajemen keamanan di Selat Malaka pada dasarnya bersifat unilateral. Tetapi atas dasar kebijakan ‘bertetangga dengan baik’, Indonesa mengijinkan aksi trilateral diantara tiga negara pantai (littoral states), Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui TTEG (Tripartite Technical Experts Group on Safety of Navigation), atau kerjasama multilateral dalam konteks bantuan teknis dan tukar menukar informasi intelejen.
 
Oleh karena itu, Indonesia keberatan dengan gagasan partisipasi negara-negara pengguna (user states) dalam mengelola keamanan Selat. Indonesia menegaskan bahwa rejim yang berlaku di Selat Malaka bukan rejim laut bebas. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengabaikan hak Indonesia untuk menjalankan kepentingan keamanannya di Selat Malaka berdasarkan hukum internasional. Partisipasi negara-negara pengguna (user states) yang berkaitan dengan tindakan keamanan harus berada dibawah skema kebijakan dan tindakan keamanan Indonesia karena tanggung jawab keamanan dan keselamatan navigasi tersebut sepenuhnya berada dibawah wewenang Indonesia.

Disamping itu, perhatian keamanan Indonesia didalam negeri lebih difokuskan pada penegakkan hukum laut di Selat Malaka dan peraiaran territorial lainnya karena tingginya aktivitas penyelundupan minyak, pasir, perikanan, kayu, obat bius dan manusia yang secara potensial merusak perekonomian dan lingkungan alam di Indonesia. Sementara itu, terorisme berbasis maritime atau aktivitas prompakan yang dapat menjadi instrument terorisme dipandang langka dan bukan menjadi prioritas utama Indonesia.

Perspektif Malaysia: 
Malaysia dan Indonesia mempunyai posisi yang relatif sama berkaitan dengan rencana keamanan maritim yang baru serta ketegasan dalam isu kedaulatan atas Selat tersebut. Di 1971, Malaysia mengklaim bahwa Selat Malaka sebagai bagian perairan territorialnya dan dengan demikian kedudukan Selat tersebut berada dibawah kedaulatan penuh mereka. Dibawah UNCLOS dan peta geografis mereka, Selat Malaka dikategorikan sebagai Selat yang digunakan untuk navigasi internasional. Mereka membaginya menjadi dua kategori. Zona A dibawah rejim Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ), yakni batas lempeng kontinental (continental shelves) antara Indonesia dan Malaysia serta Zona B, batas territorial laut antara Malaysia dan Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan kategorisasi tersebut, segala bentuk proposal bagi internasionalisasi Selat untuk dalih keamanan akan dipandang sebagai ancaman kedaulatan mereka.
Namun pasca Era perang Dingin dan selanjutnya peristiwa 9/11; terdapat tantangan atas doktrin kedaulatan negara yang dipandang sangat penting. Pandangan baru itu menegaskan bahwa kekuatan eksternal memiliki hak untuk melakukan intervensi atas suatau negara yang dipandang tidak mampu atau tidak mau menangani kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan (violent groups), terutama mereka yang menjadi ancaman bagi negara lain di laur batas territorial mereka dengan menggunakan hak ‘serang lebih dahulu’ (pre-emptive strike) yang merupakan kombinasi konsep kedaulatan intervensionis. Dengan doktrin tersebut, -dalam kondisi tertentu, aksi unilateralis dapat digunakan untuk menekan aksi perompakan, terorisme dan pengiriman WMD (Senjata pemusnah massal) di Selat Malaka.
Dalam perkembangannya, AS dan India telah mengerahkan kapal perangnya di Selat Malaka dibawah rejim transit passage. Kapal perang AS dan India terlibat dalam tugas-tugas pengawalan di perairan Selat Malaka, Untuk kepentingan AS, kapal perang India mengawal kapal komersial AS yang konon membawa ‘barang yang bernilai tinggi’ yang sedang melintasi Selat Malaka. Tantangan doktrin keamanan baru di Selat Malaka tak pelak menciptakan ketidaksukaan Indonesia dan Malaysia. Kepala Staff AL Malaysia, Admiral Dato’ Sri Mohd Anwar bin Hj. Mohd  Nor memperingatkan bahwa kapal perang asing ataupun kapal pengawal swasta lainnya harus segera menyingkir dari Selat Malaka.”Mereka yang melanggar hukum maritime Malaysia akan dihadapi.” Malasyai mengancam untuk merampas kapal atau menahan kru dibawah UU Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Acts). Menteri Pertahanan Malasyai menegaskan bahwa kerjasama internasional harus menghormati kedaulatan sebuah negara  dan dibawah skema tanggung jawab negara-negara pantai (littoral states) untuk menjaga zona keamanannya.
Di sisi lain, pengerahan kekuatan maritime negera-negara besar di Selat Malaka dapat memprovokasi ketegangan baru yang sebelumnya telah terjadi diantara negara-negara tersebut. Jika demikian, tidak pelak akan merusak kepentingan negara-negara pantai (littoral states) dalam menciptakan stabilitas kawasan. Alasan tersebut factual ketika “China menuduh bahwa pengerahan angkatan laut AS di Selat Malaka akan merusak status netral kawasan tersebut dan menciptakan ketidakseimbangan strategis.” Bagi China, kehadiran angkatan laut AS dapat menjadi strategi dua sisi mata uang. Satu sisi ditujukan bagi kepentingan ‘perang melawan terorisme’ namun sisi koin lainnya digunakan untuk mengisolasi China. Dengan ketegangan yang tengah terjadi antara China dan India, China dan AS dalam isu Taiwan, maka kompetisi bagi pengaruh dan kendali atas Selat Malaka yang strategis tak pelak tidak dapat dihindari. Dalam situasi yang demikian, setiap netralitas sangat dibutuhkan demi mencegah dari eskalasi ketegangan.
Namun, diluar kemungkinan terorisme maritime bukan merupakan konsern utama Malaysia karena rendahnya insiden perompakan di perairan teritorialnya, Perdana Menteri Malaysia, Badawi berpendapat bahwa kehadiran dan patroli militer AS di kawasan Selat Malaka dapat menjustifikasi secara ideologis aksi terorisme elemen ekstrimis. Alih-alih, akar lahirnya terorisme harus diselesaikan dan menjadi perhatian serius masyarakat internasional. Penanganan berlebihan hanya akan semakin mendorong kultur terorisme. Sebaliknya, Malasysia melihat bahwa ancaman penyelundupan, imigrasi illegal dan perompakan lebih menjadi konsern Malaysia. Oleh karena itu, penanganan yang holistik dibutuhkan untuk menyelesaikan beberapa isu spesifik tersebut.
Perspektif Singapura:  
Singapura mendudukkan dirinya sebagai penghubung keu  angan dan ekonomi dimana jantung sector ekonominya sangat bergantung pada kebebasan transportasi kapal-kapal mereka di Selat Malaka. “Kehidupan ekonomi dan kemerdekaan politik Singapura sangat tergantung kepada pemakaian berkelanjutan Selat oleh beberapa kekuatan maritim utama dunia.” Problemnya, Singapura adalah negara pantai sekaligus negara pengguna (user state) utama Selat Malaka. Setiap tindakan baik berdimensi positif maupun negative yang diambil berkaitan dengan penggunaan Selat Malaka akan benar-benar berpengaruh pada keberlangsungan ekonomi dan lebih jauh eksistensi negara tersebut. Misalnya,  penutupan yang tiba-tiba Selat Malaka karena insiden pencemaran akan memukul sektor ekonomi Singapura.
Oleh karena itu, perspektif strategis Singapura berkaitan dengan manajemen Selat lebih banyak merefleksikan keinginan untuk menerapkan kebebasan navigasi yang maksimum pada satu sisi dan disisi lain, adanya jaminan jalur komunikasi (Sea Lane of Communication) dan jalur perdagangan (Sea Lane of Trade). Sejak pembentukan TTEG (Tripartite Technical Experts Group on Safety of Navigation), kebijakan maritim Singapura didesain dengan garis besar tersebut. Misalnya, proposal yang saling bertentangan antara singapura disatu pihak dengan Indonesia dan Malaysia dipihak lain tentang regulasi draft maksimum bagi kapal yang melintasi Selat Malaka menunjukkan kepentingan tiga negara pantai yang berbeda dalam konteks pemakaian Selat Malaka.
Ditengah kebangkitan ancaman terorisme, Singapura sangat konsern tentang keamanan navigasi di Selat Malaka dan Singapura. Singapura memprediksikan tentang kerentanan keselamatan sector maritim atas serangan teroris. Kekhawatiran Singapura diperkuat dengan meningkatnya insiden perompakan dan perampokan bersenjata sepanjang 1999-2004 di Selat Malaka yang dijuluki sebagai tempat “perompakan terawan di dunia”  demikian pula kaitan yang dimungkinkan antara insiden perompakan dengan aksi kelompok teroris. Terlebih lagi, pemberontak GAM sebelum perjanjian damai Helsinki diteken ditengarai berada dibalik beberapa aksi perampokan bersenjata di ujung utara Selat Malaka. Ancaman terorisme maritim dianggap sebagai ”skenario yang rendah kemungkinannya tetapi berdampak besar” (low probability and high impact scenario) akan sangat mempengaruhi sector ekonomi karena ganguannya atas lalu lintas kapal. Oleh karena itu, isu fundamental bagi Singapura adalah keselamatan transportasi di Selat Malaka dan semua dimensi tersebut harus mencakup isu keamanan juga sebagai bagian integral pembangunan sector keamanan maritim.
Karena rendahnya kapasitas dan keahlian negara-negara pantai, Singapura mendukung keterlibatan pihak ketiga, yakni negara-negara besar dalam penjagaan keamanan dan keselamatan Selat Malaka. Dalam Konperensi Internasional tentang Asia, 2004, Menteri Pertahanan Singapura, Teo Chee Hean mengatakan bahwa manajemen keamanan adlah tugas yang besar dan kompleks untuk menjaga perairan regional menghadapi terorisme maritim. Lebih jauh, Singapura mendukung proposal RMSI (Regional Maritime Security Initative) yang mengijinkan armada angkatan laut AS berpatroli disepanjang Selat Malaka.
Penyusunan keamanan maritime baru dibutuhkan ditengah bangkitnya ancaman terorisme. Meskipun kaitan langsung antara insiden perompakan yang tinggi dengan ancaman terorisme maritime tidak tampak, tetapi semua tantangan baru keamanan maritim dan segala kompleksitasnya saat ini menuntut tanggapan yang kreatif dan inovatif.  Pengembangan gagasan, obat ”satu jenis cocok untuk semuanya” tidak relevan lagi oleh karena itu jaringan kerjasama keamanan antar sector diantara pelbagai pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, Singapura lebih fleksibel dalam menginterpretasikan ketentuan dalam UNCLOS demikian pula doktrin kedaulatannya. Singapura bergerak lebih jauh menjadi pihak yang menandatangani atau pendukung kerangka keamanan baru seperti Protokol SUA, PSI (Proliferation Security Initiative) dan yang terbaru RMSI. Sikap Singapura lebih mencerminkan perhatian strategis Singapura sebagai negara ‘titik merah’ (red dot state).  Untuk itu, kepentingan Singapura selalu berkelindan erat dengan kebebasan maksimum dan keamanan navigasi di Selat Malaka.     
 
