1.
Arina Sondang, 00000010318
Sistem
hukum di Indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme,
dualisme atau kombinasi keduanya. Akan tetapi menurut Prof. Mochtar
Kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat
hukum internasional.
2. Kevin Christiansen David, 00000007755
Dalam suatu negara pasti pernah terjadinya suatu
persinggungan atau permasalahan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
Biasanya, hal ini mungkin terjadi pada saat melakukan Perjanjian Internasional
dalam ranah Hukum Nasional.
Namun dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut, apakah negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan paham atau teori dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Paham itu dibagi menjadi dua, yang dikenal dengan paham Dualisme dan paham Monisme.
Menurut paham Dualisme
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem
hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda
dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua
sistem hukum yang jelas terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas
atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum
Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.
Menurut paham Monisme
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang
saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Menurut paham ini, dengan
pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum
Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar
negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.
Berdasarkan paham Monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkinya lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.
Namun dimungkinkan bahwa ada Monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tampak dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn.
Apakah Indonesia menganut salah satu dari kedua paham tersebut? Jawaban nya adalah belum ada kepastiannya, karena dalam undang-undang di Indonesia yang sekarang ini, belum ada ketentuan atau suatu pasal yang secara jelas menentukan sikap Indonesia. Namun jika melihat kepada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia lebih menganut paham Monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada Monisme dengan pengutamaannya dalam Hukum Internasional.
1.
Rezky Kariema T, 00000010197
Menurut pendapat dan artikel-artikel yang saya baca, Saya
melihat Indonesia cenderung menganut Dualisme. Mengapa saya berpendapat
demikian? Banyak sekali artikel yang saya baca memberikan jawaban yang kurang
jelas atau masih belum menentukan Indonesia menganut Dualisme atau Monisme.
Tetapi setelah saya pelajari, praktek Indonesia dalam implementasi perjanjian
internasional dalam hukum nasional lebih cenderung ke Dualisme.
Terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No.24 tahun 2009 yang
berisi “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana maksud dalam ayat
1 dilakukan dengan UU atau keputusan presiden”. Dengan demikian pemberlakuan
Perjanjian Internasional tidak secara langsung. Hal ini juga memperlihatkan
bahwa Indonesia memandang Hukum Nasional dan Hukum Internasional sebagai 2
sistem hukum yang berbeda dan terpisah. Terlihat juga dalam UU No.2 tahun 2000,
Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi Hukum Nasional dalam
bentuk perundang-undangan, diratifikasi melalui UU dan keputusan Presiden. UU
ratifikasi tersebut tidak langsung menjadi Hukum Nasional, UU ratifikasi hanya
menjadikan Indonesia terikat terhadap perjanjian internasional tersebut.
Contohnya, Indonesia meratifikasi International covenant on Civil and Political
rights melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang
menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.
4. Melisa Salim, 00000008083
Saya berpendapat bahwa Indonesia termasuk sebagai negara dualisme. Hukum Internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi dasar adanya metode transformasi dalam inkorporasi perjanjian/hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional. Dalam hal ini, lembaga legislatif (DPR RI) memberikan persetujuan terhadap suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden (lembaga eksekutif).
5. Nova Shyntia Ryan Dinata Purba, 00000009797
*Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional. Indonesia menganut paham dualisme dalam perkembangannya cendrung menuju paham monisme dengan primat hukum inetrnasional serat pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hokum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.Pada intinya Indonesia belum menerapkanatau mengambil sikap secara tegas system apakah yang diambil,Monisme atau Dualisme.
6. Yehuda Bimo
Jika kita mencoba untuk menelaah suatu topik permasalahan yang
memunculkan pertanyaan seperti ini : “apakah Hukum Internasional (HI) dan Hukum
Nasional (HN) merupakan dua buah sistem hukum yang berbeda dan terpisah atau sebuah
kesatuan sistem hukum yang sama?”, maka untuk menjawab pertanyaan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari dua sistem yang menyangkut HI dengan HN yaitu monisme
dan dualisme.
Monisme adalah sistem yang menganggap bahwa HI dan HN adalah sebuah
kesatuan sistem dan tidak memiliki perbedaan. Di dalam monisme, HI tidak hanya
mengikat Negara namun juga mengikat warga negaranya. Dari hal tersebut, akan
muncul sebuah struktur hukum yang universal yang mengikat setiap individu baik
sebagai HI maupun HN. Di dalam monisme, HI dan HN dapat berkonflik dan
melahirkan Primat HI dan Primat HN. Primat HI adalah
sistem yang meletakkan HI berkedudukan diatas HN. Hukum Nasional adalah
personalisasi dari Hukum Internasional. Jika Negara sedang berada dalam kondisi
revolusi, maka HI sedang memberikan mandat kepada HN untuk menyelesaikannya.
Sedangkan HI tidak akan pernah berubah meskipun ada revolusi. Kesimpulannya
adalah kekuatan mengikat HN merupakan lanjutan atau pelimpahan wewenang dari
HI. Sedangkan Primat HN adalah sistem yang meletakkan HN berkedudukan diatas HI
dan HI hanyalah perpanjangan tangan atau lanjutan dari HN. Dengan kata lain, HI
adalah HN diluar negeri.
Dualisme adalah sistem yang menganggap bahwa HI dan HN adalah dua sistem
yang berbeda. Secara subjek, perbedaannya adalah jika subjek HI adalah Negara,
maka subjek HN adalah warga Negara atau badan hukum. Sumber hukumnya pun
berbeda. Jika HI bersumber dari traktat atau ICL, maka HN bersumber pada UUD
atau UU Nasional. HI mengikat Negara dan tidak mengikat warga Negara. Sedangkan
HN hanya mengikat warga Negara. Maka, tidak akan ada konflik antara HI dan HN
karena segala aspeknya berbeda.
Sekarang pertanyaannya adalah “apakah Indonesia menganut Monisme atau Dualisme”
Pertama – tama kita harus mengetahui terlebih dahulu dasar hukum perjanjian
internasional. Dasar hukum pembuatan perjanjian Internasional ditinjau dari
sudut pandang hukum nasional Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang nomor 44 tahun 2004 tentang perjanjian internasional, memberikan
hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Selanjutnya pada ayat (2)
Dalam membuat perjanjian internasional Pemerintah Republik Indonesia berpedoman
pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan,
saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum
internasional yang berlaku.
Kesimpulannya, Indonesia mengakui HI sebagai HN dalam hal tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang – Undang yang berlaku di Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut paham Monisme karena dalam paham Monisme menganggap bahwa HI dan HN memiliki keterkaitan dan Indonesia mengaplikasikan hal tersebut baik dalam peraturan tertulis maupun didalam pelaksanaannya. Sebagai tambahan, Indonesia juga menjunjung azas Pacta Sunt Servanda karena Indonesia berpedoman bahwa para pihak yang melaksanakan perjanjian harus melaksanakannya dengan itikad baik (Pasal 4 ayat (1).
7. Chelsea Timotius, 00000008053
Menurut Damos Dumoli Agusman (2008), sistem hukum Indonesia belum mengindikasikan apakah menganut monoisme atau dualisme. UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 dan membutuhkan adanya UU Nomor 6 Tahun 1996 sebagai UU transformasi merupakan contoh di mana Indonesia “tampaknya” menerapkan paham dualisme.
8. Muhammad Dhana Halim, 00000008825
Apakah indoonesia mengtantut dualisme atau monisme?
Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
9. Christopher Reza Soebijantoro, 00000007334
Dalam praktik pilihan pada hukum nasional atau pada hukum
internasional, Indonesia masih belum tegas, apakah menganut monisme atau
dualisme. Oleh karena itu, maka sebaiknya Indonesia bisa lebih tegas dalam
mengambil sikap. Sampai sementara ini, Indonesia masih menganut doktrin
gabungan dimana menganut doktrin monisme untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum
internasional secara eksternal dan menganut doktrin dualisme yang disertai
dengan tindakan transformasi untuk perjanjian internasional yang menyangkut
hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia.
Akan tetapi dari sumber yang saya baca, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.
