Selasa, 17 Februari 2015

Latihan 4, Mengenai: Apakah Indonesia Menganut Paham Dualisme Atau Mononisme?


1. Arina Sondang, 00000010318

 Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Akan tetapi menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional.



2. Kevin Christiansen David, 00000007755

Dalam suatu negara pasti pernah terjadinya suatu persinggungan atau permasalahan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Biasanya, hal ini mungkin terjadi pada saat melakukan Perjanjian Internasional dalam ranah Hukum Nasional.


Namun dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut, apakah negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?

Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan paham atau teori dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Paham itu dibagi menjadi dua, yang dikenal dengan paham Dualisme dan paham Monisme.


Menurut paham Dualisme

Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang jelas terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.


Menurut paham Monisme

Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Menurut paham ini, dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.


Berdasarkan paham Monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkinya lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.


Namun dimungkinkan bahwa ada Monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tampak dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn.


Apakah Indonesia menganut salah satu dari kedua paham tersebut? Jawaban nya adalah belum ada kepastiannya, karena dalam undang-undang di Indonesia yang sekarang ini, belum ada ketentuan atau suatu pasal yang secara jelas menentukan sikap Indonesia. Namun jika melihat kepada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia lebih menganut paham Monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada Monisme dengan pengutamaannya dalam Hukum Internasional.





1.     Rezky Kariema T, 00000010197

Menurut pendapat dan artikel-artikel yang saya baca, Saya melihat Indonesia cenderung menganut Dualisme. Mengapa saya berpendapat demikian? Banyak sekali artikel yang saya baca memberikan jawaban yang kurang jelas atau masih belum menentukan Indonesia menganut Dualisme atau Monisme. Tetapi setelah saya pelajari, praktek Indonesia dalam implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional lebih cenderung ke Dualisme. Terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No.24 tahun 2009 yang berisi “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana maksud dalam ayat 1 dilakukan dengan UU atau keputusan presiden”. Dengan demikian pemberlakuan Perjanjian Internasional tidak secara langsung. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang Hukum Nasional dan Hukum Internasional sebagai 2 sistem hukum yang berbeda dan terpisah. Terlihat juga dalam UU No.2 tahun 2000, Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi Hukum Nasional dalam bentuk perundang-undangan, diratifikasi melalui UU dan keputusan Presiden. UU ratifikasi tersebut tidak langsung menjadi Hukum Nasional, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Contohnya, Indonesia meratifikasi International covenant on Civil and Political rights melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.



4. Melisa Salim, 00000008083

Saya berpendapat bahwa Indonesia termasuk sebagai negara dualisme. Hukum Internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi dasar adanya metode transformasi dalam inkorporasi perjanjian/hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional. Dalam hal ini, lembaga legislatif (DPR RI) memberikan persetujuan terhadap suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden (lembaga eksekutif).

5. Nova Shyntia Ryan Dinata Purba, 00000009797

*Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional. Indonesia menganut paham dualisme dalam perkembangannya cendrung menuju paham monisme dengan primat hukum inetrnasional serat pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hokum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.Pada intinya Indonesia belum menerapkanatau mengambil sikap secara tegas system apakah yang diambil,Monisme atau Dualisme.

6. Yehuda Bimo

Jika kita mencoba untuk menelaah suatu topik permasalahan yang memunculkan pertanyaan seperti ini : “apakah Hukum Internasional (HI) dan Hukum Nasional (HN) merupakan dua buah sistem hukum yang berbeda dan terpisah atau sebuah kesatuan sistem hukum yang sama?”, maka untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari dua sistem yang menyangkut HI dengan HN yaitu monisme dan dualisme.

Monisme adalah sistem yang menganggap bahwa HI dan HN adalah sebuah kesatuan sistem dan tidak memiliki perbedaan. Di dalam monisme, HI tidak hanya mengikat Negara namun juga mengikat warga negaranya. Dari hal tersebut, akan muncul sebuah struktur hukum yang universal yang mengikat setiap individu baik sebagai HI maupun HN. Di dalam monisme, HI dan HN dapat berkonflik dan melahirkan Primat HI dan Primat HN. Primat HI adalah sistem yang meletakkan HI berkedudukan diatas HN. Hukum Nasional adalah personalisasi dari Hukum Internasional. Jika Negara sedang berada dalam kondisi revolusi, maka HI sedang memberikan mandat kepada HN untuk menyelesaikannya. Sedangkan HI tidak akan pernah berubah meskipun ada revolusi. Kesimpulannya adalah kekuatan mengikat HN merupakan lanjutan atau pelimpahan wewenang dari HI. Sedangkan Primat HN adalah sistem yang meletakkan HN berkedudukan diatas HI dan HI hanyalah perpanjangan tangan atau lanjutan dari HN. Dengan kata lain, HI adalah HN diluar negeri.

    Dualisme adalah sistem yang menganggap bahwa HI dan HN adalah dua sistem yang berbeda. Secara subjek, perbedaannya adalah jika subjek HI adalah Negara, maka subjek HN adalah warga Negara atau badan hukum. Sumber hukumnya pun berbeda. Jika HI bersumber dari traktat atau ICL, maka HN bersumber pada UUD atau UU Nasional. HI mengikat Negara dan tidak mengikat warga Negara. Sedangkan HN hanya mengikat warga Negara. Maka, tidak akan ada konflik antara HI dan HN karena segala aspeknya berbeda.

    Sekarang pertanyaannya adalah “apakah Indonesia menganut Monisme atau Dualisme”

    Pertama – tama kita harus mengetahui terlebih dahulu dasar hukum perjanjian internasional. Dasar hukum pembuatan perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 44 tahun 2004 tentang perjanjian internasional, memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Selanjutnya pada ayat (2) Dalam membuat perjanjian internasional Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

    Kesimpulannya, Indonesia mengakui HI sebagai HN dalam hal tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang – Undang yang berlaku di Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut paham Monisme karena dalam paham Monisme menganggap bahwa HI dan HN memiliki keterkaitan dan Indonesia mengaplikasikan hal tersebut baik dalam peraturan tertulis maupun didalam pelaksanaannya. Sebagai tambahan, Indonesia juga menjunjung azas Pacta Sunt Servanda karena Indonesia berpedoman bahwa para pihak yang melaksanakan perjanjian harus melaksanakannya dengan itikad baik (Pasal 4 ayat (1).

7. Chelsea Timotius, 00000008053

Menurut Damos Dumoli Agusman (2008), sistem hukum Indonesia belum mengindikasikan apakah menganut monoisme atau dualisme. UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 dan membutuhkan adanya UU Nomor 6 Tahun 1996 sebagai UU transformasi merupakan contoh di mana Indonesia “tampaknya” menerapkan paham dualisme.

8. Muhammad Dhana Halim, 00000008825

Apakah indoonesia mengtantut dualisme atau monisme?
Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.



9. Christopher Reza Soebijantoro, 00000007334

Dalam praktik pilihan pada hukum nasional atau pada hukum internasional, Indonesia masih belum tegas, apakah menganut monisme atau dualisme. Oleh karena itu, maka sebaiknya Indonesia bisa lebih tegas dalam mengambil sikap. Sampai sementara ini, Indonesia masih menganut doktrin gabungan dimana menganut doktrin monisme untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut doktrin dualisme yang disertai dengan tindakan transformasi untuk perjanjian internasional yang menyangkut  hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia. 