Apakah Ancaman Itu Dekat? Konsern yang Sama Namun beda Kepentingan
Angka perompakan dan kejahatan bersenjata di Selat Malaka membuktikan dengan sendirinya. Angka tersebut juga menunjukkan kekhawatian bahwa keamanan navigasi di Selat dalam kondisi yang memprihatinkan. Pelbagai insiden tersebut telah menempatkan Selat Malaka menjadi wilayah perairan yang paling berbahaya setelah Laut Somalia. Akibatnya merugikan para pemilik kapal demikian pula merugikan perekonomian negara-negara pantai. Insiden tersebut telah meningkatkan premi asuransi navigasi dari atau menuju Selat Malaka. Dalam jangka panjang, jika dibiarkan tentu akan merusak perekonomian negara-negara pemilik Selat.
Banyak kerangka keamanan maritim baru yang membutuhkan insiatif ekstra keamanan diperkenalkan. Singapura dilaporkan mengeluarkan ijin bagi Perusahaan Keamanan Swasta untuk menyediakan jasa pengawalan bagi kapal-kapal yang melintasi Selat. Ditengah ketidaksukaan dua negara pantai lainnya, Indonesia dan Malaysia atas operasi ini, inisiatif baru Singapura ini menimbulkan permasalahan tentang status hukuS dan sebagai tantangan atas kedaulatan tetapi lagi, beberapa negara pantai, khususnya Malaysia dan Indonesia menentang proposal tersebut dan menganggap langkah ini sebagai bagian scenario menginternasionalisasi manajemen Selat sekaligus sebagai proyeksi kekuatan AS di Selata Malaka.
Dalam pembukaan Konperensi MIMA di Kuala Lumpur, 2004, Deputi Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak mengindikasikan beberapa pihak diantara negar pengguna (user states) ‘menunggangi’ situasi di Selat Malaka dan memperluas persyaratan dan pengertian pembagian beban (burden sharing) sebagaimana diatur dalam pasal 43 UNCLOS tidak hanya dalam konteks keselamatan (safety) namun juga mencakup pengertian keamanan (security).
Dalam masa yang lama, negara pantai (littoral states) menyerukan perealisasian ketentuan dalam pasal 43 diantara negara pengguna (user states) tetapi selama lebih 22 tahun sejak perjanjian tersebut diratifikasi, hanya Jepang dan kemungkinan akan diikuti China yang menunjukkan perhatiannya dengan membantu negara-negara pantai dalam memperbaiki dan menjaga keselamatan navigasi di Selat Malaka. Negara-negara pengguna (user states) hanya menggunakan pelayanan di Selat untuk kepentingan mereka namun tidak diimbangi dengan kewajiban menyediakan bantuan sebagaimana yang dimaksud pasal 43. Oleh karena itu, perluasan pengertian dan persyaratan dalam pasal 43 dipandang sensitif dan bermotif politis.
Bagi Indonesia sendiri, kucurigaan niat AS di Selat Malaka semakin kuat. Publik Indonesia mempertanyakan mengapa AS tidak mencukupkan diri dengan mencabut embargo senjata atas Indonesia untuk memperbaiki kemampuan militer Indonesia dan membiarkan menangani situasi keamanan di Selat Malaka bersama dengan dua negara tetangga lainnya, Singapura da Malaysia. Indonesia khawatir menajdi front kedua bagi kepentingan AS di Asia Tenggara sehingga harus mengkompromikan kepentinga nasionalnya. Ketidaksukaan tersebut ditunjukkan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, Juwono Sudarsono dalam konperensi pers dengan koleganya, (mantan) menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld dalam kunjungannya di Jakarta, Juni 2006. Kunjungan itu sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan Indonesia atas proposal RMSI.
Sebaliknya, negara-negara pantai (Indonesia dan Malaysia) lebih suka memecahkan problema keamanan navigasi secar trilateral. Sebagai modal, tiga negara pantai (littoral states) telah mempunyai mekanisme untuk menyelesaikan isu  tersebut melalui Mertemuan Menteri Tripartite dan badan dibawahnya, TTEG sejak 1971. Pada awalnya, Komite Selat Malaka-Sinagpura pada level senior mendiskusikan perihal kebijakan yang berkaitan dengan Selat semisal dalam konteks UNCLOS, diskusi dengan Jepang, isu tentang IMO dan masalah-masalah lainnya untuk diselesaikan. Tetapi dalam perkembangan mutakhir-sebagaimana yang dikritik Hasyim Djalal-TTEG menjadi tidak aktif dan fungsinya direduksi bersifat teknis. Diharapkan, pertemuan IMO di Jakarta, September 2006 dan diskusi susulan di Kuala Lumpur setelah itu dapat menjadi momentum untuk semakin memperkuat keberadaan TTEG yang diperluas fungsinya. Pertemuan tersebut dapat juga menjadi ajang diskusi dan rekonsiliasi kepentingan antara negara-negara pengguna (user states) dan pihak lainnya dengan negara-negara pantai dalam manajemen Selat dengan mengacu hukum internasional yang berlaku.