10. Agustina, :00000008779
Dualisme adalah hukum internasional
dan hukum nasional dimana suatu 2 sistem hukum yang keseluruhannya berbeda, dan
dimana hukum internasional dan hukum nasional itu merupakan system hukum yang
terpisah dan tidak dapat digabungkan. Perbedaan
yang dimaksud adalah subyek hukum internasional adalah negara-negara sedangkan
subyek hukum nasional adalah individu, hukum internasional bersumber pada
kehendak bersama negara adapun hukum nasional pada kehendak negara semata, dan
hukum nasional memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan
hukum internasional. Indonesia menganut teori dualisme, karena di
dalam keputusan suatu hubungan internasional di Indonesia perlu di ratifikasi
terlebih dahulu sebelum diaplikasikan ke dalam masyarakat Indonesia.
11. 00000008998,
M bukhari M
Hukum
di indonesia menganut hukum monoisme, karena keputusan yg berada di Indonesia
itu di tentukan oleh hakim,Indonesia menganut monoisme sejak proklamasi 1945.
Bila kita liat dari kasus monoisme Indonesia hukum yang belum kokoh,karena
hukum Indonesia masih mengikuti dengan Hukum Internasional.
Sedangkan bila kita lihat contoh dari kasus dualisme yaitu keputusan ditentukan oleh juri,sedangkan hakim hanya memberikan sangngsi. Seperti negara USA dan Inggris menganut dualisme.
Sedangkan bila kita lihat contoh dari kasus dualisme yaitu keputusan ditentukan oleh juri,sedangkan hakim hanya memberikan sangngsi. Seperti negara USA dan Inggris menganut dualisme.
12.
Dennis Christian David, 00000007756
Pada
suatu negara pasti pernah ada terjadinya suatu persinggungan atau permasalahan
antara HI dan HN. Biasanya hal ini mungkin terjadi saat melakukan Perjanjian
Internasional dalam ranah hukum nasional.
Dalam hal menyelesaikan permasalahan itu, apakah negara akan mengutamakan HI atau HN?
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan paham atau teori dalam hubungan antara HI dan HN. Paham itu di bagi menjadi dua, yaitu paham dualisme dan monisme.
* Menurut paham dualisme
HI dan HN merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat HI berbeda dengan HN. HI dan HN merupakan dua sistem hukum yang jelas terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamaka. HN dan mengabaikan HI.
* Menurut paham monisme
HI dan HN merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Menurut paham ini, dengan pengutamaan pada HN, HI merupakan kelanjutan HN. HI merupakan HN untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan HI.
Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada HI, HN secara hirarkinya lebih rendah dibandingkan dengan HI. HN tunduk pada HI dalam arti HN harus sesuai dengan HI.
Namun dimungkinkan bahwa ada monisme yang menganggap bahwa HN sejajar dengan HI. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tampak dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang terorisme Bonn.
Apakah Indonesia menganut salah satu dari kedua paham tersebut?
Jawabannya adalah belum ada kepastiannya, karena dalam UU di Indonesia yang sekarang ini, belum ada ketentuan atau suatu pasal yang secara jelas menentukan sikap Indonesia. Namun jika melihat kepada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan HI, Indonesia lebih menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme debgan pengutamaannya dalam HI.
13. Ardi Akbar Ramadhan, 00000009956
Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara
harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan
pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis
atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis
nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang
simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional.
Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum
ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia.
Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional,
Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada
monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.
14. Anthonius Suryanto, 00000007422
-Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu
kesatuan sistem hukum pada umumnya
-Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang
terpisah, masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang
lainnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia menganut monisme
dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia seharusnya menganut
dualisme dan walaupun memilih monoisme harus primat Hukum Nasional.
Menurut saya, Indonesia menganut dualisme karena masih
banyak hukum nasional yang harus di transformasi sehingga hukum tersebut dapat
terpakai di dalam hukum internasional juga.
Seperti contoh UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan UU No 17
Tahun 1985 dan membutuhkan adanya UU No 6 Tahun 1996 sebagai UU Transformasi
merupakan contoh dimana Indonesia "tampaknya" menerapkan paham
dualisme.
15. Kendra
Wiratama Sugiharta, 00000007406
1.)Aliran
dualisme
Aliran
dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukuminternasional bersumber
pada kemauan negara, hukum internasionaldan hukum nasional merupakan dua
sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
2.)Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu
kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum
nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia
Belum
ada kepastian bahwa Indonesia menganut aliran dualisme/monism,tetapi dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) di atas, pada dasarnya Indonesia menganut paham
monisme, karena disetiap perumusan kebijakan politik luar negeri pemerintah
wajib berpedoman pada ketentuan hukum nasional, namun disisi lain berdasarkan
praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan hukum
internasional. Salah satu contoh nyata adalah perjanjian ACFTA .
Perbedaan
sikap pemerintah Indonesia yang bertolak belakang dengan ketentuan UU tersebut,
mengindikasikan bahwa Indonesia dalam hal tertentu menganut paham monisme yang
menganggap bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional.
Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam pada apa
yang dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.24 tahun 2004, mengakui adanya
persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan hukum nasional
maupun hukum internasional yang berlaku.
Pada
intinya Indonesia lebih cenderung menganut kepada aliran monism.
16. Reza
Chandra, 00000008894
Dalam
Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum
nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama dengan primat hukum
internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar
hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia
mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar
dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
17. Hendra Ronaldi, 00000008578
Menurut saya, indonesia menganut monisme, mengapa monisme karena
dalam UUD 1945 maupun undang-undang yang ada pada saat ini, belum ada ketentuan
atau pasal, yang menjelaskan tentang menentukan sikap indonesia. Bertumpu pada
pengakuan indonesia terhadap keberadaan hukum internasional, indonesia menganut
paham monisme. Tetapi berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme
dengan pengutamaan hukum internasional.
Monisme sendiri maksudnya ialah hukum
internasional dan hukum nasional yang saling berkaitan antara satu sistem hukum
pada umumnya. Pengutamaan hukum tersebut mungkin ada pada hukum internasional
atau hukum nasional. Menurut paham monisme dengan pengutamaan pada hukum
nasional maka hukum internasional merupakan kelanjutan bagi hukum nasional.
Hukum internasional merupakan hukum nasional untuk urusan luar negeri dan paham
ini cenderung mengabaikan hukum internasional. Sedangkan berdasarkan paham
monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional, maka secara hirarkis hukum
nasional berarti lebih rendah dari pada hukum nasional, hukum nasional tunduk
pada hukum internasional dalam arti hukum nasional harus sesuai dengan hukum
internasional. Dan di indonesia paham monisme yang dianut yaitu pengutamaan
kepada hukum internasional.
18.
Aulia Rachmadani, 00000010134
Wisnu Aryo Dewanto
berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode
transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum
nasional. Saya sependapat dengan Wisnu Aryo Dewanto, karena memang ada
kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI (legislatif) terhadap suatu perjanjian
internasional yang memberikan persetujuan, bukan mengesahkan, karena kewenangan
untuk membuat dan mengesahkan milik lembaga eksekutif dengan fungsinya sebagai
pengawas atau melakukan check and balances terhadap lembaga eksekutif
(dalam hal ini adalah Presiden).
19. 00000010211,
Josua Samuel Silalahi
indonesia menganut sistem dualisme, karena hukum nasional
dan internasional dua sistem hukum yang berbeda dan keberlakuan hukum
internasional harus melalui ratifikasi dalam bentuk UU
20. Pietro Yulio
Dalam hubungan internasional yang berkenan dengan
kepentingan nasional yang sangat vital,atau berkaitan dengan politik
internasional tinggi.Karena terletak dalam satu sistem hukum maka sangat besar
sekali kemungkinan terjadi konflik antara keduanya. Dalam perkembangannya
aliran monisme terpecah menjadi dua, yakni aliran monisme primat hukum nasional
dan aliran monisme primat hukum internasional.Menurut aliran monisme dengan
primat hukum nasional, hukum internasional merupakan lanjutan dari hukum
nasional. Hukum internasional berasal dari hukum nasional. Hukum internasional
juga merupakan hukum nasional untuk urusan luar negeri. Contohnya adalah hukum
kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Sehingga bila ada konflik,
hukum nasional yang lebih diutamakan.Kemudian aliran monisme dengan primat
hukum internasional, hukum nasional hierarkinya lebih rendah dibanding dengan
hukum internasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dalam arti
hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional. Hukum internasional
harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional.