Akan tetapi dari sumber yang saya baca, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.



10. Agustina, :00000008779 
Dualisme adalah hukum internasional dan hukum nasional dimana suatu 2 sistem hukum yang keseluruhannya berbeda, dan dimana hukum internasional dan hukum nasional itu merupakan system hukum yang terpisah dan tidak dapat digabungkan. Perbedaan yang dimaksud adalah subyek hukum internasional adalah negara-negara sedangkan subyek hukum nasional adalah individu, hukum internasional bersumber pada kehendak bersama negara adapun hukum nasional pada kehendak negara semata, dan hukum nasional memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum internasional.  Indonesia menganut teori dualisme, karena di dalam keputusan suatu hubungan internasional di Indonesia perlu di ratifikasi terlebih dahulu sebelum diaplikasikan ke dalam masyarakat Indonesia.
11. 00000008998, M bukhari M

Hukum di indonesia menganut hukum monoisme, karena keputusan yg berada di Indonesia itu di tentukan oleh hakim,Indonesia menganut monoisme sejak proklamasi 1945. Bila kita liat dari kasus monoisme Indonesia hukum yang belum kokoh,karena hukum Indonesia masih mengikuti dengan Hukum Internasional.
Sedangkan bila kita lihat contoh dari kasus dualisme yaitu keputusan ditentukan oleh juri,sedangkan hakim hanya memberikan sangngsi. Seperti negara USA dan Inggris menganut dualisme.

12. Dennis Christian David, 00000007756 
Pada suatu negara pasti pernah ada terjadinya suatu persinggungan atau permasalahan antara HI dan HN. Biasanya hal ini mungkin terjadi saat melakukan Perjanjian Internasional dalam ranah hukum nasional.

Dalam hal menyelesaikan permasalahan itu, apakah negara akan mengutamakan HI atau HN?

Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan paham atau teori dalam hubungan antara HI dan HN. Paham itu di bagi menjadi dua, yaitu paham dualisme dan monisme.

* Menurut paham dualisme
HI dan HN merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat HI berbeda dengan HN. HI dan HN merupakan dua sistem hukum yang jelas terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamaka. HN dan mengabaikan HI.

* Menurut paham monisme
HI dan HN merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Menurut paham ini, dengan pengutamaan pada HN, HI merupakan kelanjutan HN. HI merupakan HN untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan HI.

Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada HI, HN secara hirarkinya lebih rendah dibandingkan dengan HI. HN tunduk pada HI dalam arti HN harus sesuai dengan HI.

Namun dimungkinkan bahwa ada monisme yang menganggap bahwa HN sejajar dengan HI. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tampak dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang terorisme Bonn.

Apakah Indonesia menganut salah satu dari kedua paham tersebut?
Jawabannya adalah belum ada kepastiannya, karena dalam UU di Indonesia yang sekarang ini, belum ada ketentuan atau suatu pasal yang secara jelas menentukan sikap Indonesia. Namun jika melihat kepada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan HI, Indonesia lebih menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme debgan pengutamaannya dalam HI.

13. Ardi Akbar Ramadhan, 00000009956

Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional.

Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.



14. Anthonius Suryanto, 00000007422 
-Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada umumnya
-Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang terpisah, masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya.



Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia menganut monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia seharusnya menganut dualisme dan walaupun memilih monoisme harus primat Hukum Nasional.



Menurut saya, Indonesia menganut dualisme karena masih banyak hukum nasional yang harus di transformasi sehingga hukum tersebut dapat terpakai di dalam hukum internasional juga.

Seperti contoh UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan UU No 17 Tahun 1985 dan membutuhkan adanya UU No 6 Tahun 1996 sebagai UU Transformasi merupakan contoh dimana Indonesia "tampaknya" menerapkan paham dualisme.



15. Kendra Wiratama Sugiharta, 00000007406 
1.)Aliran dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukuminternasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasionaldan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.



2.)Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia



Belum ada kepastian bahwa Indonesia menganut aliran dualisme/monism,tetapi dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) di atas, pada dasarnya Indonesia menganut paham monisme, karena disetiap perumusan kebijakan politik luar negeri pemerintah wajib berpedoman pada ketentuan hukum nasional, namun disisi lain berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan hukum internasional. Salah satu contoh nyata adalah perjanjian ACFTA .



Perbedaan sikap pemerintah Indonesia yang bertolak belakang dengan ketentuan UU tersebut, mengindikasikan bahwa Indonesia dalam hal tertentu menganut paham monisme yang menganggap bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam pada apa yang dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.24 tahun 2004, mengakui adanya persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.



Pada intinya Indonesia lebih cenderung menganut kepada aliran monism.



16. Reza Chandra, 00000008894

Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.

17. Hendra Ronaldi, 00000008578

Menurut saya, indonesia menganut monisme, mengapa monisme karena dalam UUD 1945 maupun undang-undang yang ada pada saat ini, belum ada ketentuan atau pasal, yang menjelaskan tentang menentukan sikap indonesia. Bertumpu pada pengakuan indonesia terhadap keberadaan hukum internasional, indonesia menganut paham monisme. Tetapi berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan hukum internasional.

    Monisme sendiri maksudnya ialah hukum internasional dan hukum nasional yang saling berkaitan antara satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan hukum tersebut mungkin ada pada hukum internasional atau hukum nasional. Menurut paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional maka hukum internasional merupakan kelanjutan bagi hukum nasional. Hukum internasional merupakan hukum nasional untuk urusan luar negeri dan paham ini cenderung mengabaikan hukum internasional. Sedangkan berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional, maka secara hirarkis hukum nasional berarti lebih rendah dari pada hukum nasional, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dalam arti hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional. Dan di indonesia paham monisme yang dianut yaitu pengutamaan kepada hukum internasional.

18. Aulia Rachmadani, 00000010134

Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional. Saya sependapat dengan Wisnu Aryo Dewanto, karena memang ada kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI (legislatif) terhadap suatu perjanjian internasional yang memberikan persetujuan, bukan mengesahkan, karena kewenangan untuk membuat dan mengesahkan milik lembaga eksekutif dengan fungsinya sebagai pengawas atau melakukan check and balances terhadap lembaga eksekutif (dalam hal ini adalah Presiden).