Dampak krisis panjang keuangan di 1998 kenyataanya memperlemah kemampuan negara-negara pantai seperti Indonesia untuk memecahkan masalah keamanan di Selat, mulai dari kekurangan peralatan keselamatan dan keamanan navigasi hingga disparitas antara masyarakat miskin pesisiran di kepulauan Riau dan disepanjang Selat dengan tetangganya masyarakat Singapura yang makmur. Setelah krisis, disparitas ini menjadi titik masuk bagi dorongan aksi kejahatan perompakan.
Disisi lain, perompakan sendiri bukanlah fenomena baru di Selat Malaka. Perompakan atau dikenal dengan sebutan lanun kebanyakan berkaitan dengan kejahatan kecil-kecilan yang secara tradisional menjadi gaya hidup dan pekerjaan musiman bagi Orang laut yang tinggal disepanjang Selat untuk menambah penghasilan. Mereka mencuri dengan kekerasan di area dekat Teluk Singapura dan biasanya menargetkan kapal-kapal kargo. Tetapi, mereka jarang membunuk awak kapal meskipun menggunakan pistol dan senjata mesin. Dalam banyak kasus, insiden semacam itu diketahui oleh polisi dan diduga melibatkan otoritas pelabuhan setempat.Namun dalam perkembangannya, perompakan dan kejahatan bersenjata semakin terorganisir dan dispersenjatai dengan baik. Tipe kejahatan tersebut berasal dari kelompok gang yang beroperasi di Indonesia, Malaysia atau Singapura.
Dari perspektif diatas, isu keamanan lebih banyak merefleksikan baik urusan domestic Indonesia atau dua negara lainnya, yakni Malaysia dan Singapura ketimbang domain isu internasional. Terlebih lagi, status Selat Malaka termasuk dalam rejim transit passage atau selat yang digunakan untuk navigasi internasional (pasal 43 UNCLOS). Namun problemanya berasal dari respon yang sangat lambat dari negara-negara pantai dan kurangnya sikap bersama diantara ketiga negara pantai tersebut dalam merespon isu karena perbedaan kepentingan.
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa penyelesaian isu keamanan di Selat Malaka dapat dicapai dengan memperkuat kerjasama antara negara-negara pantai dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kerangka kerjasama keamanan yang lebih terkordinasi di Selat pada satu sisi dengan perbaikan dan bantuan penguatan kapasitas (capacity building) antara negara pantai (littoral states) dengan negara pengguna (user states). Upaya mutual tersebut akan memperkuat kepercayaan dan kerjasama antara negara pantai dengan negara pengguna. Keamanan dewasa ini seharusnya menjadi kepentingan bersama negar-negara pantai (coastal states) dengan merekonsiliasi perbedaan ditengah ancaman bola salju internasionalisasi Selat bagi Indonesia dan Malaysia serta gangguan bagi jantung ekonomi Singapura. Ketiga negara pantai tersebut seharusnya terbuka untuk mencari kerangka kerjasama keamanan yang lebih tepat sehingga mampu menghadapi tantangan dan ancaman keamanan di Selat Malaka seperti melihat kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dibawah skema hukum internasional dan prinsip penghormatan kedaulatan nasional.

Maju Kedepan: Upaya Membangun Saling Kepercayaan
Sebagai pertimbangan, ketiga negara pantai (coastal states) sebelumnya telah memperkuat kerjasama dan upaya membangun saling kepercayaan. Persepsi keamanan yang berbeda antara negara pantai dan negara pengguna seharusnya tidak menghalangi kerjasama antar keduanya. Problema yang dihadapi dalam penanganan Selat jauh lebih kompleks dari sekedar isu keamanan sendiri, karena didalamnya mencakup isu depresi lingkungan karena penagkapan ikan yang tidak terkendali, pencemaran yang cenderung meningkat, pembuangan limbah, penyingkiran bangkai kapal hingga lemahnya keselamatan dan keamanan navigasi.
Negara-negara pantai (littoral states) mengusulkan penyelesaian yang lebih komprehensif dan lebih menstrukturkan kerjasama diantara negara-negara pantai dan negara-negara pengguna berbasiskan kerangka kerja institusional yang seperti:
1.   Tripartite Ministerial Meeting atas Selat Malakaa berikut badan pendukungnya   Tripartite Technical Expert Group (TTEG) untuk Keselamatan Navigasi,
2.   Pernyataan Bersama tentang Selat Malaka, 1971 dan,
3.   Pasal 43  UNCLOS.