Kritik terhadap aliran ini adalah ketidaksesuaian fakta bahwa dalam realitanya
hukum internasional lebih banyak bersumber pada hukum nasional yaitu dari
praktik negara.Kemudian aliran dualisme mengandung maksud: “Hukum internasional
dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda.
Hukum internasional mempunyai sifat-sifat intrinsik yang berbeda. Hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yamg benar-benar
terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi”.Aliran
ini mengemukakan bahwa antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dua
sistem hukum yang sangat berbeda. Perbedaan yang dimaksud meliputi subyek hukum
internasional adalah negara-negara sedangkan subyek hukum nasional adalah
individu; hukum internasional bersumber pada kehendak bersama negara adapun
hukum nasional pada kehendak negara semata; dan hukum nasional memiliki
integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum internasional.Berlakunya
hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan “transformasi”
menjadi hukum nasional. Jika hukum internasional dan hukum nasional ada
perbenturan atau pertentangan. Negara yang menganut teori dualisme akan lebih
sering mengabaikan hukum internasional.Namun, David J. Bederman berpendapat
tidak hanya perlu transformasi tetapi juga dengan inkorporasi, seperti yang
didefinisikan olehnya: “Dualism is the position that international law and
domestic law (sometimes called “municipal law” in European nations) are
separate and distinct legal systems which operate on different levels, and that
international law can only be enforced in national law if it is incorporated or
transformed”.Secara teoritis sebenarnya ada dua teori yang membahas mengenai
bagaimana negara menerima suatu perjanjian internasional kedalam sistem hukum
nasional mereka, yakni teori inkorporasi dan teori transformasi.Teori
inkorporasi melihat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum
nasional sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi secara otomatis
menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum
internasional tidak memerlukan tindakan legislatif (implementing legislation)
karena pengintegrasiannya secara langsung, identik dengan yang dipraktikkan
negara-negara yang menganut faham monisme. Dalam teori ini ada dua pandangan
inkorporasi, yakni yang bersifat hard dan soft.Inkorporasi yang
bersifat hard berpandangan bahwa pengadilan wajib dan harus
melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau common law (hukum yang berkembang dalam
masyarakat melalui putusan pengadilan). Menurut pandangan yang bersifat soft,
pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.Kemudian teori transformasi
lebih melihat hukum internasional merupakan sistem hukum yang terpisah dari
hukum nasional sehingga untuk dapat menjadi bagian dari hukum nasional suatu
negara maka harus ditransformasikan kedalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang sah dan diakui di negara yang bersangkutan. Identik dengan yang
dipraktikkan di negara-negara yang menganut faham dualisme. Teori ini memiliki
dua pandangan, yakni transformasi yang
bersifat hard dan soft.Menurut pandangan yang
bersifat hard menekankan hukum internasional hanya dapat menjadi
bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif saja. Sedangkan yang
bersifat softmenitikberatkan hukum internasional dapat menjadi bagian dari
hukum nasional melalui tindakan legislatif dan yudikatif. Tindakan yudikatif
ini maksudnya adalah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
kaidah-kaidah hukum internasional telah menjadi bagian dari hukum nasional
negara yang bersangkutan. Pandangan transformasi yang bersifat softini
diidentikkan dengan indirect incorporation dimana hukum internasional digunakan
sebagai alat bantu untuk menafsirkan hukum nasional suatu negara jika dianggap
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum internasional.Dalam praktik pilihan
pengutamaan pada hukum nasional atau pada hukum internasional, ditentukan oleh
preferensi etnis atau politis. Dalam konteks Indonesia, menurut Eddy Pratomo
masih ada ketidaktegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Eddy
menyarankan agar Indonesia bisa lebih tegas, maka perlu memilih sikap. Dengan
menganut doktrin gabungan yakni inkorporasi (monisme) untuk
perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai
subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut doktrin transformasi
(dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban
bagi seluruh warga negara Indonesia.Menurut penulis, apa yang disarankan oleh Eddy
Pratomo malah justru ada percampuran dan tidak memiliki kepastian yang jelas
mengenai aliran mana yang mestinya dianut oleh Indonesia. Berbeda dengan Eddy,
Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai
negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian
internasional kedalam sistem hukum nasional.Penulis sependapat dengan Wisnu
Aryo Dewanto, karena memang ada kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI
(legislatif) terhadap suatu perjanjian internasional yang memberikan
persetujuan—bukan mengesahkan, karena kewenangan untuk membuat dan mengesahkan
milik lembaga eksekutif—dengan fungsinya sebagai pengawas atau
melakukan check and balances terhadap lembaga eksekutif (dalam hal
ini adalah Presiden).
21.
Kristi Puspita, 00000008014
Menurut saya, saat ini Indonesia masih
tidak memiliki ketegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Setelah membaca
dari beberapa sumber di internet, saya dapat mengatakan bahwa Indonesia
menganut monisme untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut
keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan
menganut dualisme untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan
kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia. Indonesia sebagai negara yang
menganut paham dualisme, dimana pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden. Dengan demikian pemberlakuan
perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidak serta merta. Hal ini
juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan
yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum
nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun seiring dengan
berjalannya waktu dalam penyelesaian masalah-masalah internasional, Indonesia
kini cenderung menganut teori monisme. Hukum internasional dan hukum nasional
yang mempunyai dasar kaedah yang sama dipakai dengan primat hukum internasional
di atas hukum nasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dalam
arti hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional. Hukum
internasional harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan
hukum nasional.
22. Yeremia
Tulena, 00000009913
Indonesia menganut atau mempraktekkan teori Dualisme, dimana
hukum internasional dan hukum nasional adalah dua sistem atua perangkat yang
dibedakan atau terpisah. Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan
internasional memiliki sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada
kemauan negara itu sendiri sedangkan hukum internasional bersumber dari kemauan
bersama negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham Dualisme dapat
terlihat pada Pasal 9 UU no.24 tahun 2000, dinyatakan bahwa ; "Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden"
Dengan menganut teori dualisme berarti Indonesia akan lebih
sering mengabaikan hukum internasional, dengan demikian pemberlakuan perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidak serta-merta.
23. Jenniefer Angel, 00000007885
Menurut pendapat saya pribadi, walaupun di Indonesia dalam
UUD1945 maupun Undang-Undang yang sudah ada sekarang ini belum ada ketentuan
yang menyatakan secara jelas tentang sikap Indonesia, tapi dapat kita lihat
pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum International bahwa
Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek juga, Indonesia lebih
cenderung kepada monisme dengan sikap pengutamaannya terhadap Hukum
International.
24. INARA MAHESA CHAIDIR, 00000010060
Dalam UUD 1945 maupun
Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara
tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia
terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme.
Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum
Internasional.
25. Glenn
Wijaya, 00000008020
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia menganut paham
monisme. Ia mengatakan bahwa Indonesia tidak seperti negara-negara lain yang
memperjelas posisi hukum internasional di dalam hukum nasionalnya atau di
UUDnya. Tapi hal ini tidak menjadikan Indonesia serta merta menganggap bahwa
hukum internasional lebih rendah derajatnya daripada hukum nasional Indonesia.
Dengan melihat ke masa lampau, dimana bangsa Indonesia dahulu
dijajah dan akhirnya mengadopsi tradisi hukum Eropa continental, Prof. Mochtar
beranggapan bahwa Indonesia menganut paham monisme.
Damos Dumoli Agusman, Director of Economic and Social-Cultural
Treaties di Kementerian Luar Negeri, pernah terlibat dalam deliberasi tentang
Draft Law on International Agreements, yang akhirnya menjadi UU No. 24 tahun
2000. Menurut Damos, UU no. 24 tersebut tidak bertujuan untuk mengklarifikasi
status perjanjian-perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia
sebab para perancang UU dan Kementerian Luar Negeri menganggap bahwa Indonesia
adalah negara monist, mengikuti pandangan Prof. Mochtar.