19. 00000010211, Josua Samuel Silalahi

indonesia menganut sistem dualisme, karena hukum nasional dan internasional dua sistem hukum yang berbeda dan keberlakuan hukum internasional harus melalui ratifikasi dalam bentuk UU



20. Pietro Yulio 
Dalam hubungan internasional yang berkenan dengan kepentingan nasional yang sangat vital,atau berkaitan dengan politik internasional tinggi.Karena terletak dalam satu sistem hukum maka sangat besar sekali kemungkinan terjadi konflik antara keduanya. Dalam perkembangannya aliran monisme terpecah menjadi dua, yakni aliran monisme primat hukum nasional dan aliran monisme primat hukum internasional.Menurut aliran monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional. Hukum internasional berasal dari hukum nasional. Hukum internasional juga merupakan hukum nasional untuk urusan luar negeri. Contohnya adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Sehingga bila ada konflik, hukum nasional yang lebih diutamakan.Kemudian aliran monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional hierarkinya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dalam arti hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional. Hukum internasional harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional. Kritik terhadap aliran ini adalah ketidaksesuaian fakta bahwa dalam realitanya hukum internasional lebih banyak bersumber pada hukum nasional yaitu dari praktik negara.Kemudian aliran dualisme mengandung maksud: “Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional mempunyai sifat-sifat intrinsik yang berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yamg benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi”.Aliran ini mengemukakan bahwa antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda. Perbedaan yang dimaksud meliputi subyek hukum internasional adalah negara-negara sedangkan subyek hukum nasional adalah individu; hukum internasional bersumber pada kehendak bersama negara adapun hukum nasional pada kehendak negara semata; dan hukum nasional memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum internasional.Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan “transformasi” menjadi hukum nasional. Jika hukum internasional dan hukum nasional ada perbenturan atau pertentangan. Negara yang menganut teori dualisme akan lebih sering mengabaikan hukum internasional.Namun, David J. Bederman berpendapat tidak hanya perlu transformasi tetapi juga dengan inkorporasi, seperti yang didefinisikan olehnya: “Dualism is the position that international law and domestic law (sometimes called “municipal law” in European nations) are separate and distinct legal systems which operate on different levels, and that international law can only be enforced in national law if it is incorporated or transformed”.Secara teoritis sebenarnya ada dua teori yang membahas mengenai bagaimana negara menerima suatu perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional mereka, yakni teori inkorporasi dan teori transformasi.Teori inkorporasi melihat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi secara otomatis menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum internasional tidak memerlukan tindakan legislatif (implementing legislation) karena pengintegrasiannya secara langsung, identik dengan yang dipraktikkan negara-negara yang menganut faham monisme. Dalam teori ini ada dua pandangan inkorporasi, yakni yang bersifat hard dan soft.Inkorporasi yang bersifat hard berpandangan bahwa pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau common law (hukum yang berkembang dalam masyarakat melalui putusan pengadilan). Menurut pandangan yang bersifat soft, pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.Kemudian teori transformasi lebih melihat hukum internasional merupakan sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional sehingga untuk dapat menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara maka harus ditransformasikan kedalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui di negara yang bersangkutan. Identik dengan yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut faham dualisme. Teori ini memiliki dua pandangan, yakni transformasi yang bersifat hard dan soft.Menurut pandangan yang bersifat hard menekankan hukum internasional hanya dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif saja. Sedangkan yang bersifat softmenitikberatkan hukum internasional dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif dan yudikatif. Tindakan yudikatif ini maksudnya adalah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional telah menjadi bagian dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Pandangan transformasi yang bersifat softini diidentikkan dengan indirect incorporation dimana hukum internasional digunakan sebagai alat bantu untuk menafsirkan hukum nasional suatu negara jika dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum internasional.Dalam praktik pilihan pengutamaan pada hukum nasional atau pada hukum internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau politis. Dalam konteks Indonesia, menurut Eddy Pratomo masih ada ketidaktegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Eddy menyarankan agar Indonesia bisa lebih tegas, maka perlu memilih sikap. Dengan menganut doktrin gabungan yakni inkorporasi (monisme) untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia.Menurut penulis, apa yang disarankan oleh Eddy Pratomo malah justru ada percampuran dan tidak memiliki kepastian yang jelas mengenai aliran mana yang mestinya dianut oleh Indonesia. Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.Penulis sependapat dengan Wisnu Aryo Dewanto, karena memang ada kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI (legislatif) terhadap suatu perjanjian internasional yang memberikan persetujuan—bukan mengesahkan, karena kewenangan untuk membuat dan mengesahkan milik lembaga eksekutif—dengan fungsinya sebagai pengawas atau melakukan check and balances terhadap lembaga eksekutif (dalam hal ini adalah Presiden).
21. Kristi Puspita, 00000008014

Menurut saya, saat ini Indonesia masih tidak memiliki ketegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Setelah membaca dari beberapa sumber di internet, saya dapat mengatakan bahwa Indonesia menganut monisme untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut dualisme untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, dimana pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun seiring dengan berjalannya waktu dalam penyelesaian masalah-masalah internasional, Indonesia kini cenderung menganut teori monisme. Hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dipakai dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dalam arti hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional. Hukum internasional harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional.


22. Yeremia Tulena, 00000009913

Indonesia menganut atau mempraktekkan teori Dualisme, dimana hukum internasional dan hukum nasional adalah dua sistem atua perangkat yang dibedakan atau terpisah. Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan internasional memiliki sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara itu sendiri sedangkan hukum internasional bersumber dari kemauan bersama negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham Dualisme dapat terlihat pada Pasal 9 UU no.24 tahun 2000, dinyatakan bahwa ; "Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden"

Dengan menganut teori dualisme berarti Indonesia akan lebih sering mengabaikan hukum internasional, dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidak serta-merta.



23. Jenniefer Angel, 00000007885

Menurut pendapat saya pribadi, walaupun di Indonesia dalam UUD1945 maupun Undang-Undang yang sudah ada sekarang ini belum ada ketentuan yang menyatakan secara jelas tentang sikap Indonesia, tapi dapat kita lihat pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum International bahwa Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek juga, Indonesia lebih cenderung kepada monisme dengan sikap pengutamaannya terhadap Hukum International.



24. INARA MAHESA CHAIDIR, 00000010060

Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.



25. Glenn Wijaya, 00000008020

Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia menganut paham monisme. Ia mengatakan bahwa Indonesia tidak seperti negara-negara lain yang memperjelas posisi hukum internasional di dalam hukum nasionalnya atau di UUDnya. Tapi hal ini tidak menjadikan Indonesia serta merta menganggap bahwa hukum internasional lebih rendah derajatnya daripada hukum nasional Indonesia.

Dengan melihat ke masa lampau, dimana bangsa Indonesia dahulu dijajah dan akhirnya mengadopsi tradisi hukum Eropa continental, Prof. Mochtar beranggapan bahwa Indonesia menganut paham monisme.

Damos Dumoli Agusman, Director of Economic and Social-Cultural Treaties di Kementerian Luar Negeri, pernah terlibat dalam deliberasi tentang Draft Law on International Agreements, yang akhirnya menjadi UU No. 24 tahun 2000. Menurut Damos, UU no. 24 tersebut tidak bertujuan untuk mengklarifikasi status perjanjian-perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia sebab para perancang UU dan Kementerian Luar Negeri menganggap bahwa Indonesia adalah negara monist, mengikuti pandangan Prof. Mochtar.

Indikasi kedua mengenai monism adalah Supreme Court Directive tahun 2006 dimana MA mengaplikasi Konvensi Wina mengenai Diplomatic Relations. Konvensi Wina tersebut sudah diratifikasi oleh DPR melalui UU no. 1 tahun 1982, tetapi pasal-pasal di Konvensi tersebut belum ditransformasi menjadi hukum nasional. Namun nyatanya, MA tetap mengaplikasi prinsip artikel 31 di Konvensi tersebut untuk menyelesaikan kasus mengenai sengketa tanah yang mengikutsertakan Kedutaan Besar Saudi Arabia di Indonesia.