Tetapi permasalahannya adalah apakah kerangka kerja 1971 yang ada sekarang dapat secara memadai dapat menyelesaikan situasi kompleks yang ada di Selat Malaka ditengah semakin pesatnya industri dan kepentingan maritim pelbagai negara pengguna (user states) dewasa ini. Jawabannya terletak pada pelbagai langkah maju untuk secara lebih luas menginterpretasikan ‘tindakan penguatan maritim’ sehingga secara lebih menyakinkan dapat menjawab tantangan dan dinamisme perkembangan maritim  dalam batas-batas penghormatan kedaulatan territorial setiap negara. Dengan demikian, menjadi penting sekali mengurangi kecurigaan bahwa setiap upaya pembuatan kerangka kerjasama keamanan maritim yang baru akan dipolitisir. Oleh karena itu, ketidaksepakatan panjang yang butuh segera diatasi adalah perwujudan segera tanggung jawab sosial diantara pemangku kepentingan dengan perealisasian kewajiban pembagian beban (burden sharing) seperti yang diatur oleh UNCLOS.
Sebagai gantinya, negara-negara pantai harus mengambil peran utama untuk menjamin keamanan di kawasan Selat Malaka. Negara-negara pantai harus mengimplementasikan kebijakan yang lebih tegas untuk mengurangi jumlah perompakan dan insiden kejahatan bersenjata. Langkah tersebut dapat berdampak pada keraguan diseputar kemampuan negara-negara pantai dalam menjamin keamanan di Selat demikian pula sejak dini menghalangi pelbagai kemungkinan keterkaitan insiden perompakan dengan kegiatan kelompok-kelompok teroris.



Dilema Asap
June 24, 2013
Ketika membaca berita tentang kebakaran di Riau dan polusi yang meninggi di Singapore, saya membantin pasti ndak perlu tunggu lama Kuala Lumpur akan mengalami nasib yang sama. Dan memang benar, Sabtu 22 Juni 2013 asap mulai menyelubungi langit Kuala Lumpur.Description: 044728_10151679496229889_2084341604_n
Munculnya asap kiriman dari Indonesia ke negara tetangga sebenarnya bukan cerita baru. Tapi pengiriman asap yang terjadi beberapa hari terakhir ini terhitung cukup parah memang. Kualitas udara meningkat hampir mencapai index 200 yang berarti tidak sehat, di beberapa daerah bahkan menyentuh angka 300 yang berarti berbahaya.
Ketiga negara awalnya nampak saling menekan terhadap kasus ini. Singapura dan Malaysia menekan Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus asap yang terus berulang, sementara pihak Indonesia sendiri bersikeras bahwa ini bukan murni kesalahan Indonesia karena sebagian besar perkebunan sawit di Sumatera adalah milik pengusaha Malaysia dan Singapura dan para pengusaha ini memanfaatkan momen titik api tinggi untuk membersihkan kebun mereka dengan cara “dibakar” yang notabene lebih murah daripada menggunakan cara yang lebih “green-friendly” yaitu dibabat secara manual.Description: 044063_10151681921379889_1987057529_n
Barusan saja, saya membaca di Viva News, Pak SBY secara terbuka meminta maaf kepada Malaysia dan Singapore mengenai bencana asap yang diakibatkan kebakaran di Riau.
Bagi saya, permintaan maaf SBY ini bukanlah wujud kelemahan beliau sebagai kepala negara, tetapi adalah wujud kebesaran jiwa dan pikiran beliau sebagai seorang pemimpin negara. Masalah asap ini adalah sebuah masalah yang harus diselesaikan oleh ketiga negara melalui sebuah kesepakatan dan kerjasama yang berkesinambungan. Dan hal ini ndak akan bisa muncul apabila ketiga belah pihak saling “keras” dan menekan satu sama lain.
Indonesia sebagai pemilik lahan harus menetapkan peraturan yang lebih “bersahabat dengan alam” kepada industri kelapa sawit yang tumbuh subur khususnya di Sumatra dan Kalimantan.
Ketiga negara juga harus bersikap tegas terhadap para pengusaha yang bertindak nakal terhadap peraturan yang ditetapkan, terlepas apa kewarganegaraan dan siapa pengusaha tersebut.
Pengolahan yang tidak “bersahabat dengan alam” adalah sebuah kejahatan yang tidak hanya berakibat buruk kepada kita untuk saat ini, tapi juga kepada anak cucu kita nanti.

27. Citra Fidencia
1). Situasi I

Eksekusi Hukuman Mati Kasus Narkotika

Jaksa Agung HM Prasetyo Meski sempat menunda eksekusi di akhir tahun 2014, eks Jaksa Agung Tindak Pidana Umum (Jampidum) itu akhirnya menepati janjinya dengan mengeksekusi 6 terpidana mati kasus narkotika.

Keenam terpidana mati yang dieksekusi itu menghadapi regu tembak di 2 lokasi berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan pada tanggal 18 Januari lalu. Di Nusakambangan, 5 terpidana yang dieksekusi yaitu Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda) dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Kemudian
1 terpidana yang dieksekusi di Boyolali yaitu Tran Thi Bich Hanh alias Asien (WN Vietnam).

Usai pelaksanaan eksekusi mati tersebut, pemerintah Belanda dan
Brazil sempat menarik duta besarnya dan meminta penjelasan. Namun riak kecil tersebut tak sampai mengganggu hubungan antar negara tersebut. Jaksa Agung HM Prasetyo pun menyatakan pelaksanaan eksekusi mati jalan terus.

Setelah 6 terpidana mati telah dieksekusi, masih ada sejumlah nama lain yang juga menunggu berhadapan dengan regu tembak. Dari beberapa nama tersebut, ada 2 nama yang menarik perhatian publik internasional yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya merupakan WN Australia yang tergabung dalam kelompok Bali Nine dan tertangkap karena menyelundupkan heroin.

Meski Prasetyo belum menyebutkan secara resmi siapa saja nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi, Pemerintah Australia melalui Menteri Luar Negeri Julie Bishop dan Perdana Menteri Tony Abbott mengintervensi pelaksanaan eksekusi tersebut. Tentunya hal ini merupakan salah satu bentuk intervensi dalam hukum Indonesia. Padahal baik Andrew maupun Sukumaran telah menerima penolakan grasi dari Jokowi serta seluruh hak-hak hukumnya telah dipenuhi.

Kemudian setelah gelombang penolakan dari Australia berkembang, Sekjen PBB Ban Ki-moon juga ikut berkomentar. Ki-moon meminta pemerintah Australia membatalkan pelaksanaan eksekusi mati para terpidana kasus narkotika tersebut. Semakin kuatnya tekanan, kemudian membuat Kejagung menunda pemindahan para terpidana mati yang tersebar di beberapa daerah itu ke Nusakambangan.

Meski begitu, Jaksa Agung HM Prasetyo berjanji bahwa pelaksanaan eksekusi mati tetap berjalan. Mengenai penundaan pemindahan tersebut tidak menjadi masalah krusial yang dapat menunda pelaksanaan eksekusi mati.

Tak berhenti sampai di situ, PM Tony Abbott kembali mengeluarkan pernyataan panas di tengah isu pelaksanaan eksekusi mati dengan mengungkit perihal bantuan Tsunami Aceh dari Australia. Kontan saja, pernyataan Abbott itu memantik gelombang kemarahan publik Indonesia. Warga Aceh pun merespon dengan cara 'Koin untuk Australia'. Gerakan ini juga merambah ke dunia maya dengan hashtag #KoinUntukAustralia dan me-mention akun pribadi PM Tony Abbott.