Indikasi kedua mengenai monism adalah Supreme Court Directive
tahun 2006 dimana MA mengaplikasi Konvensi Wina mengenai Diplomatic Relations.
Konvensi Wina tersebut sudah diratifikasi oleh DPR melalui UU no. 1 tahun 1982,
tetapi pasal-pasal di Konvensi tersebut belum ditransformasi menjadi hukum
nasional. Namun nyatanya, MA tetap mengaplikasi prinsip artikel 31 di Konvensi
tersebut untuk menyelesaikan kasus mengenai sengketa tanah yang
mengikutsertakan Kedutaan Besar Saudi Arabia di Indonesia.
Menurut Prof. Butt, Indonesia adalah negara monist bila ditinjau
dari sudut pandang hukum. Sebabnya adalah bahwa tidak adanya peraturan mengenai
posisi hukum internasional sampai sekarang. Jadi, kita harus mengacu kepada
hukum Belanda yang diaplikasikan di saat Indonesia merdeka. UUD 45 mengatakan
bahwa semua peraturan perundang-undangan harus tetap diaplikasikan sampai
digantikan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Jadi, Indonesia
mengadopsi hukum Belanda dan tradisi civil law. Belanda sendiri dikenal sebagai
negara yang cenderung monist sejak awal abad ke 20. Bung Hatta sendiri pernah mengatakan
bahwa Verdrag breekt wet, yang berarti treaty atau perjanjian internasional
overrides hukum nasional, yang sangat mendukung pandangan monism primat hukum
internasional.
Mahkamah Agung juga pernah menggunakan hukum internasional secara
langsung, misalnya pada kasus Landslide mengenai longsor di Jawa Barat. MA
menggunakan principle 15 dari Rio Declaration yang adalah hukum internasional
untuk mengisi kekosongan hukum di bidang hukum lingkungan.
Meskipun dalam hukum Indonesia dapat dikatakan sebagai negara
monist, namun tidak demikian halnya dalam praktek. Umumnya, Indonesia tidak
melaksanakan perjanjian internasional atau traktat bila tidak ada hukum
nasional yang mengaturnya.
Ketidakpastian ini membuat Indonesia seringkali melanggar
perjanjian internasional karena proses transformasi hukum internasional ke
hukum nasional memakan waktu yang biasanya cukup lama.
26. Afi Noviandari
Dualisme, kaum dualisme menganggap hukum internasional dengan hukum
nasional merupakan dua perangkat hukum yang berbeda. Perbedaannya terletak pada
subyek dan sumber hukum, termasuk berbeda dalam konsep.
Hukum internasional adalah sistem
hukum yang mengatur hubungan negara-negara berdaulat, sedangkan hukum nasional
adalah perangkat hukum yang mengatur hubungan individu. Maka munculnya RIS yang
menganut hukum internasional berdasarkan pengakuan dalam KMB sebenarnya adalah
perwujudan nyata sebagai pengakuan negara. Karena sebelum RIS, Indonesia sudah
memiliki hukum nasional berdasarkan pada UUD 1945 yang mulai ada sejak Indonesia
merdeka.
27. Jacqueline, 00000009010
Indonesia belum bisa di tentukan menganut paham Monisme atau
Dualisme. Karena Indonesia lebih cenderung menganut paham Monisme dalam
prakteknya Hukum Internasional di Indonesia. Namun Wisnu Aryo Dewanto berpendapat
bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya
menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi
dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.
Meskipun begitu pada kenyataannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
udang-undang yang baru, belum ada ketentuan yang menentukan apakah Negara
Indoensia menganut paham Dualisme atau Monisme.
28. Tengku
Aniska Sabila,
00000010192
Menurut saya, Indonesia menganut
system monisme karena walaupun hukum Internasional bukan bagian terutama dalam
hukum Indonesia, Indonesia mengakui keberadaan Hukum Internasional dan
dalam secara praktek Indonesia juga cenderung mengutamakan Hukum Internasional.
Yang dimana perjanjian Internasional
sesuai dengan UU no.24/2000 diratifikasi melalui undang undang dan keputusan
presiden. UU ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadikan perjanjian
Internasional menjadi hukum nasional Indonesia, UU ratifikasi hanya menjadikan
Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian Internasional
tersebut. Untuk perjanjian Internasional tersebut dapat berlaku perlu
dibuat UU yang lebih spesifik mengenai perjanjian Internasional yang sudah
diratifikasi.
29. Rendi
dwi akbar, 00000009074
Menurut pendapat saya indonesia menganut dualisme. Saya
berpendapat demikian karena praktik hukum di dalam implementas perjanjian
internasional dalam monisme cenderung ke dualisme seperti yg ada di pasal 9
ayat 2 no.24 tentang perjanjian internasional dimana diputuskan oleh presiden,
contohnya dari sumber yang saya baca indonesia meratifikasi internasional
covenant on civil and political roghts melalui UU, dan indonesia membuat UU
yang menjamun hak yang ada di convenant tersebut.
30. Sari Erika Lestari, 00000008114
Di era
globalisasi ini, setiap negara pasti memiliki kepentingan yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Jika dulu perebutan sesuatu selalu menggunakan
cara keras (perang) maka sekarang ini sudah melalui suatu perjanjian
internasional. Hukum perjanjian internasional dewasa ini telah mengalami
perkembangan pesat seiring dengan perkembangan hukum internasional. Hukum
internasional yang mulai diterapkan ini pun mulai mempengaruhi hukum nasional.
Mengenai hubungan Hukum internasional dan hukum nasional dapat diambil suatu
aturan umum bahwa hukum nasional tidak mempunyai pengaruh pada kewajiban negara
di tingkat internasional, tetapi hukum internasional tidak sama sekali
mengabaikan hukum nasional Anggara, 2014). Dalam hubungan internasional yang
berkenaan dengan kepentingan nasional yang sangat vital atau berkaitan dengan
politik internasional tinggi, hukum internasional justru sering ditinggalkan.
Perjanjian internasional yang dibuat oleh negara masuk ruang lingkup hukum
internasional, tetapi untuk mengimplementasikannya sering perlu adanya
perundang-undangan nasional.
Hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional memang masih diperdebatkan sampai
saat ini. Sehingga muncul banyak pertanyaan apakah hubungan hukum internasional
dan hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum atau terpisah satu sama lain.
Dikarenakan permasalahan yang tak kunjung mendapatkan jawaban pasti itu
muncullah dua pemikiran besar. Pemikiran pertama yaitu pemikiran dualisme.
Pemikiran ini memperlakukan hukum internasional sebagai sistem hukum yang
terpisah dari hukum nasional. Maka untuk dapat diterapkannya hukum tersebut,
hukum internasional perlu ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam hukum
nasional (Agus, 2011). Pemikiran kedua yaitu pemikiran Monisme. Dalam pemikiran
ini, hukum internasional dan hukum nasional merupakan suatu kesatuan sistem
hukum. Maka dari itu, adanya perbedaan hierarki atas kedua hukum ini. Sehingga
memunculkan dua pemahaman yang berbeda lagi terhadap pemikiran monisme yaitu
monisme primat hukum internasional dan monisme primat hukum nasional. Monisme
primat hukum internasional adalah hukum yang lebih endahulukan hukum
internasional sedangkan monisme primat hukum nasional adalah hukum yang lebih
mengutamakan hukum nasional (Dumoli, 2010).
Sistem hukum
di Indonesia sayangnya belum mengidentifikasi apakah menganut monisme,
dualisme, atau kombinasi keduanya serta belum berkembang kearah politik hukum yang
lebih jelas. Menurut Dr Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah
negara monisme karena di dalam UU pengesahan selalu dilampirkan perjanjian
internasionalnya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan
oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam
menyelenggarakan perkara. Hal ini sependapat dengan Dr Damos Dumoli Agusman
dari Kementrian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani
menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk
memutuskan perkara (Aryo, 2012). Penilaian dari Damos Dumoli Agusman ini dapat
dilihat dari putusan landmark Mahkamah Agung No. 2994K/PDT/1983, antara PT
Nizwar melawan Navigation Maritime Bulgare. Pada saat itu Mahkamah Agung
menolak penerapan Convention on the Reconignition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards 1958, yang dikenal dengan nama New York Convention.