Menurut Prof. Butt, Indonesia adalah negara monist bila ditinjau dari sudut pandang hukum. Sebabnya adalah bahwa tidak adanya peraturan mengenai posisi hukum internasional sampai sekarang. Jadi, kita harus mengacu kepada hukum Belanda yang diaplikasikan di saat Indonesia merdeka. UUD 45 mengatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan harus tetap diaplikasikan sampai digantikan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Jadi, Indonesia mengadopsi hukum Belanda dan tradisi civil law. Belanda sendiri dikenal sebagai negara yang cenderung monist sejak awal abad ke 20. Bung Hatta sendiri pernah mengatakan bahwa Verdrag breekt wet, yang berarti treaty atau perjanjian internasional overrides hukum nasional, yang sangat mendukung pandangan monism primat hukum internasional.

Mahkamah Agung juga pernah menggunakan hukum internasional secara langsung, misalnya pada kasus Landslide mengenai longsor di Jawa Barat. MA menggunakan principle 15 dari Rio Declaration yang adalah hukum internasional untuk mengisi kekosongan hukum di bidang hukum lingkungan.

Meskipun dalam hukum Indonesia dapat dikatakan sebagai negara monist, namun tidak demikian halnya dalam praktek. Umumnya, Indonesia tidak melaksanakan perjanjian internasional atau traktat bila tidak ada hukum nasional yang mengaturnya.

Ketidakpastian ini membuat Indonesia seringkali melanggar perjanjian internasional karena proses transformasi hukum internasional ke hukum nasional memakan waktu yang biasanya cukup lama.


26. Afi Noviandari

Dualisme, kaum dualisme menganggap hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berbeda. Perbedaannya terletak pada subyek dan sumber hukum, termasuk berbeda dalam konsep.

Hukum internasional adalah sistem hukum yang mengatur hubungan negara-negara berdaulat, sedangkan hukum nasional adalah perangkat hukum yang mengatur hubungan individu. Maka munculnya RIS yang menganut hukum internasional berdasarkan pengakuan dalam KMB sebenarnya adalah perwujudan nyata sebagai pengakuan negara. Karena sebelum RIS, Indonesia sudah memiliki hukum nasional berdasarkan pada UUD 1945 yang mulai ada sejak Indonesia merdeka.



27. Jacqueline, 00000009010

Indonesia belum bisa di tentukan menganut paham Monisme atau Dualisme. Karena Indonesia lebih cenderung menganut paham Monisme dalam prakteknya Hukum Internasional di Indonesia. Namun Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional. Meskipun begitu pada kenyataannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan udang-undang yang baru, belum ada ketentuan yang menentukan apakah Negara Indoensia menganut paham Dualisme atau Monisme. 



28. Tengku Aniska Sabila, 00000010192

Menurut saya, Indonesia menganut system monisme karena walaupun hukum Internasional bukan bagian terutama dalam hukum Indonesia,  Indonesia mengakui keberadaan Hukum Internasional dan dalam secara praktek Indonesia juga cenderung mengutamakan Hukum Internasional.

Yang dimana perjanjian Internasional sesuai dengan UU no.24/2000 diratifikasi melalui undang undang dan keputusan presiden. UU ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadikan  perjanjian Internasional menjadi hukum nasional Indonesia, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat  terhadap perjanjian Internasional tersebut.  Untuk perjanjian Internasional tersebut dapat berlaku perlu dibuat UU yang lebih spesifik mengenai perjanjian Internasional yang sudah diratifikasi.



29. Rendi dwi akbar, 00000009074

Menurut pendapat saya indonesia menganut dualisme. Saya berpendapat demikian karena praktik hukum di dalam implementas perjanjian internasional dalam monisme cenderung ke dualisme seperti yg ada di pasal 9 ayat 2 no.24 tentang perjanjian internasional dimana diputuskan oleh presiden, contohnya dari sumber yang saya baca indonesia meratifikasi internasional covenant on civil and political roghts melalui UU, dan indonesia membuat UU yang menjamun hak yang ada di convenant tersebut.



30. Sari Erika Lestari, 00000008114

Di era globalisasi ini, setiap negara pasti memiliki kepentingan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Jika dulu perebutan sesuatu selalu menggunakan cara keras (perang) maka sekarang ini sudah melalui suatu perjanjian internasional. Hukum perjanjian internasional dewasa ini telah mengalami perkembangan pesat seiring dengan perkembangan hukum internasional. Hukum internasional yang mulai diterapkan ini pun mulai mempengaruhi hukum nasional. Mengenai hubungan Hukum internasional dan hukum nasional dapat diambil suatu aturan umum bahwa hukum nasional tidak mempunyai pengaruh pada kewajiban negara di tingkat internasional, tetapi hukum internasional tidak sama sekali mengabaikan hukum nasional Anggara, 2014). Dalam hubungan internasional yang berkenaan dengan kepentingan nasional yang sangat vital atau berkaitan dengan politik internasional tinggi, hukum internasional justru sering ditinggalkan. Perjanjian internasional yang dibuat oleh negara masuk ruang lingkup hukum internasional, tetapi untuk mengimplementasikannya sering perlu adanya perundang-undangan nasional.

Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional memang masih diperdebatkan sampai saat ini. Sehingga muncul banyak pertanyaan apakah hubungan hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum atau terpisah satu sama lain. Dikarenakan permasalahan yang tak kunjung mendapatkan jawaban pasti itu muncullah dua pemikiran besar. Pemikiran pertama yaitu pemikiran dualisme. Pemikiran ini memperlakukan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Maka untuk dapat diterapkannya hukum tersebut, hukum internasional perlu ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam hukum nasional (Agus, 2011). Pemikiran kedua yaitu pemikiran Monisme. Dalam pemikiran ini, hukum internasional dan hukum nasional merupakan suatu kesatuan sistem hukum. Maka dari itu, adanya perbedaan hierarki atas kedua hukum ini. Sehingga memunculkan dua pemahaman yang berbeda lagi terhadap pemikiran monisme yaitu monisme primat hukum internasional dan monisme primat hukum nasional. Monisme primat hukum internasional adalah hukum yang lebih endahulukan hukum internasional sedangkan monisme primat hukum nasional adalah hukum yang lebih mengutamakan hukum nasional (Dumoli, 2010).

Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum mengidentifikasi apakah menganut monisme, dualisme, atau kombinasi keduanya serta belum berkembang kearah politik hukum yang lebih jelas. Menurut Dr Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah negara monisme karena di dalam UU pengesahan selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam menyelenggarakan perkara. Hal ini sependapat dengan Dr Damos Dumoli Agusman dari Kementrian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk memutuskan perkara (Aryo, 2012). Penilaian dari Damos Dumoli Agusman ini dapat dilihat dari putusan landmark Mahkamah Agung No. 2994K/PDT/1983, antara PT Nizwar melawan Navigation Maritime Bulgare. Pada saat itu Mahkamah Agung menolak penerapan Convention on the Reconignition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958, yang dikenal dengan nama New York Convention. Padahal Indonesia telah meratifikasi New York Convention melalui Keppres No. 34 Tahun 1981. Saat itu, Mahkamah Agung beralasan bahwa Keppres ratifikasi New York Convention membutuhkan peraturan pelaksana, untuk bisa secara efektif diterapkan di Indonesia. Putusan landmark Mahkamah Agung No. 2994K/PDT/1983 tertulis “…bahwa selanjutnya mengenai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981 Tanggal 15 Agustus 1981 dan lampirannya tentang mengesahkan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan Hakim Arbitrase dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia.”. Selain itu, Mahkamah Agung juga mengesampingkan penggunaan konvensi internasional dalam kasus yang melibatkan Garuda Indonesia melawan Eunike Mega Apriliany. Dalam Putusan No.970K/PDT/2002, Mahkamah Agung menolak menggunakan Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (Warsaw Convention), meski konvensi ini telah berlaku di Indonesia melalui Ordonansi Pengangkutan Udara No. 100 Tahun 1939.  Dalam Putusan dengan nomor 2-3/PUU-V/2007 itu, hakim MK mengutip Pasal 27 dan 46 Vienna Convention on the Law of Treaties di halaman 420 yang artinya “berdasarkan kedua ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tersebut di atas, suatu negara tidak boleh membatalkan keterikatannyakepada suatu perjanjian internasionaldengan menggunakan ketentuan hukum nasional sebagai alasan, kecuali jikaketentuan hukum nasional dimaksud mempunyai nilai yang sangat penting”. Dari kedua contoh itu, Mahkamah Konstitusi (MK) justru pernah menggunakan Vienna Convention on the Law of Treaties ketika menguji UU Narkotika. Padahal Indonesia tidak meratifikasi bahkan tidak menjadi pihaknya. Dari yurisprudensi tersebut, perjanjian internasional masih digunakan sebagai persuasive rhetoric rules oleh hakim, dan belum bersifat authoritative rule seperti peraturan perundang-undangan (Dumoli, 2013).

    Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional dan konflik di antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, dimana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional seperti apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR diatur di dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Damos Dumoli Agusman, UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. (ayat 2). ”Pengesahan sebagai definisi ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal) diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara dalam memberlakukan perjanjian internasional. Pencampuradukan makna pengesahan (ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk mentransformasi perjanjian internasional. Disini Bapak Damos pun mengatakan bahwa UU/Keppres pengesahan perjanjian internasional hanyalah “jubah” persetujuan DPR (Eka, 2012). Jadi apapun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat. Kementrian Luar Negeri telah berusaha mempertemukan kedua kelompok pakar dari kedua disiplin ilmu hukum tatanegara dan hukum internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion dan masih menemukan kenyataan bahwa masing-masing pakar berbicara tentang objek yang sama tetapi cenderung menggunakan logika yang berbeda. Kedua disiplin ilmu ini perlu menggunakan kolaborasi guna membangun sistem yang tepat tentang tempat dan kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasional (Dumoli, 2010). Berdasarkan kebutuhan hukum yang sangat berkembang pesat di Indonesia, Damos Dumoli Agusman lebih memihak kepada aliran monisme dengan pertimbangan bahwa Indonesia telah memutuskan untuk memasuki sistem globalisasi sehingga nilai-nilai global akan menjadi parameter utama dalam hubungan Indonesia dengan masyarakat Internasional. Konsekuensinya, hukum Indonesia harus bersifat kompatibel dengan sistem global. Pada saat yang sama, Indonesia baru memulai reformasi sistem hukum sejak Era Reformasi tahun 1998, sehingga membentuk hukum positif dari awal merupakan beban yang sangat berat. Maka bagi Indonesia, pilihan monisme akan lebih mempercepat proses pembentukan hukum positif. Selain itu, Indonesia cukup melakukan inkorporasi norma-norma perjanjian internasional melalui mekanisme pengikatan diri/ratifikasi terhadap perjanjian dmaksud. Dengan melakukan pengikatan diri, maka Indonesia tidak perlu lagi memikirkan pembentukan perundang-undangan terpisah yang akan menggunakan banyak waktu dan biaya. Bahkan sistem hukum Indonesia pun berakar pada pola pikir Eropa Kontinental yang pada umumnya berkarakter monisme (Dumoli, 2010).



31. Viky Devina Sohgar, 00000007881

Indonesia dalam hukum tata negaranya tidak menganut hukum internasional dalam hukum nasionalnya, bahkan tidak ada satupun pasal yang membahas mengenai hukum internasional tersebut. Jadi pada dasarnya, Indonesia belum mengindikasikan hukumnya untuk mengikut sistem hukum monisme, dualisme, atau gabungan keduanya.
Tetapi menurut Prof. Mochtar Kusuumatmadja, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem monisme yang hal ini mendapat dukungan dari Departemen Luar Negeri. Dimana dilihat dari sejarah bangsa Indonesia yang bekas jajahan Belanda yang juga pernah dijajah oleh Eropa dan akhirnya menganut sistem Eropa kontinental.

Selain itu, Mahkamah Agung juga pernah mengaplikasikan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah melalui UU no. 1 tahun 1982, walaupun pasal tersebut belum ditransformasikan menjadi hukum nasional.

Kemudian tidak hanya itu, seperti saat kasus longsor di Jawa Barat, Mahkamah Agung juga menggunakan hukum internasional secara langsung dimana Mahkamah Agung saat itu menggunakan prinsip ke 15 dari Deklarasi Rio yang merupakan hukum internasional untuk mengisi kekosongan hukum di bidang hukum lingkungan nasional di Indonesia.



32. Getar Jiwa Adita,  00000009877

Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.


33. Louis Tappangan, 00000009951

Dalam paham monisme yang mengenal Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah satu sistem hukum yang sama sedangkan yang terjadi di negara Indonesia tidaklah sesuai dengan struktur hukum yang bersatu pada hukum internasional. Seperti yang kita ketahui beberapa hari lalu ada nara pidana warga negara asing yang dihukum mati oleh karena kejahatan narkoba, tetapi di dalam peraturan Hukum Internasional mengatakan bahwa narkoba bukanlah kejahatan yang serius dan banyak negara-negara yang sudah meniadakan hukuman mati tersebut. Pada pasal 6 ICCPR mengatakan bahwa orang yang bisa di vonis hukuman mati ialah orang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan serius salah satu contohnya ialah pembunuhan sengaja, pemerkosaan, ataupun perbuatan tidak manusiawi lainnya yang memiliki karakter yang sama yang secara internasional mengakibatkan penderitaan yang besar, luka serius terhadap tubuh, atau terhadap mental , atau kesehatan fisik seseorang.



Oleh karena itu, menurut saya Indonesia menganut paham dualisme yang lebih mengutamakan hukum nasional atau adat yang ada di negaranya, tetapi hukum internasional tersebut bisa berlaku di negara Indonesia jika normanya atau hukumnya di Transformasi ke dalam UU nasional. Paham dualisme ialah paham yang memandang sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari sistem hukum nasional, karena keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Jika kita hubungkan dengan Monisme, paham ini memandang hukum dalam kesatuan hukum internasional dan nasional sama.