Hingga kini Kejagung belum memastikan kapan pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua ini akan dilangsungkan. Beberapa waktu lalu, Prasetyo telah mengumpulkan para Kajati yang di daerah hukumnya terdapat terpidana mati. Para Kajati itu mengaku telah siap dengan pelaksanaan eksekusi mati dan menunggu perintah selanjutnya dari Prasetyo.

2. Situasi II

Kebebasan Berekspresi
Human Rights Watch dan KontraS juga mendesak negara-negara lain menyerukan pembebasan semua tahanan politik di Indonesia, dan mencabut pembatasan kebebasan berekspresi. Hampir 100 aktivis dari Maluku dan Papua dihukum penjara dengan pasal “makar” karena pandangan politik, menggelar demontrasi, dan mengibarkan bendera dengan damai.
Pesakitan politik ini termasuk Filep Karma, pegawai negeri Papua, yang jalani 15 tahun penjara di Abepura, serta Ruben Saiya, dihukum 20 tahun di penjara Nusa Kambangan. Pada November 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention, sebuah organ PBB, mengeluarkan opini legal bahwa pemerintah Indonesia langgar hukum internasional dengan menahan Karma dan menyerukan pembebasan Karma tanpa syarat dan segera.
Laporan pemerintah Indonesia sama sekali tak singgung masalah ini, hanya menyebut, “hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh UUD 1945 dan undang-undang.” Namun, beragam pasal dalam hukum pidana terus dipakai untuk kriminalisasi pernyataan politik, agama, dan pandangan lain secara damai. Orang macam Filep Karma dikenakan pasal “makar” dan “penghinaan” (haatzai artikelen) yang terus-menerus digunakan terhadap aktivis politik damai.
Laporan pemerintah klaim bahwa “kehidupan media di Indonesia salah satu yang paling dinamis dan terbuka di kawasan ini .... Kebebasan berekspresi dan berpendapat senantiasa didorong, termasuk melalui internet.” Namun, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2008 menghukum mereka yang “mencemarkan nama baik” lewat internet dengan penjara maksimal enam tahun. Misalnya, kasus Alexander An, pegawai negeri yang dituduh ateis, dalam sidang di pengadilan negeri Sijunjung, Sumatera Barat. Dia dikenakan hukum ITE dan “penodaan agama” karena posting Facebook.
Polisi juga beri ruang bagi militan Islam yang berusaha menghalangi kegiatan publik yang dianggap tak bermoral. Pada 4 Mei, Irshad Manji, seorang Muslim warga Kanada dan lesbian, meluncurkan terjemahan bukunya Allah, Liberty and Love: The Courage to Reconcile Faith and Freedom, di sebuah teater di Jakarta. Namun kepolisian Jakarta Selatan sela acara tersebut, dengan alasan panitia tak memiliki izin mengundang “pembicara asing.” Hari berikutnya, tekanan dari Front Pembela Islam, sebuah kelompok militan Islam berbasis di Jakarta, memaksa Aliansi Jurnalis Independen akhiri diskusi buku Manji sebelum waktunya.
“Memenjarakan warga sipil karena mengibarkan bendera secara damai atau posting di Facebook adalah olok-olok terhadap klaim Indonesia soal menghormati kebebasan berekspresi,” kata Pearson. “Pihak berwenang Indonesia terlalu luas memakai alasan ketertiban umum untuk membubarkan diskusi tentang topik-topik sensitif.”
28. Yeremia Tulenan, 00000009913
1. Contoh situati pertama adalah situasi yang terjadi setelah keputusan pemerintah Indonesia untuk menghukum mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yaitu terpidana mati; pemimpin kelompok perdagangan narkoba yang dikenal dengan Bali Nine.

Perdana Menteri Australia,Tony Abbot mengatakan bahwa Indonesia harus ingat akan bantuan yang besar yang diberikan oleh Australia saat Tsunami 2004 dan Australia berharap balasan dari Indonesia. Australia mengharapkan Indonesia memberi balasan dengan cara tidak menghukum mati kedua warga Australia tersebut. Abbot bahkan mengingatkan akan ada konsekuensi jika banding untuk dua terpidana mati tersebut hanya diabaikan oleh Indonesia.
Kejadian ini bukan hanya berpotensi tinggi Australia meminta pertanggungjawaban namun pada situasi ini Indonesia bahkan didesak dan diancam oleh Australia dengan berbagai alasan.
Ditambah juga dengan berita adanya peretas Indonesia yang meretas AFP dan Bank sentral negara. AFP (Australian Federal Police) menyebut itu tindakan yang tidak bertanggung jawab dan siapapun pelakunya bisa menghadapi tuntutan. Kabar yang satu itu belum tentu dilakukan oleh Indonesia namun jelas sudah memperburuk hubungan Indonesia dan Australia
2. Kejadian penembakan terhadap warga Jerman, Hendrick Albert dan pasangannya pada Juni 2003 lalu sempat mengguncangkan media massa dan kejadian tersebut berpotensi untuk dipertanggungjawabkan oleh Indonesia dan meminta maaf secara hukum pada Negara Jerman . Berita tersebut mempengaruhi kredibilitas Indonesia di mata asing , yang tengah menerapkan darurat militer di Aceh.
Namun Pemerintah dan TNI tidak dapat dipersalahkan secara internasional selama terjadinya penembakan tidak menyalahi prosedur dan ketentuan dalam situasi darurat militer.
Walaupun demikian, menurut pendapat pakar hukum internasional, Oppenheim (1966) negara setempat harus mengadili atau setidaknya menyelidiki kasus yang menyebabkan timbulnya kerugian atau bahkan kematian yang menimpa warga asing tersebut. Apabila tidak, maka negara asal warga asing itu secara hukum dapat menuntut pertanggungjawaban negara.

29. Jesicca Rachel
1. Indonesia bertanggungjawab atas asap yang tersebar di Malaysia dan Singapura. Asap yang tersebar di Singapura dan Malaysia disebabkan oleh Riau, Indonesia. Karena adanya asap di Singapura dan Malaysia, kedua negara tetangga tersebut merasa aktifitas dan kenyamanannya terganggu. Selain itu kedua negara tetangga tersebut juga harus mengeluarkan dana untuk memperbaiki keadaan di negara mereka. Singapura dan Malaysia menuntut Indonesia untuk meminta maaf karena adanya asap yang tersebar dan oleh karena itu SBY sebagai presiden yang masih aktif di Indonesia meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia. 
2. Indonesia seharusnya bertanggung jawab atas kelalaian TKI yang bekerja diluar negeri. Adanya TKI yang di bekerja di luar negeri secara legal dan ada juga yang ilegal. Karena banyaknya TKI yang ilegal di negara tetangga, menyebabkan adanya beban untuk negara tetangga. Banyaknya TKI ilegal di luar negeri diperlukan pertanggungjawaban dari Indonesia. 