Padahal Indonesia telah meratifikasi New York Convention melalui Keppres No. 34
Tahun 1981. Saat itu, Mahkamah Agung beralasan bahwa Keppres ratifikasi New
York Convention membutuhkan peraturan pelaksana, untuk bisa secara efektif
diterapkan di Indonesia. Putusan landmark Mahkamah Agung No. 2994K/PDT/1983
tertulis “…bahwa selanjutnya mengenai
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981 Tanggal 15 Agustus 1981
dan lampirannya tentang mengesahkan “Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards” sesuai dengan praktek hukum yang
berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi
putusan Hakim Arbitrase dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada
Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui
Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut
tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di
Indonesia.”. Selain itu,
Mahkamah Agung juga mengesampingkan penggunaan konvensi internasional dalam
kasus yang melibatkan Garuda Indonesia melawan Eunike Mega Apriliany. Dalam
Putusan No.970K/PDT/2002,
Mahkamah Agung menolak menggunakan Convention for the Unification of
Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (Warsaw
Convention), meski konvensi ini telah berlaku di Indonesia melalui Ordonansi
Pengangkutan Udara No. 100 Tahun 1939. Dalam
Putusan dengan nomor 2-3/PUU-V/2007 itu, hakim MK mengutip Pasal 27 dan 46 Vienna
Convention on the Law of Treaties di
halaman 420 yang artinya “berdasarkan kedua ketentuan dalam Konvensi Wina
1969 tersebut di atas, suatu negara tidak boleh membatalkan keterikatannyakepada
suatu perjanjian internasionaldengan menggunakan ketentuan hukum nasional
sebagai alasan, kecuali jikaketentuan hukum nasional dimaksud mempunyai nilai
yang sangat penting”. Dari kedua contoh itu, Mahkamah Konstitusi
(MK) justru pernah menggunakan Vienna Convention on the Law of Treaties ketika
menguji UU Narkotika. Padahal Indonesia tidak meratifikasi bahkan tidak menjadi
pihaknya. Dari yurisprudensi tersebut,
perjanjian internasional masih digunakan sebagai persuasive
rhetoric rules oleh hakim, dan belum
bersifat authoritative rule seperti
peraturan perundang-undangan (Dumoli, 2013).
Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun
terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional dan
konflik di antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan
DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, dimana
Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional
dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian
internasional seperti apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR diatur di
dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Menurut
Damos Dumoli Agusman, UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik
hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU
tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan
bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan
sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden. (ayat 2). ”Pengesahan sebagai definisi
ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti ratifikasi sebenarnya
dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai
tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap perjanjian
internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal) diartikan
sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum dari
pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi
maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum
internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara
dalam memberlakukan perjanjian internasional. Pencampuradukan makna pengesahan
(ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas, maka dapat
dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalui UU/Keppres, Jika
demikian, apakah UU/Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian
internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk
mentransformasi perjanjian internasional. Disini Bapak Damos pun mengatakan
bahwa UU/Keppres pengesahan perjanjian internasional hanyalah “jubah”
persetujuan DPR (Eka, 2012). Jadi apapun pandangan yang hendak dianut oleh
Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam
suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian
hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi
seperti diplomat. Kementrian Luar Negeri telah berusaha mempertemukan kedua
kelompok pakar dari kedua disiplin ilmu hukum tatanegara dan hukum
internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion dan masih menemukan
kenyataan bahwa masing-masing pakar berbicara tentang objek yang sama tetapi
cenderung menggunakan logika yang berbeda. Kedua disiplin ilmu ini perlu
menggunakan kolaborasi guna membangun sistem yang tepat tentang tempat dan kedudukan
perjanjian internasional dalam hukum nasional (Dumoli, 2010). Berdasarkan
kebutuhan hukum yang sangat berkembang pesat di Indonesia, Damos Dumoli Agusman
lebih memihak kepada aliran monisme dengan pertimbangan bahwa Indonesia telah
memutuskan untuk memasuki sistem globalisasi sehingga nilai-nilai global akan
menjadi parameter utama dalam hubungan Indonesia dengan masyarakat
Internasional. Konsekuensinya, hukum Indonesia harus bersifat kompatibel dengan
sistem global. Pada saat yang sama, Indonesia baru memulai reformasi sistem
hukum sejak Era Reformasi tahun 1998, sehingga membentuk hukum positif dari
awal merupakan beban yang sangat berat. Maka bagi Indonesia, pilihan monisme
akan lebih mempercepat proses pembentukan hukum positif. Selain itu, Indonesia
cukup melakukan inkorporasi norma-norma perjanjian internasional melalui
mekanisme pengikatan diri/ratifikasi terhadap perjanjian dmaksud. Dengan
melakukan pengikatan diri, maka Indonesia tidak perlu lagi memikirkan
pembentukan perundang-undangan terpisah yang akan menggunakan banyak waktu dan
biaya. Bahkan sistem hukum Indonesia pun berakar pada pola pikir Eropa
Kontinental yang pada umumnya berkarakter monisme (Dumoli, 2010).
31. Viky Devina Sohgar, 00000007881
Indonesia dalam hukum tata negaranya tidak menganut hukum
internasional dalam hukum nasionalnya, bahkan tidak ada satupun pasal yang
membahas mengenai hukum internasional tersebut. Jadi pada dasarnya, Indonesia
belum mengindikasikan hukumnya untuk mengikut sistem hukum monisme, dualisme,
atau gabungan keduanya.
Tetapi menurut Prof. Mochtar Kusuumatmadja, Indonesia merupakan
negara yang menganut sistem monisme yang hal ini mendapat dukungan dari
Departemen Luar Negeri. Dimana dilihat dari sejarah bangsa Indonesia yang bekas
jajahan Belanda yang juga pernah dijajah oleh Eropa dan akhirnya menganut
sistem Eropa kontinental.
Selain itu, Mahkamah Agung juga pernah mengaplikasikan Konvensi
Wina mengenai Hubungan Diplomatik untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah
melalui UU no. 1 tahun 1982, walaupun pasal tersebut belum ditransformasikan
menjadi hukum nasional.
Kemudian tidak hanya itu, seperti saat kasus longsor di Jawa
Barat, Mahkamah Agung juga menggunakan hukum internasional secara langsung
dimana Mahkamah Agung saat itu menggunakan prinsip ke 15 dari Deklarasi Rio
yang merupakan hukum internasional untuk mengisi kekosongan hukum di bidang
hukum lingkungan nasional di Indonesia.
32. Getar Jiwa Adita, 00000009877
Dalam Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa
hukum internasional dan hukum nasional yang mempunyai dasar kaedah yang sama
dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Prof.Mochtar
kusumaatmadja (pengantar hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas
memotret bahwa indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan
menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah
aliran ini.
33. Louis Tappangan, 00000009951
Dalam
paham monisme yang mengenal Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah satu
sistem hukum yang sama sedangkan yang terjadi di negara Indonesia tidaklah
sesuai dengan struktur hukum yang bersatu pada hukum internasional. Seperti
yang kita ketahui beberapa hari lalu ada nara pidana warga negara asing yang
dihukum mati oleh karena kejahatan narkoba, tetapi di dalam peraturan Hukum
Internasional mengatakan bahwa narkoba bukanlah kejahatan yang serius dan
banyak negara-negara yang sudah meniadakan hukuman mati tersebut. Pada pasal 6
ICCPR mengatakan bahwa orang yang bisa di vonis hukuman mati ialah orang yang
melakukan pelanggaran atau kejahatan serius salah satu contohnya ialah
pembunuhan sengaja, pemerkosaan, ataupun perbuatan tidak manusiawi lainnya yang
memiliki karakter yang sama yang secara internasional mengakibatkan penderitaan
yang besar, luka serius terhadap tubuh, atau terhadap mental , atau kesehatan
fisik seseorang.