Indonesia lebih mengutamakan Undang-Undang atau hukum nasionalnya walaupun hukumnya tersebut berlainan dengan hukum kebiasaan internasioal, salah satu contohnya ialah negara Indonesia masih memberikan sebuah hukuman mati terhadap orang yang melakukan kejahatan yang di mata internasional bukan lah kejahatan yang serius untuk dihukum mati. Jadi, kesimpulannya Indonesia menganut paham dualisme yang mengutamakan hukum nasionalnya dan tidak bersatu pada sistem hukum  kebiasaan internasional.


34. Bob Allen Simatupang, 00000010170

Di dalam segala kompleksitas dan polemik mengenai aliran mana (monisme atau dualisme) yang Indonesia anut kiranya argumentasi berikut ini member titik cerah. Sebagai dasar teori, hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional dapat disimpulkan bahwa hukum Nasional tidak mempunyai pengaruh terhadap Hukum Internasional, begitu sebaliknya. Hukum Internasional tidak sama sekali mengabaikan Hukum Nasional. Inilah yang menimbulkan polemik antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang melahirkan 2 aliran jenis hukum yaitu aliran monisme dan aliran dualisme.

    Dengan menggunakan buku Hukum Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia (2014) oleh DR. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA. sebagai buku referensi primer, kedua aliran tersebut dijelaskan pada Bab ke-5, hal. 97-98. Dituliskan di halaman tersebut, bahwa dualisme diartikan sebagai sistem hukum yang menetapkan secara terpisah sistem Hukum Nasional dan Hukum Internasional sehingga minim terjadinya potensi konflik terhadap keduanya. Sedangkan aliran monisme menetapkan Hukum Internasional dan Hukum Nasional sebagai suatu kesatuan sistem hukum yang mencondong kepada potensi konflik antara kedua sistem hukum tersebut.

    Demi menyempitkan arah aliran mana yang Indonesia anut dari kedua aliran jenis tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembedaan antara self-executing treaties dan non-self executing treaties. Pada pokok permasalahan, Indonesia masih di dalam posisi abu-abus antara keduanya. Seperti dicontohkan, Indonesia menganut suatu implementing legislation (bukan transforming legislation [untuk Dualisme] maupun incorporating legislation [untuk Monisme]di dalam suatu ketentuan non-self executing treaties dengan mengimplementasikan konvensi UN Convention against Corruption 2003 mengenai Tindak Pidana Korupsi pada pasal 5, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Begitu juga secara norma non-self executing treaties mengenai Perikanan yang tertuang pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagai hasil Implementing legislation dari hasil konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982).

    Ketika terdapat bukti inkonsistensi dan ketidakjelasan aliran mana yang Indonesia anut, seperti yang disarankan juga oleh Edy Pratomo dalam bukunya Hukum Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum, dan Ratifikasi (2011) bahwa Indonesia kiranya bersikap tegas apabila memilih aliran monisme untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara external dan menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban warga Indonesia.

    Menurut Damos Dumoli, dari sisi literatur Indonesia, Prof. Utrecht dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja secara jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut monisme. Prof. Utrecht menyimboliskan pidato Perdana Menteri RIS Muhammad Hatta pada tanggal 11 Agustus 1950 sebagai anutan monisme primat hukum internasional yang secara praktik pada masa itu Indonesia mendahulukan perjanjian-perjanjian Konferensi Meja Bundar. Seperti Prof. Utrecht, Prof. Mochtar pun berpendapat yang sama bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat Hukum Internasional. Pandangan ini mewarnai pandangan Kementrian Luar Negeri sebagai lembaga pemberi standarisasi tentang perjanjian internasional sehingga akibatnya isu tentang hubungan Perjanjian Internasional dengan Hukum Nasional tidak menjadi agenda krusial. Ini menjadikan teori monisme merupakan pemodan dasar dalam penyusunannya yang tercemin pada Pasal 13 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999.

    Berbeda dengan penulis, Wisnu Aryo Dewanto dalam bukunya Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self Executing di Pengadilan Nasional (2011), berpendapat bahwa Indonesia telah secara tegas memposisikan diri sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional pada pengeluaran Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan yang dimiliki leh DPR RI (Legislatif) terhadap suatu Perjanjian Internasional yang memberikan persetujuan – bukan mengesahkan, karena kewenangan untuk membuat dan mengesahkan milik lembaga eksekutif – dengan fungsinya sebagai pengawas terhadap Presiden. Pola pikir dualisme ini pun terdapat dalam praktik Indonesia dalam mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 ketika memerlukan transformasi yang menghasilkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan sebagai hasil transformasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut thaun 1982.

    Di sisi argumentasi dapat disimpulkan secara sekunder bahwa kentalnya keabu-abuan akan dimana Indonesia memposisikan dirinya akan kedua aliran monisme dan dualisme. Tetapi saya berpendapat bahwa Indonesia menganut monisme primat hukum internasional ketika teori inkorporasi (incorporating legislation) melihat bahwa Hukum Internasional akan secara otomatis menjadi bagian dari hukum nasinoal suatu negara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan Hukum Nasional baik dengan pendekatan implementing legislation ataupun tidak.

35. Hotasi Albin Sumitro Samosir, 00000009906



Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional bergantung pada paham yang diterapkan suatu negara. Terdapat dua paham dalam hal ini: dualisme dan monisme. 

1. Dualisme 

Paham ini memperlakukan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dengan kata lain, hukum internasional perlu ditransformasi ke dalam hukum nasional supaya dapat diterapkan. 

Menurut paham ini, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi, setelah ratified by each contracting party, tidak lantas masuk ke dalam hukum nasional. Perjanjian tersebut harus melalui proses transformasi (meskipun ratifikasi dilakukan dengan UU atau Perpres). Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: tidak lantas masuk ke dalam hukum nasional setelah ditandatangani, tetapi harus melalui proses transformasi terlebih dahulu. 

2. Monisme 

Paham ini menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian, terdapat hierarki atas kedua hukum ini. Ada yang berpendapat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional (disebut primat hukum nasional), dan dengan demikian hukum nasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum internasional. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum nasional merupakan bagian dari hukum internasional (disebut primat hukum internasional), dan dengan demikian hukum internasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum nasional. 

Menurut paham ini, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi secara otomatis masuk ke dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: otomatis masuk ke dalam ruang lingkup nasional setelah ditandatangani. 

Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No.6/1996.  

Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan dasar hukum  untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982. 

Praktek Indonesi tidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari: 
1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”

2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat kalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961. 


4. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.

5.PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN- PENGECUALIAN OLEH HI. 

Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya dalam praktek penerapan UNCLOS 1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang perairan Indonesia. UU ini baru dicabut oleh UU No. 6/1996. Dalam hal ini, UU No.17/1985 tidak dianggap bertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka dualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU yang mentransformasikan UNCLOS 1982.
Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi PI sebagai produk perundang - undangan.  

Menurut kelompok ini UU/Perpres ini hanya jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. Jurisprudensi Indonesia sendiri belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN. 

Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasional, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. 

Namun pemerintahan Indonesia nampak lebih cenderung terhadap paham Monisme. 