30. Christopher Reza -00000007334
1. Kasus Pelanggaran HAM berat di Timor - Timur
Bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 yang mencangkup pembubuhan, pemerkosaan, dan bentuk - bentuk kekerasan seksual lainnya, penyiksaan, penahanan ilegal, dan pemindahan paksa dan deportasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil
Terdapat tanggung jawab kelembagaan atas pelanggaran HAM yg terjadi di Timor - Timur yaitu kelompok prointegrasi, kelompok prokemerdekaan juga pihak UNAMET dan PBB selaku pelaksana jajak pendapat Timor-Timur
2. Kasus Asap di Singapura dan Malaysia
Pemerintah Singapura dan Malaysia akan mengambil semua langkah yang bisa dilakukan untuk menjamin warga negaranya sehat dan sejahtera. Hal ini dalam menaggapi krisis kabut asap yang berasal dari Riau yang berkaitan dengan pembakaran lahan. Sehingga Presiden Republik Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf akibat dari munculnya berita yang mengatakan meninggalnya warga negara Malaysia yang bernnama Li Cai Ling yang diduga akibat dari pencemaran udara.

31. Georgina Agatha, 00000008460
1.  Kasus kabut asap di Riau yang menimbulkan pencemaran di negara tetangga
Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah yang bersifat lintas batas ini.
Pemerintah Singapure mengatakan bahwa ia akan selalu melindungi warga negaranya agar tetap sehat dan sejahtera. Shanmugam, selaku Menteri Luar Negeri Singapura, menyatakan, jika tindakan sebuah negara berdampak pada lingkungan negara lain itu bukti 'ketidakkonsistensi' terhadap pelaksanaan hukum internasional. Namun ia mengakui supremasi negara adalah yang paling tinggi.
Indeks standar polutan (PSI) udara Singapura dalam empat hari berturut-turut masuk katagori tidak sehat. Shangum yang juga Menteri Hukum itu mengaku akan membawa masalah kabut asap dalam pertemuan ASEAN di Brunei Darussalam, pekan depan. Dalam pertemuan itu hadir pula Pemerintah Indonesia.
Singapura telah menawarkan bantuan di semua tingkatan, mulai dari pesawat untuk tenaga kerja guna mengatasi pemadaman api di Indoensia.
Beberapa perusahaan Singapura yang beroperasi di Riau telah dikaitkan dengan pembakaran lahan. Mereka menyumbang "ekspor" asap ke Singapura.
2. Kasus Bom Bali II
Yang banyak menewaskan WN Australia. Hal ini tidak menjadi masalah proteksi diplomatik karena Indonesia bisa menangkap pelaku peledakan bahkan menghukum mati semua pelakunya. Jadi Indonesia dianggap melakukan kewajiban internasionalnya.

32. Afi Noviandari
Suatu contoh konkret yaitu kasus David Hartanto, seorang Warga Negara Republik Indonesia yang tercatat sebagai mahasiswa NTU Singapura, yang meninggal dunia di wilayah yurisdiksi teritorial negara Singapura, dengan dugaan awal dari pihak NTU ia bunuh diri. Namun fakta-fakta empiris dan keterangan ahli forensik, menunjukan hal yang sebaliknya, David tidak bunuh diri melainkan dibunuh, hal ini diperkuat dengan fakta-fakta persidangan yang sarat dengan kejanggalan-kejanggalan. Namun meskipun banyak kejanggalan-kejanggalan, peradilan setempat tetap memutuskan bahwa David Hartanto meninggal dunia karena bunuh diri. Nampaknya pihak keluarga David akan terus melanjutkan kasus ini ke tingkat peradilan berikutnya, karena peradilan tingkat pertama dinilai tidak fair.Hal yang menarik untuk diperhatikan dari gambaran singkat kasus diatas adalah ketika upaya hukum keluarga David telah sampai pada tingkat peradilan terakhir dan putusan yang menyatakan David tewas karena bunuh diri telah berkekuatan hukum tetap, padahal di satu sisi banyak sekali terdapat kejanggalan-kejanggalan, yaitu apakah keluarga David dapat meminta State Responsibility dari Singapura karena telah terjadi pengingkaran keadilan (denial of justice)? Tentunya ini dapat dikaji secara lebih mendalam, mengingat dalam kasus semacam ini muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat State Responsibility itu sendiri. Dalam rangka kajian hukum internasional, khususnya tentang State Responsibility, maka perkembangan dari kasus ini sangat relevan untuk terus diikuti mengingat adanya berbagai hal tersebut diatas. Dan jika kelak, ketika kasus ini telah selesai (final) dan tenyata menimbulkan Pertanggungjawaban Negara, maka ia akan menjadi sebuah preseden baru dalam hukum Internasional. Yang paling menarik adalah apakah Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan memperhatikan adanya progressive development yang muncul dalam kasus-kasus semacam ini dan mempertimbangkan untuk mengakomodasinya ditengah-tengah proses pengkodifikasian hukum internasional tentang State Responsibility. Sehingga ujung dari kesemuanya itu tidak lain adalah terjaminnya rasa keadilan ditengah pergaulan masyarakat internasional, bagi pihak-pihak seperti keluarga David Hartanto.

33. Getar Jiwa Adita, 00000009877
Kabut Asap Karena Kebakaran Hutan di Riau
 Masalah ini cukup rumit dikarenakan letak provinsi Riau yang dekat dengan negara malaysia dan singapura sehingga menjadikan sumber polusi . Berdasarkan data MRIS di provinsi riau terdapat sekitar 1.419 titik api yang terdiri dari : Lahan masyarakat , kawasan HTI , dan perkebunan.Kebakaran tersebut berdampak sangat buruk bagi masyarakat sekitar dan tetangga. Seperti penyakit pernafasan dan juga kurangnya efisiensi kerja karena terhambatnya perjalanan. Penyebab terjadinya musibah ini karena adanya kesalahan sistemik hutan secara nasional . Selama kejadian ini berlangsung presiden kita kala itu SBY mendadak meminta maaf kepada negara-negara tetangga yang terkena akibat dari kebakaran hutan tersebut . 


Warga Negara Indonesia Ilegal
Seharusnya Indonesia bertanggung jawab ke negara lain. Karena banyak sekali Warga Negara Indonesia yang dikirim ke negara lain sebagai WNI TKI Ilegal di negara lain seperti malaysia,arab,hongkong,dan negara-negara lainya. Banyak sekali terjadi pemalsuan izin di negara Indonesia . Dan ironis nya pihak negara mengetahui hal ini . Hal tersebut merugikan negara yang dituju oleh para TKI Ilegal karena akan menambah tenaga kerja yang ada di negara tersebut

34. Jacqueline A Zahra, 00000009010
1. Kasus bom bali yang 1. Kasus bom bali yang menewaskan banyak warga negara asing khususnya warga negara australia. Indonesia dapat di tuntut oleh negara asal para korban, namun karena indonesia dapat menangkap dan menghukum mati para teroris maka ini tidak menjadi masalah lagi.
2. Kasus Tenaga Kerja Indonesia ilegal yang membunuh majikannya di luar negri. Dalam kasus ini Indonesia dapat di tuntut karena bisa ke colongan memberangkatkan TKI yang tidak mempunyai identitas dan status legalnya masih di pertanyakan.