Oleh
karena itu, menurut saya Indonesia menganut paham dualisme yang lebih
mengutamakan hukum nasional atau adat yang ada di negaranya, tetapi hukum
internasional tersebut bisa berlaku di negara Indonesia jika normanya atau
hukumnya di Transformasi ke dalam UU nasional. Paham dualisme
ialah paham yang memandang sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari
sistem hukum nasional, karena keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Jika kita
hubungkan dengan Monisme, paham ini memandang hukum dalam kesatuan hukum
internasional dan nasional sama.
Indonesia
lebih mengutamakan Undang-Undang atau hukum nasionalnya walaupun hukumnya
tersebut berlainan dengan hukum kebiasaan internasioal, salah satu contohnya
ialah negara Indonesia masih memberikan sebuah hukuman mati terhadap orang yang
melakukan kejahatan yang di mata internasional bukan lah kejahatan yang serius
untuk dihukum mati. Jadi, kesimpulannya Indonesia menganut paham dualisme
yang mengutamakan hukum nasionalnya dan tidak bersatu pada sistem hukum
kebiasaan internasional.
34. Bob Allen
Simatupang, 00000010170
Di dalam segala kompleksitas
dan polemik mengenai aliran mana (monisme atau dualisme) yang Indonesia anut
kiranya argumentasi berikut ini member titik cerah. Sebagai dasar teori,
hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional dapat disimpulkan bahwa
hukum Nasional tidak mempunyai pengaruh terhadap Hukum Internasional, begitu
sebaliknya. Hukum Internasional tidak sama sekali mengabaikan Hukum Nasional.
Inilah yang menimbulkan polemik antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
yang melahirkan 2 aliran jenis hukum yaitu aliran monisme dan aliran dualisme.
Dengan
menggunakan buku Hukum Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional
Indonesia (2014) oleh DR. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA.
sebagai buku referensi primer, kedua aliran tersebut dijelaskan pada Bab ke-5,
hal. 97-98. Dituliskan di halaman tersebut, bahwa dualisme diartikan sebagai
sistem hukum yang menetapkan secara terpisah sistem Hukum Nasional dan Hukum
Internasional sehingga minim terjadinya potensi konflik terhadap keduanya.
Sedangkan aliran monisme menetapkan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
sebagai suatu kesatuan sistem hukum yang mencondong kepada potensi konflik
antara kedua sistem hukum tersebut.
Demi
menyempitkan arah aliran mana yang Indonesia anut dari kedua aliran jenis
tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembedaan antara self-executing
treaties dan non-self executing treaties. Pada pokok permasalahan,
Indonesia masih di dalam posisi abu-abus antara keduanya. Seperti dicontohkan,
Indonesia menganut suatu implementing legislation (bukan transforming
legislation [untuk Dualisme] maupun incorporating legislation [untuk
Monisme]di dalam suatu ketentuan non-self executing treaties dengan
mengimplementasikan konvensi UN Convention against Corruption 2003 mengenai
Tindak Pidana Korupsi pada pasal 5, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Begitu
juga secara norma non-self executing treaties mengenai Perikanan yang
tertuang pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagai hasil Implementing
legislation dari hasil konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982).
Ketika
terdapat bukti inkonsistensi dan ketidakjelasan aliran mana yang Indonesia
anut, seperti yang disarankan juga oleh Edy Pratomo dalam bukunya Hukum
Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum, dan Ratifikasi (2011) bahwa
Indonesia kiranya bersikap tegas apabila memilih aliran monisme untuk
perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai
subyek hukum internasional secara external dan menganut doktrin transformasi
(dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban warga
Indonesia.
Menurut
Damos Dumoli, dari sisi literatur Indonesia, Prof. Utrecht dan Prof. Mochtar
Kusumaatmadja secara jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut monisme. Prof.
Utrecht menyimboliskan pidato Perdana Menteri RIS Muhammad Hatta pada tanggal
11 Agustus 1950 sebagai anutan monisme primat hukum internasional yang secara
praktik pada masa itu Indonesia mendahulukan perjanjian-perjanjian Konferensi
Meja Bundar. Seperti Prof. Utrecht, Prof. Mochtar pun berpendapat yang sama
bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat Hukum Internasional. Pandangan
ini mewarnai pandangan Kementrian Luar Negeri sebagai lembaga pemberi
standarisasi tentang perjanjian internasional sehingga akibatnya isu tentang
hubungan Perjanjian Internasional dengan Hukum Nasional tidak menjadi agenda
krusial. Ini menjadikan teori monisme merupakan pemodan dasar dalam
penyusunannya yang tercemin pada Pasal 13 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999.
Berbeda
dengan penulis, Wisnu Aryo Dewanto dalam bukunya Perjanjian Internasional
Self-Executing dan Non-Self Executing di Pengadilan Nasional (2011), berpendapat
bahwa Indonesia telah secara tegas memposisikan diri sebagai negara dualisme
dengan metode transformasi dalam memasukkan Perjanjian Internasional ke dalam
Hukum Nasional pada pengeluaran Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 (Pasal 7)
mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan yang dimiliki leh
DPR RI (Legislatif) terhadap suatu Perjanjian Internasional yang memberikan
persetujuan – bukan mengesahkan, karena kewenangan untuk membuat dan
mengesahkan milik lembaga eksekutif – dengan fungsinya sebagai pengawas
terhadap Presiden. Pola pikir dualisme ini pun terdapat dalam praktik Indonesia
dalam mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 ketika
memerlukan transformasi yang menghasilkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan sebagai hasil transformasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut
thaun 1982.
Di sisi
argumentasi dapat disimpulkan secara sekunder bahwa kentalnya keabu-abuan akan
dimana Indonesia memposisikan dirinya akan kedua aliran monisme dan dualisme.
Tetapi saya berpendapat bahwa Indonesia menganut monisme primat hukum
internasional ketika teori inkorporasi (incorporating legislation) melihat
bahwa Hukum Internasional akan secara otomatis menjadi bagian dari hukum
nasinoal suatu negara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan Hukum
Nasional baik dengan pendekatan implementing legislation ataupun tidak.
35. Hotasi
Albin Sumitro Samosir, 00000009906
Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional bergantung pada paham yang diterapkan suatu negara. Terdapat dua paham dalam hal ini: dualisme dan monisme.
1. Dualisme
Paham ini memperlakukan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dengan kata
lain, hukum internasional perlu ditransformasi ke dalam hukum nasional supaya dapat diterapkan.
Menurut paham ini, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi, setelah ratified
by each contracting party, tidak lantas masuk ke dalam hukum nasional. Perjanjian tersebut harus melalui proses transformasi (meskipun ratifikasi dilakukan dengan UU atau Perpres). Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: tidak lantas masuk ke dalam hukum nasional setelah ditandatangani, tetapi harus melalui proses transformasi terlebih dahulu.
2. Monisme
Paham ini menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian, terdapat hierarki atas kedua hukum ini.
Ada yang berpendapat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional (disebut primat hukum nasional), dan dengan demikian hukum nasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum internasional.
Ada juga yang berpendapat bahwa hukum nasional merupakan bagian dari hukum internasional (disebut primat hukum internasional), dan dengan demikian hukum internasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum nasional.
Menurut paham ini, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi secara otomatis masuk ke dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: otomatis masuk ke dalam ruang lingkup nasional setelah ditandatangani.
Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS
1982 yang diratifikasi oleh UU No.
17/1985 tetap membutuhkan UU No.6/1996.
Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU
No. 1/1982.
Praktek Indonesi tidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari:
1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”
2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat kalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961.
1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”
2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat kalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961.
4. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
5.PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN- PENGECUALIAN OLEH HI.
Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya dalam praktek penerapan UNCLOS
1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS
1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang perairan Indonesia. UU ini baru dicabut oleh UU
No. 6/1996. Dalam hal ini, UU
No.17/1985 tidak dianggap bertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka dualisme,
UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU
yang mentransformasikan UNCLOS 1982.
Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi PI sebagai produk perundang - undangan.
Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi PI sebagai produk perundang - undangan.
Menurut kelompok ini UU/Perpres ini hanya jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. Jurisprudensi Indonesia sendiri belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN.
Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status
UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasional, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif.
Namun pemerintahan Indonesia nampak lebih cenderung terhadap paham Monisme.
36. Jonathan Kevin Tatuil, 00000008560
Monisme
: adalah ide yang menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum domestik
adalah bagian dari sistem legal yang sama, tapi hukum internasional lebih
tinggi dalam nilai perspektif dibandingkan hukum nasional.
Dualisme
: adalah posisi dimana hukum internasional dan hukum domestik (seringkali
disebut “hukum kota” dalam Negara Eropa) terpisah sistem hukum yang
berbeda yang beroperasi pada tingkat yang berbeda, dan bahwa hukum
internasional hanya dapat ditegakkan dalam hukum nasional jika digabungkan atau
diubah.
Menurut
saya Indonesia menganut system Monisme karena hukum internasional merupakan
bagian dari system legal hukum yang sama dengan hukum nasional
37. TONY GUNAWAN, 00000007465
Dari
kaca mata hukum internasional mengenai hukum nasional prinsipnya adalah :
- Negara tidak boleh berlindung di hukum nasionalnya untuk tidak melakukan kewajiban hukum internasional
- Negara tidak boleh merujuk hukum nasionalnya untuk tidak mematuhi hukum internasional
Dari
kaca mata hukum nasional mengenai hukum internasional :
- Ada dua aliran yaitu aliran dualisme dan aliran monisme
- Aliran monisme dibedakan menjadi dua yaitu primat hukum internasional dan primat hukum nasional
Penjelasan
Dualisme :
Dualisme
memandang hukum internasional dan hukum nasional adalah dua hal yang berbeda
dan tidak tergantung satu sama lain, di mana daya ikatnya adalah kemauan
negara.
Prinsip
Dualisme :
- Hukum internasional bisa berlaku di dalam hukum nasional jika normanya ditransformasi ke dalam undang-undang nasional
- Hakim nasional terikat pada norma hukum internasional dalam bentuknya sebagai undang-undang nasional
Penjelasan
Monisme :
Monisme
menganggap hukum nasianal dan hukum internasional adalah satu sistem hukum yang
sama.
Ada
dua paham monisme yaitu :
- Primat hukum internasional, yaitu menganggap hukum internasional lebih tinggi dari pada hukum nasional
- Primat hukum nasional, yaitu mengganggap hukum nasional lebih tinggi dari pada hukum internasional.
Berdasarkan
penjelasan teori di atas dan menjawab pertanyaan aliran mana yang dijadikan
acuan oleh Indonesia adalah :
Indonesia
menganut aliran dualisme, di mana hukum internasional harus ditransformasi dulu
ke dalam undang-undang Indonesia untuk dapat dijadikan acuan hakim Indonesia
untuk membuat keputusan, di mana hal ini ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai
grundnorm / dasar hukum Indonesia, di pasal 11 ayat 1 yang berbunyi : “
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”
38. Jimmy Raymond Tjhie, 00000008096
Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.
dikenal 3 teori untuk menentukan Indonesia sebagai negara
monisme
yaitu teori transformasi, delegasi dan inkorporasi
Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat
diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum
Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku
untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional
universal.
Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum
Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk
menentukan:
1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam
Hukum Nasional;
2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional
dijadikan Hukum Nasional.
Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang
bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum
Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional,
secara formal dan substantif.
39. Thomas Abraham Utoyo, 00000009886
Hukum internasional dan hukum nasional merupakan
bagian yang saling berkaitan dengan satu sistem hukum pada umumnya. Berdasarkan
pada teori monisme, pemberian primat ada kemungkinannya pada hukum
internasional atau pada hukum nasional.
Sama halnya seperti yang didefinisikan oleh David
J. Bederman:Monism is <the idea that international law and
domestic law are parts of the same legal system, but that international law is
higher in prescriptive value than national law>.
Menurut apa yang disarankan oleh Eddy Pratomo
malah justru ada tidak memiliki kepastian yang jelas mengenai aliran mana yang
mestinya dianut oleh Indonesia. Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto
berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi
dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.
40. Melinda Fortuna, 00000007627
Monoisme: hukum
nasional dan hukum internasional merupakan bagian yang saling berkaitan dalam
sistem hukum pada umumnya. Dalam monoisme terbagi dua bagian yaitu:1. monoisme primat hukum nasional, yaitu hukum nasional lebih tinggi kedudukannya dibanding hukum internasional sehingga apabila terjadi konflik maka hukum nasional harus lebih diutamakan daripada hukum internasional
2. Monoisme primat hukum internasional, yaitu hukum internasional lebih tinggi kedudukannnya dibandingkan hukum nasional sehingga apabila terjadi konflik antara keduanya maka sistem hukum yang harus diutamakan yaitu hukum internasional dibandingkan hukum nasional
Dalam hal perjanjian internasional maka monoisme menganggap bahwa perjanjian internasional yang telah diratifikasi secara otomatis menjadi bagian hukum nasional sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional negara yang bersangkutan
Dualisme: hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan tidak memiliki hubungan subordinasi dan superioritas antara keduanya.
Dalam
hal perjanjian internasional dualisme menganggap bahwa peranjian internasional
yang telah diratifikasi harus ditransformasikan kedalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan sah di negara yang bersangkutan
Menurut eddy pratomo, indonesia belum tegas termasuk monoisme atau dualisme sehingga seharusnya menganut sistem gabungan dengan ketentuan menganut doktrin monoisme untuk perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subjek hukum internasional secara eksternal dan menganut dualisme untuk perjanjian internasional yang menciptkan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara indonseia
Meskipun dengan adanya pasal 7 uu no 10 tahun 2004 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara mentransformasikan perjanjian internasional kedalam hukum nasional indonesia terlihat seperti indonesia menganut sistem dualisme yang mensyaratkan adanya pembentukan undang-undang setelah proses ratifikasi. Padahal, isi undang-undang tersebut hanya beberapa ayat yang menyatakan mengesahkan perjanjian internasional yang dimaksudkan sehingga hal tersebut membuat secara otomatis isi dari perjanjian internasional yang dimaksudkan berlaku dan mengikat bagi indonesia (tidak dibuat pasal baru didalam undang-undang, isi undang-undang pengesahan perjanjian internasional tersebut hanya mengatakan memberlakukan setiap pasal dalam perjanjian internasional yang disahkan). Sehingga dengan kata lain, Indonesia lebih menganut paham monoisme
41. Jessica, 00000007616
Indonesia menganut monoisme, Ditulis di UUD 1945 dan juga
undang-undang sekarang bahwa Indonesia belum ada pasal yang menentukan bahwa dia
menganut monoisme atau dualisme. Tetapi dalam praktik, Indonesia cenderung
menganut monoisme dengan mengutamakan hukum internasional. Menurut teori
inkorporasi, hukum internasional bisa diterapkan di dalam hukum nasional secara
langsung tanpa harus transformasi. Menurut PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH, “Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian Internasional yang
berlakunya memerlukan ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin menggunakan
teori transformasi. Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan dalam
bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap
terjadi penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional. Akan tetapi
perjanjian yang disahkan dilampirkan begitu saja seperti aslinya, bukan dalam
bentuk perundang-undangan formal mengenai substansi perjanjian yang
bersangkutan. Indonesia secara diam-diam menerima bahwa perjanjian yang
bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum Nasional.” Dengan ini, Indonesia memang
mengakui sistem dualisme tetapi mempraktekkan sistem monoisme. Sekarang
Indonesia diakui dengan menganut monoisme.
42. Georgina Agatha, 00000008460
Menurut saya
masih ada ketidak tegasan apakah Indonesia mengandung Mononisme atau Dualisme.
Tapi setelah membaca beberapa artikel mengenai Mononisme dan Dualisme, menurut
saya Indonesia lebih condong kepada Dualisme. Sebelum menjelaskan mengapa
Indonesia lebih condong ke Dualisme, marilah kita mengetahui apa yang dimaksud
dengan Dualisme. Dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah, Ada beberapa
alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional
dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada
kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah
orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum
internasional adalah Negara
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk
melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya
terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum
internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum
nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan
dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara
efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah
kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau
berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme
tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua
perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang
lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Akibat lain adalah
tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang
mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam
hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional. Dapat dilihat
juga didalam Pasal 9 ayat 2 UU No.24 tahun 2009 yang berisi “Pengesahan
Perjanjian Internasional sebagaimana maksud dalam ayat 1 dilakukan dengan UU
atau keputusan presiden”. Dengan demikian pemberlakuan Perjanjian Internasional
tidak secara langsung. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang
Hukum Nasional dan Hukum Internasional sebagai 2 sistem hukum yang berbeda dan
terpisah. Terlihat juga dalam UU No.2 tahun 2000, Perjanjian Internasional
harus ditransformasikan menjadi Hukum Nasional dalam bentuk perundang-undangan,
diratifikasi melalui UU dan keputusan Presiden. UU ratifikasi tersebut tidak
langsung menjadi Hukum Nasional, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia
terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Contohnya, Indonesia
meratifikasi International covenant on Civil and Political rights melalui UU,
maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang ada
di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.
Itu menjadi alasan mengapa Indonesia menurut saya lebih
condong kepada paham Dualisme.
43. Alifia Nabila
Negara Indonesia cenderung menganut teori monisme karena negara menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan yang mengikat negara-negara dan individu-individu serta mengatur hidup manusia. Akan tetapi pada suatu pengakuan keberadaan indonesia pada hukum internasional serta praktek. Cukup sulit menetapkan teori apa yang akan digunakan di indonesia. Dalam UUD 1945 maupun undand-undang yang ada sekarang,belum ada ketentuan yang secara tersendiri menentukan sikap indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi.
43. Alifia Nabila
Negara Indonesia cenderung menganut teori monisme karena negara menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan yang mengikat negara-negara dan individu-individu serta mengatur hidup manusia. Akan tetapi pada suatu pengakuan keberadaan indonesia pada hukum internasional serta praktek. Cukup sulit menetapkan teori apa yang akan digunakan di indonesia. Dalam UUD 1945 maupun undand-undang yang ada sekarang,belum ada ketentuan yang secara tersendiri menentukan sikap indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi.
44. Angela Novia Wangsa, 00000007416
Meskipun dalam prakteknya Indonesia masih menggabungkan pahan monoisme dan dualisme namun dengan adanya Undang-Undang no10 tahun 2004 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, dari undang-undang itu menunjukan bahwa Indonesia menganut dualisme. Dimana Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan Hukum Internasional membutuhkan suatu proses transformasi untuk menjadi Undang-Undang agar dapat berlaku dalam Hukum Nasional. Hal ini sesuai dengan teori dualisme dimana Hukum Internasional dapat terikat dengan hakim jika sudah di transformasi. Sehingga saat suatu Hukum Internasional telah di transformasi menjadi Undang-Undang, maka sifatnya menjadi Hukum Nasional.
45. Citta Fidencia
Jika kita
melihat kenyataan yang terdapat didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia khususnya Pasal 7 ayat 2 terdapat ketentuan yang
sebenarnya lebih dapat dikatakan prinsip Monisme karena Ketentuan hukum
internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang
menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Indonesia
memang secara umum menganut sistem Dualisme dengan primat hukum
internasional dimana Hukum Nasional Indonesia harus menyesuaikan dengan
ketentuan hukum internasional dimana Indonesia telah menjadi negara
pihaknya. hal ini antara lain menyebabkan diperlukan suatu peraturan
pelaksana agar ketentuan perjanjian/konvensi internasional dapat
dilaksanakan dengan baik di Indonesia.
Jadi, Kesimpulan dari saya adalah Indonesia menganut sistem campuran antara Monisme dan Dualisme.
46. Ezmeralda Pawan
Monisme dan Dualisme adalah dua paham yang berbeda mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme berpandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah sama, sehingga hukum internasional juga mengikat tidak hanya negara, tetapi juga warga negara dan badan hukum. Dalam teori ini disebutkan bahwa hukum nasional dan hukum internasional dapat berkonflik, sehingga akan melahirkan primat hukum internasional dan primat hukum nasional. Berbeda dengan Monisme, Dualisme berpandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional itu tidaklah sama, keduanya berbeda mulai dari subjeknya, dimana hukum nasional adalah individu atau badan hukum sementara subjek hukum dari hukum internasional adalah negara. Berbeda pula dalam sumbernya, hukum nasional bersumber pada Undang-Undang Dasar atau undang-undang nasional, sementara hukum internasional bersumber pada International Constitutional Law, Perjanjian Internasional dan sebagainya. Dalam teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional tidak akan saling berkonflik, karena berbeda ranah hukumnya.
Menurut saya Indonesia pada umumnya condong ke arah paham Monisme. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Berlakunya Pasal ini ditujukan untuk mengatasi kekosongan hukum yang terjadi pada masa pra-kemerdekaan, dengan menyatakan pemerintah Indonesia akan menerapkan perundang-undangan yang ditinggalkan pada masa penjajahan Belanda hingga berlakunya undang-undang yang baru, dimana pada saat itu Belanda menerapkan civil law.
Selain itu, Prof. Mochtar Kusumaatmadja juga menyatakan bahwa Indonesia tidak menganut teori Transformasi yaitu dimana hukum internasional tidak akan berlaku sebelum konsep, kaidah, dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi hukum nasional, terlebih lagi sistem common law. Menurut beliau, Indonesia lebih condong ke negara-negara Eropa Kontinental, dimana kita langsung terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan seperti yang disebutkan dalam paham Dualisme.
Dalam beberapa kasus dapat dilihat juga bahwa Indonesia condong ke dalam paham Monisme, seperti kasus tanah longsor di Jawa Barat dimana hakim merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Asas ini digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan Pengadilan. Hal ini dimuat di pertimbangan hakim dalam putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: “dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “Precautionary Principle”, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek”.
Selain itu mengenai permasalahan hukuman mati di Indonesia, dalam Pasal 13 UU Nomor 24 Tahun 2000 diatur bahwa “setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa penempatan peraturan per-UU-an pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional sudah bisa mengikat seluruh warga negara Indonesia.”. Indonesia sudah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau yang dikenal dengan International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), disebutkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 bahwa Indonesia sudah meratifikasi ICCPR, namun undang-undang ratifikasi tersebut tidak menjadikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Pada ICCPR Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa “bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompeten.”. Dalam hukum internasional mengenal tiga “school of thoughts” aliran mengenai interpretasi, sehingga naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama sesuai dan sejalan dengan tujuan semula dari pembuat perjanjian. Lalu, diatur juga dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1969 yang menetapkan ketentuan umum mengenai penafsiran. Sehingga dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah melengkapi perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya di Indoensia setelah melakukan penafsiran atas naskah perjanjian berdasarkan ketentuan yang telah diatur sebelumnya.
Bukti lainnya adalah pada kasus tanah Kedubes Saudi Arabia, fatwa MA tahun 2006 merujuk pada prinsip kekebalan diplomatik dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1982. Hakim menggunakan perjanjian internasional sebagai sumber hukum, padahal tidak ada UU transformasi atas konvensi tersebut.
47. Jovano B.W Lango, 00000008050
Negara
kita ini yakni Indonesia belom menentukan secara tegas dalam menganut
sistem dualisms ataupun monisme. Masih banyak pakar-pakar hukum di
Indonesia yang memperdebatkan mengenai hal ini. Setiap orangnya memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat jika Indonesia
menganut dualisme atau monisme, tetapi menurut Pasal 9 ayat 2 UU no. 24
tahun 2000 menyatakan bahwa indonesia merupakan negara yang menganut
sistem dualisme dimana terdapat transformasi hukum. Tetapi sekarang in
Indonesia lebih cenderung menganut sistem monisme dimana hukum
international dan hukum nasional mempunyai dasar kaidah yang sama dengan
primat hukum international di atas hukum international.
bagus kalian
BalasHapus