36. Jonathan Kevin Tatuil, 00000008560

Monisme : adalah ide yang menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum domestik adalah bagian dari sistem legal yang sama, tapi hukum internasional lebih tinggi dalam nilai perspektif dibandingkan hukum nasional.

Dualisme : adalah posisi dimana hukum internasional dan hukum domestik (seringkali disebut “hukum kota”  dalam Negara Eropa) terpisah sistem hukum yang berbeda yang beroperasi pada tingkat yang berbeda, dan bahwa hukum internasional hanya dapat ditegakkan dalam hukum nasional jika digabungkan atau diubah.

Menurut saya Indonesia menganut system Monisme karena hukum internasional merupakan bagian dari system legal hukum yang sama dengan hukum nasional

37. TONY GUNAWAN, 00000007465
Dari kaca mata hukum internasional mengenai hukum nasional prinsipnya adalah  :
  • Negara tidak boleh berlindung di hukum nasionalnya untuk tidak melakukan kewajiban hukum internasional
  • Negara tidak boleh merujuk hukum nasionalnya untuk tidak mematuhi hukum internasional

Dari kaca mata hukum nasional mengenai hukum internasional :

  • Ada dua aliran yaitu aliran dualisme dan aliran monisme
  • Aliran monisme dibedakan menjadi dua yaitu primat hukum internasional dan primat hukum nasional

Penjelasan Dualisme :

Dualisme memandang hukum internasional dan hukum nasional adalah dua hal yang berbeda dan tidak tergantung satu sama lain, di mana daya ikatnya adalah kemauan negara.

Prinsip Dualisme :

  • Hukum internasional bisa  berlaku di dalam hukum nasional jika normanya ditransformasi ke dalam undang-undang nasional
  • Hakim nasional terikat pada norma hukum internasional dalam bentuknya sebagai undang-undang nasional

Penjelasan Monisme :

Monisme menganggap hukum nasianal dan hukum internasional adalah satu sistem hukum yang sama.

Ada dua paham monisme yaitu :

  • Primat hukum internasional, yaitu menganggap hukum internasional lebih tinggi dari pada hukum nasional
  • Primat hukum nasional, yaitu mengganggap hukum nasional lebih tinggi dari pada hukum internasional.

Berdasarkan penjelasan teori di atas dan menjawab pertanyaan aliran mana yang dijadikan acuan oleh Indonesia adalah :

Indonesia menganut aliran dualisme, di mana hukum internasional harus ditransformasi dulu ke dalam undang-undang Indonesia untuk dapat dijadikan acuan hakim Indonesia untuk membuat keputusan, di mana hal ini ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai grundnorm / dasar hukum Indonesia, di pasal 11 ayat 1 yang berbunyi : “ Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”

38. Jimmy Raymond Tjhie, 00000008096
Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.


dikenal 3 teori untuk menentukan Indonesia sebagai negara monisme

yaitu teori transformasi, delegasi dan inkorporasi



Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal.



Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:

1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional;

2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.



Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif.


39. Thomas Abraham Utoyo, 00000009886

Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dengan satu sistem hukum pada umumnya. Berdasarkan pada teori monisme, pemberian primat ada kemungkinannya pada hukum internasional atau pada hukum nasional.

Sama halnya seperti yang didefinisikan oleh David J. Bederman:Monism is <the idea that international law and domestic law are parts of the same legal system, but that international law is higher in prescriptive value than national law>.



Menurut apa yang disarankan oleh Eddy Pratomo malah justru ada tidak memiliki kepastian yang jelas mengenai aliran mana yang mestinya dianut oleh Indonesia. Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.

40. Melinda Fortuna, 00000007627
Monoisme: hukum nasional dan hukum internasional merupakan bagian yang saling berkaitan dalam sistem hukum pada umumnya. Dalam monoisme terbagi dua bagian yaitu:
1. monoisme primat hukum nasional, yaitu hukum nasional lebih tinggi kedudukannya dibanding hukum internasional sehingga apabila terjadi konflik maka hukum nasional harus lebih diutamakan daripada hukum internasional
2. Monoisme primat hukum internasional, yaitu hukum internasional lebih tinggi kedudukannnya dibandingkan hukum nasional sehingga apabila terjadi konflik antara keduanya maka sistem hukum yang harus diutamakan yaitu hukum internasional dibandingkan hukum nasional


Dalam hal perjanjian internasional maka monoisme menganggap bahwa perjanjian internasional yang telah diratifikasi secara otomatis menjadi bagian hukum nasional sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional negara yang bersangkutan

Dualisme: hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan tidak memiliki hubungan subordinasi dan superioritas antara keduanya.

Dalam hal perjanjian internasional dualisme menganggap bahwa peranjian internasional yang telah diratifikasi harus ditransformasikan kedalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sah di negara yang bersangkutan

Menurut eddy pratomo, indonesia belum tegas termasuk monoisme atau dualisme sehingga seharusnya menganut sistem gabungan dengan ketentuan menganut doktrin monoisme untuk perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subjek hukum internasional secara eksternal dan menganut dualisme untuk perjanjian internasional yang menciptkan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara indonseia

Meskipun dengan adanya pasal 7 uu no 10 tahun 2004 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara mentransformasikan perjanjian internasional kedalam hukum nasional indonesia terlihat seperti indonesia menganut sistem dualisme yang mensyaratkan adanya pembentukan undang-undang setelah proses ratifikasi. Padahal, isi undang-undang tersebut hanya beberapa ayat yang menyatakan mengesahkan perjanjian internasional yang dimaksudkan sehingga hal tersebut membuat secara otomatis isi dari perjanjian internasional yang dimaksudkan berlaku dan mengikat bagi indonesia (tidak dibuat pasal baru didalam undang-undang, isi undang-undang pengesahan perjanjian internasional tersebut hanya mengatakan memberlakukan setiap pasal dalam perjanjian internasional yang disahkan). Sehingga dengan kata lain, Indonesia lebih menganut paham monoisme


41. Jessica, 00000007616

Indonesia menganut monoisme, Ditulis di UUD 1945 dan juga undang-undang sekarang bahwa Indonesia belum ada pasal yang menentukan bahwa dia menganut monoisme atau dualisme. Tetapi dalam praktik, Indonesia cenderung menganut monoisme dengan mengutamakan hukum internasional.  Menurut teori inkorporasi, hukum internasional bisa diterapkan di dalam hukum nasional secara langsung tanpa harus transformasi.  Menurut PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH, “Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian Internasional yang berlakunya memerlukan ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin menggunakan teori transformasi. Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap terjadi penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional. Akan tetapi perjanjian yang disahkan dilampirkan begitu saja seperti aslinya, bukan dalam bentuk perundang-undangan formal mengenai substansi perjanjian yang bersangkutan. Indonesia secara diam-diam menerima bahwa perjanjian yang bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum Nasional.” Dengan ini, Indonesia memang mengakui sistem dualisme tetapi mempraktekkan sistem monoisme. Sekarang Indonesia diakui dengan menganut monoisme.