35. Dennis Christian David, 00000007756

  1. Permasalahan pertama adalah: Kasus di Indonesia, pelanggaran HAM berat yang melibatkan Dewan Keamanan PBB, salah satunya adalah persoalan kekerasan di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Tim Tim, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.





Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM. Di samping itu telah diatur pula tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat HAM.

Yurisdiksi atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000). Akan tetapi pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun. Kalaupun anak yang bersangkutan melakukan kejahatan genocida dan kejahatan kemanusian, tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan didasari KUHP dan KUHAP

2. Permasalahan kedua adalah: Perusakkan hutan yang khususnya terjadi di Riau, yang akibatnya dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan, masyarakat sekitar wilayah Sumatera, dan juga meliputi aspek lepas batas negara yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat warga negara tetangga Indonesia. Kebakaran hutan di Indonesia juga mengakibatkan pencemaran udara di beberapa negara, khususnya negara Malaysia dan Singapura.

Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini karena kebakaran hutan ini bukan merupakan kejadian yang pertama bagi mereka. Protes Malaysia dan Singapura ini berlandaskan pada kabut asap tersebut telah mengganggu kehidupan mereka seperti terjadinya gangguan kesehatan masyarakat karena kabut asap yang bersifat racun sehingga terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), asma, kematian, perekonomian yang tidak stabil, serta pariwisata mereka. Efek lain dari kabut asap juga dapat meningkatkan kecelakaan lalu lintas baik darat, laut, dan udara karena jarak pandang yang sangat pendek

Indonesia merupakan negara yang setiap tahunnya mengalami permasalahan lingkungan hidup yang dampaknya sampai ke negara tetangga, untuk itu Indonesia menanggapi permasalahan lingkungan internasional ini dengan mulai mengadopsi konsep pertanggungjawaban negara (state responsibility). Dengan mengadopsi konsep tersebut dapat menunjukkan bentuk pertanggungjawaban negara terhadap pencemaran yang mengakibatkan injury bagi negara lain

36.  Jovan B.W Lango
Nim    : 00000008050


1. Asap yang berasal dari Riau 
kebakaran hutan yang terjadi di Riau telah merugikan pihak Singapur dan Malaysia yang terkena imbasnya. Kedua negara hampir di tutupi oleh asap selame beberapa hari. Pemerintah Singapur mengatakan bahwa ia akan selalu melindungi warga negaranya agar tetap sehat dan sejahtera. Shanmugam, selaku Menteri Luar Negeri Singapura, menyatakan, jika tindakan sebuah negara berdampak pada lingkungan negara lain itu bukti 'ketidakkonsistensi' terhadap pelaksanaan hukum internasional. Namun ia mengakui supremasi negara adalah yang paling tinggi.  

2. Kasus Timor Timur dimana Indonesia melakukan genosida yang telah membunuh banyak orang. Pada tanggal 15 september 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1264, mengutuk tindakan kekrasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian.

38. : Rendi Dwi Akbar, 00000009074
1. Kejadian penembakan terhadap warga Jerman Di Aceh, Hendrick Albert dan pasangannya pada Juni 2003 lalu sempat mengguncangkan media massa dan kejadian tersebut berpotensi untuk dipertanggungjawabkan oleh Indonesia dan meminta maaf secara hukum pada Negara Jerman . Berita tersebut mempengaruhi kredibilitas Indonesia di mata asing , yang tengah menerapkan darurat militer di Aceh.
Namun Pemerintah dan TNI tidak dapat dipersalahkan secara internasional selama terjadinya penembakan tidak menyalahi prosedur dan ketentuan dalam situasi darurat militer.
Walaupun demikian, menurut pendapat pakar hukum internasional, Oppenheim (1966) negara setempat harus mengadili atau setidaknya menyelidiki kasus yang menyebabkan timbulnya kerugian atau bahkan kematian yang menimpa warga asing tersebut. Apabila tidak, maka negara asal warga asing itu secara hukum dapat menuntut pertanggungjawaban negara.

2. Kasus Timor Timur dimana Indonesia melakukan genosida yang telah membunuh banyak orang. Pada tanggal 15 september 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1264, mengutuk tindakan kekrasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian.
39. Hendra Ronaldi, 00000008578
  - Peristiwa pelanggaran HAM timor timur pada tahun 1999
   - Duta Besar Republik Demokratik Korea (Korea Utara) Ri Jong Ryul, 59 tahun, melayangkan nota diplomatik bernada protes kepada pemerintah Indonesia. Protes ini terkait dengan sikap pemerintah Indonesia yang membiarkan penyelenggaraan simposium internasional membahas mengenai hak asasi manusia rakyat Korut pada Selasa, 10 Februari 2015
40. Thomas Abraham
Singapura hari Rabu (16/04) menyambut baik permintaan maaf Panglima Tentara Nasional Indonesia Moeldoko atas penamaan kapal perang Indonesia yang menggunakan nama dua marinir yang ditugaskan meledakkan bom di Singapura tahun 1965.
Singapura mengungkapkan kemarahannya Februari lalu ketika kapal Indonesia yang baru diperbaharui dinamakan "KRI Usman Harun".
Selain itu, Singapura mengajukan keluhan diplomatik dengan Jakarta dan melarang kapal tersebut berada di pelabuhan dan pangkalan angkatan laut Singapura.
Ketegangan meningkat Maret lalu setelah dua orang Indonesia berpakaian sebagai Usman dan Harun dalam sebuah pameran pertahanan di Jakarta.Perbaiki hubungan bilateral
,Ini adalah tanggung jawab saya sebagai panglima angkatan bersenjata Indonesia untuk menawarkan klarifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan situasi tidak memburuk,ujar Moeldoko.
Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menyambut baik permintaan maaf tersebut dan mengatakan itu adalah sikap konstruktif untuk meningkatkan hubungan pertahanan bilateral.
Ini akan .memperkuat rasa saling pengertian dan persahabatan yang telah dibangun selama beberapa dekade. ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Kata dieksekusi di Singapura karena peran mereka Maret 1965 dalam sebuah ledakan di kompleks perkantoran di pusat kota Singapura yang menewaskan tiga orang dan melukai 33.
Serangan mereka adalah bagian dari upaya Presiden Indonesia Soekarno untuk menggelar sebuah konfrontasi bersenjata terhadap federasi yang baru terbentuk saat itu yakni Malaysia dimana Singapura juga bergabung.
Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Usman dan Harun. Keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Indonesia adalah mitra dagang terbesar ketiga Singapura dengan total perdagangan antar tetangga Asia Tenggara mencapai AS$62.6 biliun atau sekitar Rp71.4 biliun pada tahun 2012.

41.  Josua Samuel
1. Badan Lingkungan Nasional Singapura mengatakan polusi udara Singapura naik ke tingkat yang tidak sehat pada Senin, dikarenakan asap kebakaran hutan di Indonesia dan perubahan arah angin. Negara indonesia meminta maaf atas kejadian tersebut. 
2. Penolakan pemerintah brazil terhadap penugasan dubes indonesia, karena indonesia akan meng eksekusi terpidana mati warga negara brazil dlm kasus narkoba
42. Nova Shyntia
1.Aksi Terorisme Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang mengakibatkan banyak kematian warga negara Australia.Tetapi Australia menyerahkan semua keputusan Hukuman kepada Indonesia.
2. Polisi terlibat perkelahian,Perkelahian ini mengakibatkan seorang warga negara asing dari kanada Mohan, keadaan Mohan kritis.Tetapi tidak ada permintaan maaf kepada Mohan atau Kanada oleh pemerintah Indonesia.

43. Alifia Nabila, 00000009160
1. Panglima TNI bantah minta maaf ke singapura
Panglima TNI jenderal Moeldo membantah telah meminta maaf kepada singapura terkait pemberian nama KRI Usman Harun yang sempat di protes oleh pemerintah negara. Sementara itu pengamat mengatakan permintaan maaf itu tidak tepat. Bantahan Panglima TNI jenderal Moeldoko disampaian berkaitan dengan pemeritaan media singapura yang melaporkan dirinya meminta maaf atas penamaan kapal Usman Harun. Pengamat hubungan internasional universitas indonesia, makmur menilai permintaan maaf yang disampaikan oleh pangkina tidak tepat.

2. TKI indonesia di Malaysia
Malaysia pulangkan 99 WNI karena kasus keimigrasian. Karena banyak dari mereka memalsukan surat-surat izin kerja di luar negri dan berhasil lolos bertahun-tahun untuk kerja disana. Beberapa pihak yang mengurus transmigrasi dari indonesia yang untuk di pekerjakan sebagai WNI dianggap tidak detail dalam memeriksakan keamanan terhadap hubungan i ternasional indonesia dengan negara lain. 


44. Ardi Akbar Ramadhan, 00000009956

Usman Harun

Nama Usman dan Harun saat ini menjadi berita hangat di media massa setelah TNI AL akan menamakan sebuah kapal perang TNI AL (KRI) dengan nama Usman Harun. Pemerintah Singapura keberatan, sebab keduanya adalah orang-orang yang dianggap teroris oleh Singapura, sementara di Tanah Air, dia adalah pahlawan bangsa. Ya, Usman Harun merupakan nama dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) pada periode 1960-an, atau yang disebut Marinir AL sekarang ini. Keduanya diberi gelar pahlawan nasional setelah dihukum mati oleh Pemerintah Singapura lantaran diduga melakukan aksi terorisme di Macdonald House.

Semuanya berawal ketika pada 31 Agustus 1957 berdiri negara Persemakmuran Malaya. Saat itu Singapura ingin bergabung dalam persemakmuran namun ditolak oleh Inggris. Lalu pada 16 September 1963 dibentuk federasi baru bernama Malaysia yang merupakan negara gabungan Singapura, Kalimantan Utara (Sabah), dan Sarawak.

Kesultanan Brunei kendatipun ingin bergabung dengan Malaysia, namun tekanan oposisi yang kuat lalu menarik diri. Alasan utama penarikan diri adalah Brunei merasa memiliki banyak sumber minyak, yang nanti akan jatuh ke pemerintahan pusat (Malaysia).

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno sejak semula menentang keinginan Federasi Malaya yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord. Presiden Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.

Maka dibentuklah sukarelawan untuk dikirim ke negara itu setelah dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta.

Adalah Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali, dua anggota KKO (Korps Komando Operasi -kini dikenal dengan Korps Marinir) yang diberangkatkan ke Singapura dengan menggunakan perahu karet. Tugasnya adalah menyabotase kepentingan-kepentingan Malaysia dan Singapura.

Berikut ini adalah catatan perjalanan dua Pahlawan Nasional itu sebagaimana tersimpan dalam catatan sejarah KKO.

Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai hakim.

Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan :

1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.

2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.

3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).

Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menolak permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu dan pada tanggal 20 Oktober 1965 SidangPengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnyatiga orang sipil.

Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun naik banding ke FederalCourt of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah danJ.J. Amrose.

Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London.

Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura.

Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.

Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan.

Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut.

Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968, Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.

Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia.

Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.

Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura yang tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.



Warga negara australia di hukum mati

Perdana Menteri Australia Tony Abbott mencoba melakukan klarifikasi mengenai komentarnya sehubungan dengan upaya pencegahan eksekusi terhadap dua warga Australia yang dihukum mati di Indonesia.
"Saya hanya menekankan kedalaman persahabatan antara Australia dan Indonesia, dan fakta bahwa Australia telah berada di sisi Indonesia ketika Indonesia dilanda kesulitan," kata Abbott yang berada di Tasmania kepada wartawan hari Rabu (18/02).
Abbot juga mengatakan, Australia akan merasa sedih dan kecewa jika eksekusi mati terhadap dua warganya tetap dilaksanakan.
Dua warga Australia, Myuran Sukumaran, 33 tahun, dan Andrew Chan, 31 tahun, akan segera menjalani eksekusi di Indonesia. Keduanya tertangkap di Bandara Ngurah Rai Bali tahun 2005, ketika berusaha menyelundupkan 8,2 kg heroin.

Sebelumnya, PM Tony Abbot menyatakan bahwa eksekusi kedua warga Australia di Indonesia akan berdampak pada hubungan diplomatik kedua negara. Abbot juga mengingatkan bencana tsunami tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang dan mengakibatkan kerusakan besar. Ketika itu, Australia menyalurkan bantuan senilai 1 milyar dolar Australia kepada Indonesia.
Pernyataan PM Australia itu segera ditanggapi oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Armanatha Nasir. Ia menerangkan, ancaman bukan jalan komunikasi dan bahasa politik yang baik. "Saya harap pernyataan itu tidak mencerminkan warna asli dari rakyat Australia," kata Armanatha di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon sebelumnya juga mengimbau pemerintah Indonesia agar menghentikan eksekusi mati.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno LP Marsudi menerangkan, pelaksanaan hukuman mati para terpidana kasus peredaran dan penyelundupan narkoba tidak ditujukan kepada negara, bangsa, dan warga negara tertentu.
"Saya akan mengulangi pernyataan ini, bahwa keputusan hukuman mati yang dibuat pengadilan Indonesia tidak ditujukan pada negara, bangsa, maupun warga negara tertentu, melainkan ditujukan untuk kejahatan yang sangat keji," kata Menlu Retno dalam konferensi pers di Kementerian Luar Negeri di Jakarta, hari Selasa (17/02).
Dia menekankan kebijakan hukuman mati merupakan bagian dari penegakan hukum yang positif di Indonesia yang diimplementasikan untuk jenis kejahatan luar biasa.
Narapidana narkoba yang terancam eksekusi mati antara lain berasal dari Brasil, Perancis, Ghana, Nigeria dan Filipina. Bulan yang lalu, Indonesia sudah melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati, antara lain warga negara Brasil dan Belanda.