42. Georgina Agatha, 00000008460

Menurut saya masih ada ketidak tegasan apakah Indonesia mengandung Mononisme atau Dualisme. Tapi setelah membaca beberapa artikel mengenai Mononisme dan Dualisme, menurut saya Indonesia lebih condong kepada Dualisme. Sebelum menjelaskan mengapa Indonesia lebih condong ke Dualisme, marilah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan Dualisme. Dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah, Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah Negara

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional. Dapat dilihat juga didalam Pasal 9 ayat 2 UU No.24 tahun 2009 yang berisi “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana maksud dalam ayat 1 dilakukan dengan UU atau keputusan presiden”. Dengan demikian pemberlakuan Perjanjian Internasional tidak secara langsung. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang Hukum Nasional dan Hukum Internasional sebagai 2 sistem hukum yang berbeda dan terpisah. Terlihat juga dalam UU No.2 tahun 2000, Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi Hukum Nasional dalam bentuk perundang-undangan, diratifikasi melalui UU dan keputusan Presiden. UU ratifikasi tersebut tidak langsung menjadi Hukum Nasional, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Contohnya, Indonesia meratifikasi International covenant on Civil and Political rights melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.

Itu menjadi alasan mengapa Indonesia menurut saya lebih condong kepada paham Dualisme.

43. Alifia Nabila
Negara Indonesia cenderung menganut teori monisme karena negara menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan yang mengikat negara-negara dan individu-individu serta mengatur hidup manusia. Akan tetapi pada suatu pengakuan keberadaan indonesia pada hukum internasional serta praktek. Cukup sulit menetapkan teori apa yang akan digunakan di indonesia. Dalam UUD 1945 maupun undand-undang yang ada sekarang,belum ada ketentuan yang  secara tersendiri menentukan sikap indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi.

44. Angela Novia Wangsa, 00000007416
Meskipun dalam prakteknya  Indonesia masih menggabungkan pahan monoisme dan dualisme namun dengan adanya Undang-Undang no10 tahun 2004 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, dari undang-undang itu menunjukan bahwa Indonesia menganut dualisme. Dimana Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan Hukum Internasional  membutuhkan suatu proses transformasi untuk menjadi Undang-Undang agar dapat berlaku dalam Hukum Nasional. Hal ini sesuai dengan teori dualisme dimana Hukum Internasional dapat terikat dengan hakim jika sudah di transformasi. Sehingga saat suatu Hukum Internasional telah di transformasi menjadi Undang-Undang, maka sifatnya menjadi Hukum Nasional.

45. Citta Fidencia
Jika kita melihat kenyataan yang terdapat didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 7 ayat 2 terdapat ketentuan yang sebenarnya lebih dapat dikatakan prinsip Monisme karena Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. 
Indonesia memang secara umum menganut sistem Dualisme dengan primat hukum internasional dimana Hukum Nasional Indonesia harus menyesuaikan dengan ketentuan hukum internasional dimana Indonesia telah menjadi negara pihaknya. hal ini antara lain menyebabkan diperlukan suatu peraturan pelaksana agar ketentuan perjanjian/konvensi internasional dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia.
Jadi, Kesimpulan dari saya adalah Indonesia menganut sistem campuran antara Monisme dan Dualisme.

46. Ezmeralda Pawan

Monisme dan Dualisme adalah dua paham yang berbeda mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme berpandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah sama, sehingga hukum internasional juga mengikat tidak hanya negara, tetapi juga warga negara dan badan hukum. Dalam teori ini disebutkan bahwa hukum nasional dan hukum internasional dapat berkonflik, sehingga akan melahirkan primat hukum internasional dan primat hukum nasional. Berbeda dengan Monisme, Dualisme berpandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional itu tidaklah sama, keduanya berbeda mulai dari subjeknya, dimana hukum nasional adalah individu atau badan hukum sementara subjek hukum dari hukum internasional adalah negara. Berbeda pula dalam sumbernya, hukum nasional bersumber pada Undang-Undang Dasar atau undang-undang nasional, sementara hukum internasional bersumber pada International Constitutional Law, Perjanjian Internasional dan sebagainya. Dalam teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional tidak akan saling berkonflik, karena berbeda ranah hukumnya.
Menurut saya Indonesia pada umumnya condong ke arah paham Monisme. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 diatur bahwa Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.Berlakunya Pasal ini ditujukan untuk mengatasi kekosongan hukum yang terjadi pada masa pra-kemerdekaan, dengan menyatakan pemerintah Indonesia akan menerapkan perundang-undangan yang ditinggalkan pada masa penjajahan Belanda hingga berlakunya undang-undang yang baru, dimana pada saat itu Belanda menerapkan civil law.
Selain itu, Prof. Mochtar Kusumaatmadja juga menyatakan bahwa Indonesia tidak menganut teori Transformasi yaitu dimana hukum internasional tidak akan berlaku sebelum konsep, kaidah, dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi hukum nasional, terlebih lagi sistem common law. Menurut beliau, Indonesia lebih condong ke negara-negara Eropa Kontinental, dimana kita langsung terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan seperti yang disebutkan dalam paham Dualisme.
Dalam beberapa kasus dapat dilihat juga bahwa Indonesia condong ke dalam paham Monisme, seperti kasus tanah longsor di Jawa Barat dimana hakim merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Asas ini digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan Pengadilan. Hal ini dimuat di pertimbangan hakim dalam putusan  No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini Precautionary Principle, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.
Selain itu mengenai permasalahan hukuman mati di Indonesia, dalam Pasal 13 UU Nomor 24 Tahun 2000 diatur bahwa setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa penempatan peraturan per-UU-an pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional sudah bisa mengikat seluruh warga negara Indonesia.. Indonesia sudah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau yang dikenal dengan International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), disebutkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 bahwa Indonesia sudah meratifikasi ICCPR, namun undang-undang ratifikasi tersebut tidak menjadikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Pada ICCPR Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompeten.. Dalam hukum internasional mengenal tiga school of thoughtsaliran mengenai interpretasi, sehingga naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama sesuai dan sejalan dengan tujuan semula dari pembuat perjanjian. Lalu, diatur juga dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1969 yang menetapkan ketentuan umum mengenai penafsiran. Sehingga dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah melengkapi perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya di Indoensia setelah melakukan penafsiran atas naskah perjanjian berdasarkan ketentuan yang telah diatur sebelumnya.
Bukti lainnya adalah pada kasus tanah Kedubes Saudi Arabia, fatwa MA tahun 2006 merujuk pada prinsip kekebalan diplomatik dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1982. Hakim menggunakan perjanjian internasional sebagai sumber hukum, padahal tidak ada UU transformasi atas konvensi tersebut.
 
47. Jovano B.W Lango, 00000008050 
 Negara kita ini yakni Indonesia  belom menentukan secara tegas dalam menganut sistem dualisms ataupun monisme. Masih banyak pakar-pakar hukum di Indonesia yang memperdebatkan mengenai hal ini. Setiap orangnya memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat jika Indonesia menganut dualisme atau monisme, tetapi menurut Pasal 9 ayat 2 UU no. 24 tahun 2000 menyatakan bahwa indonesia merupakan negara yang menganut sistem dualisme dimana terdapat transformasi hukum. Tetapi sekarang in Indonesia lebih cenderung menganut sistem monisme dimana hukum international dan hukum nasional mempunyai dasar kaidah yang sama dengan primat hukum international di atas hukum international. 


 
 

1 komentar: